Friday, August 29, 2014

TRUMAN SIMANJUNTAK: Berburu Jejak Budaya Purba

TRUMAN SIMANJUNTAK: 

Berburu Jejak Budaya Purba

Prof Truman Simanjuntak Harry Truman Simanjuntak (Foto-foto: Kompas/Totok Wijayanto)
Kompas, Minggu, 16 Maret 2014 – Truman Simanjuntak (62) menggali jejak budaya manusia Indonesia sampai ke masa mula-mula Nusantara ini dihuni. Peradaban itu tertanam di dalam bumi dan Truman ikut mengangkatnya kembali dari ”kuburan” mereka.
Awal tahun, arkeolog prasejarah Truman Simanjuntak mengisi hari di kantornya yang tenang di Pusat Arkeologi Nasional, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Itu sebelum Truman akhirnya kembali ke lapangan, bergulat dengan kotak ekskavasi atau kedalaman tanah, mencari serpihan budaya.
Buruan Truman ialah tinggalan prasejarah di Nusantara, masa yang merentang sejak awal Pleistosen sekitar 1,8 juta tahun lalu hingga sekitar abad ke-4 atau ke-5 Masehi dengan ditemukannya jejak tulisan pada masa Hindu. Nusantara sudah begitu renta sebagai hunian.
Kata Truman, para ahli meyakini Homo erectus telah hadir di Indonesia sejak 1,5 juta tahun yang lalu (pertanggalan tertua dari Perning, Jetis, Jawa Timur, menunjukkan umur dari sekitar 1,8 juta tahun lalu dan dari Sangiran sekitar 1,6 juta tahun lalu). Ketika manusia purba ”keluar dari Afrika” menuju Eropa dan Asia, persebaran mereka sampai pula ke Indonesia.
Dia lalu menyorongkan buku Arkeologi Indonesia dalam Lintasan Zaman yang disusun para arkeolog di Pusat Arkeologi Nasional untuk menggambarkan usaha penggalian sejarah yang panjang itu. Di dalam buku itulah, tertuang bahwa pada kala Pleistosen yang terentang mulai dari 2 juta sampai 11.500 tahun yang lalu itu, bumi begitu dinamis. Banyak pergerakan lempeng bumi, aktifnya gunung api, dan peng-es-an (glasiasi). Akibat pergerakan bumi itu muncul jembatan-jembatan darat yang menghubungkan antarpulau. Diduga pada masa itulah banyak manusia dan hewan bermigrasi.
Truman kemudian menunjuk sebuah titik di peta Indonesia yang tergantung di dinding kantornya: Flores. ”Inilah titik terjauh yang bisa dicapai Homo erectus dalam persebarannya di dunia. Mereka menyebar ke timur sampai akhirnya sampai ke Flores dan punah,” ujarnya.
Tentu saja gelombang migrasi manusia purba tak terhenti pada Homo erectus. Truman dalam tulisannya ”Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Prasejarah Indonesia” mencatat beberapa peristiwa penting di Nusantara, seperti kemunculan manusia modern Homo sapiens tertua. Di Indonesia pertanggalan tertua berasal dari situs Song terus, Pacitan, sekitar 45.000 tahun lalu. Lalu, berlanjut dengan berakhirnya zaman es awal Holosen yang menyebabkan kenaikan air laut sehingga memicu diaspora pada 10.000-5.000 SM, kedatangan penutur Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu (yang dari mana datangnya masih diperdebatkan), hingga zaman fajar sejarah alias protosejarah beberapa abad menjelang Masehi.
Maka, ke titik manusia purba pernah singgah itulah, Truman datang mencari jejak budayanya. Dia pergi ke berbagai situs di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga Papua.
Apa fokus penelitian Anda belakangan ini?
Ada dua penelitian besar yang saya dan tim dari Pusat Arkeologi Nasional yang sedang kerjakan. Pertama, Goa Harimau di Sumatera Selatan. Di dalam goa kami temukan banyak kubur manusia, sampai sekarang mencapai 76 individu di kedalaman 0,5 meter hingga 1,5 meter lebih. Kami ingin turun ke bawah dulu untuk mengetahui kronologi hunian di daerah itu. Sejauh ini, tinggalan paling dalam menunjukkan keberadaan hunian itu sejak 15.000 tahun lalu. Temuan tertua, dari kebudayaan preneolitik (ditandai alat serpih dan batu pukul). Kami menduga, jika menggali lebih dalam, bisa menemukan kebudayaan dari 40.000 hingga 50.000 tahun lalu.
Kedua, riset Sangiran. Kami mendapatkan temuan-temuan baru, khususnya artefak. Alat-alat batu manusia purba yang karakter morfoteknologinya khas. Budaya itu berkembang di Afrika sejak 1,6 juta tahun lalu dan menyebar ke Eropa dan Asia, termasuk ke Indonesia. Tinggalan yang kami temukan berusia lebih kurang 800.000 tahun. Di China juga ditemukan, alat sejenis berusia 400.000 tahun. Temuan alat-alat batu itu bisa merunut migrasi manusia.
Apa arti penting temuan di Goa Harimau?
Sampai saat ini, hanya di Goa Harimau ditemukan kubur manusia begitu banyak dan dari dua lapisan kebudayaan. Setelah penggalian lebih dalam, di bagian bawah terdapat kebudayaan neolitik Austronesia awal (kebudayaan neolitik ditandai antara lain peralatan terbuat dari batu telah diasah, pertanian menetap, peternakan, dan pembuatan tembikar). Itulah leluhur kita langsung sekarang ini. Mereka berkembang terus. Sekitar permulaan abad Masehi, mereka memasuki periode paleometalik (masa logam awal). Temuan ini bukan main menariknya dari segi ilmu pengetahuan. Dari kubur-kubur itu saja, kita bisa menjelaskan siapa manusia yang menghuni goa itu, konsepsi kepercayaan masyarakat, sampai penyakit yang berkembang waktu itu.
(Selain kubur manusia, ditemukan pula pecahan tembikar, alat serpih dari batuan, cangkang kerang, biji-bijian, tulang-tulang hewan. Ada pula temuan alat besi dan tajak perunggu di lapisan atas yang menunjukkan hunian dan kubur berlanjut hingga masa protosejarah).
Seberapa penting temuan di Indonesia mengungkap tentang evolusi?
Indonesia kawasan sangat penting untuk mengetahui evolusi manusia dan budayanya. Tidak banyak wilayah di dunia bisa menghidupi manusia sejak masa begitu tua. Temuan-temuan Homo erectus tidak banyak di dunia ini. Hanya ada di beberapa tempat, seperti Indonesia, China, Georgia (Rusia), Perancis, Spanyol, Filipina, dan Afrika.

Profesor riset

Bagi Truman, mengungkap siapa manusia Nusantara masa lalu dan misteri kehidupan mereka sangatlah menarik. Dia meyakini, masa lalu selalu berkait dengan sekarang. Rasa ingin tahu itu terbetik sejak Truman duduk di bangku kelas V sekolah dasar di Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Dia masih mengingat, gurunya mengajar sejarah dan bicara tentang keindahan Borobudur dan Prambanan. Truman membayangkan penuh kekaguman betapa candi raksasa dibangun dari tumpukan batu. Di akhir kelas, guru berpesan, jika murid rajin belajar, kelak mereka bisa pergi ke Jawa melihat Candi Borobudur. Untuk Truman yang bersekolah di ujung Pulau Sumatera awal tahun 1960-an, Pulau Jawa begitu jauhnya. Sekalipun terdengar sederhana, ucapan guru terngiang terus.
Berpuluh tahun selepas dari SD, Truman tak hanya berkunjung ke Borobudur, tetapi berkontribusi untuk perkembangan arkeologi di Indonesia. Lebih dari 150 karya tulis dipublikasikan dalam bentuk artikel, monografi, prosiding, makalah, dan lain-lain. Truman dinobatkan sebagai profesor riset dengan orasi pengukuhan ”Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Prasejarah Indonesia” tahun 2006 lalu.
Bagaimana keanekaragaman di Nusantara tercipta?
Keragaman fisik dan budaya itu terjadi karena banyak faktor. Pertama, faktor lingkungan yang bermacam-macam membuat manusia beradaptasi dan menciptakan budaya-budaya khas. Itu yang disebut dengan evolusi lokal. Kedua, keanekaragaman fisik itu terjadi karena tradisi, kebiasaan, dan juga aliran DNA yang bervariasi. Perkawinan berbagai jenis fisik, apalagi dengan berbeda ras, menumbuhkan keberagaman.
Interaksi dengan dunia luar juga sangat menentukan keanekaragaman. Nusantara begitu luas, bertetangga dengan Australia dan Pasifik. Pengaruh dari luar itu berbeda-beda. Sumatera, misalnya, lebih gampang mendapat pengaruh dari Asia Tenggara daratan. Adapun Papua dan Maluku mendapat pengaruh dari timur, seperti Pasifik dan Australia. Interaksi antarpulau di Nusantara yang juga tak terbatas ikut menciptakan keanekaragaman. Itu menjadikan keanekaragaman manusia dan budaya di Nusantara bisa dikatakan yang tertinggi di dunia.
Dalam prasejarah, apa keanekaragaman itu terlihat dalam tinggalan budaya?
Ya. Bahkan, di situs tua sekalipun seperti Sangiran yang telah dihuni manusia dari 800.000 hingga lebih 1 juta tahun lalu. Di satu kompleks Situs Sangiran saja artefak seperti peralatan batunya berbeda antara yang di utara dan selatan. Di utara, daerah Ngebung, kami temukan alat-alat besar dan batu inti. Ada juga alat serpih, tetapi kebanyakan berukuran besar. Tetapi, di selatan, seperti di Dayu, hampir tidak ditemukan alat-alat besar. Hanya ada alat-alat kecil. Padahal, periodenya sama. Lingkungan yang menciptakan perbedaan. Di selatan tidak banyak sumber batuan yang bisa dijadikan alat. Di utara, lebih banyak. Jarak antara utara dan selatan itu hanya sekitar 4-5 kilometer dan itu pun sudah berbeda sekali alatnya.
Apakah pluralisme yang alami itu membuat ide-ide penyeragaman sulit bertahan?
Kita tidak bisa menghindar dari pluralisme. Menyangkal pluralisme adalah usaha yang sia-sia. Hanya kehancuran jika bangsa Indonesia dipaksakan seragam. Setelah kehancuran itu pun, akan muncul keanekaragaman lagi. Membangun bangsa ini harus berdasarkan kebinekaan itu. Ini yang harusnya ditonjolkan agar Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berperadaban khas. Bukan bangsa yang cawit sana dan sini, ambil sana dan sini. Setelah keanekaragaman kuat sebagai jati diri dan karakter, kita akan dengan mudah memilah budaya luar yang sesuai dengan kepribadian kita.(Indira Permanasari)
Prof Truman Simanjuntak 
Truman Simanjuntak
Lahir: Pematang Siantar, 27 Agustus 1951
Istri: Yohana Yuliati
Anak: Ruth Simanjuntak dan Levi Simanjuntak
Riwayat Pendidikan:
  • Sarjana Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia, 1979
  • DEA (setara ijazah master), Prasejarah, Institut de Paléontologie Humaine, Paris, Perancis, 1987
  • Doktor, Prasejarah, Institut de Paléontologie Humaine, Paris, Perancis, 1991
Riwayat Pekerjaan:
  • Peneliti dan Direktur, Center for Prehistoric and Austronesian Studies (2006-sekarang)
  • Profesor Riset, Pusat Arkeologi Nasional (2006-sekarang)

Sumber:
http://hurahura.wordpress.com/2014/03/16/truman-simanjuntak-berburu-jejak-budaya-purba/

No comments:

Post a Comment