Asia Benua Supranatural?
Stigma Inferioritas Asia
Selama kurun beberapa abad belakangan ini kita silau memandang benua
barat (Eropa & Amerika) lebih superior dibanding benua kita, Asia.
Ilmu pengetahuan, filsafat, dan ketatanegaraan (demokrasi) seakan
berkiblat ke benua barat. Kita merasa warisan budaya dan sains yang kita
miliki hanya seujung kuku dari apa yang mereka punya. Dan, kita
menganggap apapun yang bersumber dari barat, selalu lebih baik dari apa
yang berasal dari tanah sendiri.
Sadar ataupun tidak, selama puluhan bahkan ratusan tahun kita dikungkung
perasaan inferior, rendah diri. Apa sebabnya? Salah satunya akibat
imperaliesme dan kolonialisme, sehingga benua Asia, khususnya Asia
Tenggara, dijuluki sebagai benua “pinggiran”. Tiga abad lebih, tanah air
kita dibelenggu penjajahan “kumpeni”. Bukan waktu yang sebentar untuk
menancapkan indoktrinasi inferior hingga berakar, dan buahnya kita
rasakan sekarang. Dimana kepercayaan diri sebagai bangsa yang besar,
dengan warisan budaya dan kekayaan alam yang luar biasa, tergerus dan
menumpul. Produk penjajahan itu kita rasakan sampai kini kita merasa
tetap “inlander”.
Propaganda filosofi, kemajuan sains, dan branding culture bangsa benua
lain yang sungguh dahsyat, itu juga menjadikan rahsa kebangsaan kita
jadi menciut. Kita memandang begitu megah peradaban sejarah bangsa
Aztec, Maya, Nordic, Yunani, dan Romawi. Atau pula, kita kerap lebih
terkesima dengan kemewahan produk sejarah bangsanya “Cleopatra” dan
fir’aun, manakala menonton sequel film The Mummy. Bahkan kurang begitu
bangga terhadap Borobudur ketika membuka “Atlas” yang terdapat 7
keajaiban dunia-nya. Sehingga kita menjadi kurang sadar bahwa kita
memiliki warisan Padjajaran, Majapahit, Sriwijaya.
Ah, kalaupun bangga, bahkan sangat bangga, mungkin cuma dimiliki oleh
segelintir orang yang notabene sebagai pewaris budaya dan kekayaan itu.
Misalnya kaum ningrat, bangsawan, yang bergelar Raden dan pengamat
budaya. Sedangkan kaum jelata? Paling-paling hanya kebanggan kolektif,
chauvinisme. Mengapa begitu? Itu karena konspirasi politik kaum
penjajah, dan mungkin konspirasi politik segelintir orang yang punya
kepentingan “khusus”. Sehingga kebesaran budaya dan peradaban kita
ditutup-tutupi agar kita merasa “kecil”.
Lemuria & Atlantis
Lemuria adalah peradaban kuno yang hadir lebih dulu sebelum peradaban
Atlantis. Pendapat ahli yang meneliti berdasar referensi literatur
penelitian situs purbakala bangsa Maya di Yucatan yang dilakukan Agustus
Le Plongeon (1826-1908), menyatakan bahwa bangsa Lemuria hidup di era
75.000 SM – 11.000, era itu sebelum Atlantis ada, dan bersamaan dengan
perkembangan peradaban Atlantis 9.500 SM.
Lemuria hingga kini masih menjadi polemik. Masing-masing ahli dan
peneliti menyampaikan hipotesis berbeda mengenai kebenaran dan letak
geografis keberadaan Benua Lemuria ini. Belakangan banyak ahli
menyimpulkan peradaban Lemuria berlokasi di sekitar Samudera Pasifik,
tepatnya mengarah sekitar Indonesia di masa sekarang. Hal itu
disimpulkan atas bukti-bukti arkeologis yang menjadi rujukan, seperti
yang digambarkan Augustus Le Plongeon.
Peradaban Lemuria digambarkan memiliki tanah yang subur, masyarakat yang
makmur dengan kekayaan alam berlimpah. Bangsa Lemuria di masa kejayaan
peradabannya sudah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih
canggih dari masa sekarang. Selain itu, bangsa Lemuria dipercaya diisi
oleh masyarakat yang sangat cinta damai, bermoral, dan kehidupannya
lekat dengan nilai spiritualitas yang tinggi.
Tak ada kelanjutan sustainabilitas alias ketahanan peradaban Lemuria
hingga kini, jejaknya terputus. Banyak versi yang menyatakan
sebab-sebabnya, di antaranya Lemuria dianggap lenyap berbarengan dengan
lenyapnya peradaban Atlantis, yang hilang akibat bencana katastrofi
dahsyat yang melanda. Sebagian lagi menyatakan, hilangnya peradaban
bukan lantaran disebabkan bencana alam, namun karena invasi atlantis
yang membuat separuh bangsa berguguran, dan separuh lagi mengungsi.
Mengingat penguasan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Lemuria sudah
sangat maju, akan tetapi mereka cenderung cinta damai dan tidak
menggunakan kemajuan teknologi untuk membuat alat perang, sebagian lagi
memilih bermigrasi ke berbagai tempat, termasuk menembus dimensi lain.
Hingga dikatakan, sebagian bangsa Lemuria berpindah ke planet lain yang
disebut-sebut Planet Lemurian, sebuah planet di sisi luar galaksi
Bimasakti berdekatan dengan galaksi Andromeda.
Setelah serangan Atlantean, wilayah Lemuria jatuh ke tangan kekuasaan
bangsa Atlantis. Selepas berakhir peradaban Lemuria, peradaban Atlantis
mengambil alih hampir keseluruhan peradaban Lemurian. Sebagian Lemurian
mengungsi dalam pecahan-pecahan kelompok ke berbagai pelosok dunia,
mereka mengembangkan peradaban-peradaban baru yang didasari warisan
peradaban leluhurnya.
Hampir serupa dengan peradaban Lemuria, banyak spekulasi dan hipotesis
mengenai keberadaan peradaban Atlantis. Dimana persisnya letak Atlantis,
hingga masih menjadi perdebatan. Berbagai penelitian untuk mengungkap
kedua peradaban besar masa lalu di beberapa tempat, dan berdasar
beberapa literatur sampai saat ini belum mencapai kesepakatan dimana
bangsa Mu dan Atlantean membangun peradabannya. Masing-masing temuan
ahli di beberapa lokasi penelitian saling melengkapi dan saling
menyanggah.
Literatur yang paling banyak dijadikan rujukan untuk mengungkap
teka-teki keberadaan peradaban Atlantis adalah catatan Plato yang
tertuang dalam buku: Timaeus and Critias. Namun, literatur buatan Plato
itu pun banyak yang meragukan dan menganggap sebuah mitos, fiksi ilmiah,
bahkan dianggap prosa historis yang dibaliknya tersimpan agenda politis
tertentu.
Digambarkan Plato dalam bukunya, Atlantis adalah sebuah kerajaan besar
yang menguasai lebih dari separuh bumi dengan penguasaan ilmu
pengetahuan yang sudah sedemikian canggih, masih berbanding jauh lebih
canggih dibanding jaman sekarang. Ciri-ciri geografis, kondisi alam,
tipikal masyarakat, kekayaan alam dan keragaman hayati yang banyak
digambarkan pendapat mengenai kedua peradaban itu, persis, seperti
representasi dari Indonesia. Benua dan peradaban Atlantis yang
dikisahkan Plato 2.500 tahun lalu itu digambarkan tengelam ke dasar laut
disapu oleh bencana banjir dan gempa bumi yang dahsyat.
Sampai di sini saja gambaran mengenai Lemurian dan Atlantis, sebab
meskipun Dewan Kehormatan dan jajaran tutor MASAGI Fraternity yang
tergabung dalam MASAGI Avatar meneliti eksistensi dan peninggalan kedua
peradaban besar itu melalui mekanisme supranatural, “astral travelling”
menembus dimensi masa lalu, namun fakta yang didapatkan hanya akan
menambah keruh polemik hipotesis dua peradaban itu. Akan tetapi, suatu
waktu akan kami babarkan sebagai suatu persepsi yang akan memperkaya
khazanah penelitian dua peradaban besar itu.
Inilah beberapa clue atau kewyord yang dapat dijadikan rujukan atau
referensi mengenai keberadaan peradaban lemuria dan Atlantis yakni:
- Book of Henokh alias Kitab Enoch
- Augustus Le Plongeon
- Plato: Timaeus & Critias
- Atlantis: The Lost Continent Finally Found, thesis Prof. Arysio Santos
- Kumari Kandam
- Sundaland
Yang digarisbawahi disini adalah beberapa hal :
1. Temuan-temuan para ahli peneliti mengenai Lemurian dan Atlantis mengarah pada Indonesia.
2. Sadarkah kita bahwa apa yang terjadi yang digambarkan dalam literatur
ataupun temuan arkeologi mengenai dua peradaban besar itu,
merepresentasikan Indonesia. Bencana alam yang melanda Atlantis,
tidakkah sama seperti yang dialami Indonesia?
3. Apakah kita akan seterusnya merasa menjadi bangsa “inferior”?
Sundaland
Berdasar beberapa temuan arkeologi, literatur dan hipotesis ahli yang
dijadikan rujukan para peneliti dari Indonesia memunculkan pendapat
bahwa Lemurian dan Atlantis itu merupakan benua yang dahulu dikenal
dengan Sundaland (Paparan Sunda). Sundaland meliputi wilayah bagian
barat Indonesia; jawa, Sumatera, Kalimantan, dan membentang hingga
sebagian besar Asia Tenggara.
Stephen Oppenheimer, dokter ahli genetik dan spesialis expert sejarah
peradaban, di dalam Buku Eden in The East (diterbitkan th 1999)
menyebutkan tunas peradaban masa lampau adalah di wilayah Sundaland,
bukan di benua Eropa atau Afrika. Pernyataan itu dilandasi kajian
etnografi, oceanologi, mitologi, arkeologi, dan analisa DNA yang
menyimpulkan bahwa orang-orang Sundaland adalah nenek moyang yang
menurunkan peradaban di lembah Sungai Indus, China, juga Mesopotamia,
dan wilayah lain di bumi ini.
Oppenheimer menjelaskan teorinya mengenai Sundaland, pada masa akhir
zaman es 20.000 tahun lalu, saat itu permukaan laut masih rendah, jauh
berbanding rendah 150 meter di bawah permukaan laut saat ini. Di masa
itu kepulauan Indonesia bagian barat masih menyatu dengan benua Asia,
sehingga menjadi daratan sangat besar, dan ini disebut Paparan Sunda.
Ketika pemanasan bumi sedang gencar, es di kutub utara dan selatan
mencair sehingga merendam sebagaian kawasan, hingga Paparan Sunda
terpisah menjadi pulau-pulau yang kini dikenal Pulau Jawa, Bali,
Sumatera, dan Kalimantan.
Pernyataan Prof. Santos pun dalam thesisnya mengemukakan Atlantis
terletak di kawasan yang paling banyak terdapat gunung berapi. Yang
paling mendekati pernyataan Profesor Santos adalah Indonesia, sebab
negara ini terletak pada posisi geografis dengan 3 lempeng tektonis di
dalam bumi yang saling menekan hingga banyak terdapat gunung berapi dari
Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga ke utara Pilipina. Deretan gunung
berapi ini dikenal dengan cincin api alias “Ring of Fire”.
Hipotesis dua ahli tersebut mengenai Atlantis, dilengkapi dengan teori
difusi yang menandaskan sebagian Atlantean yang selamat dari bencana
besar itu mengungsi dan menyebar ke berbagai pelosok bumi. Hal itu
sedikitnya mematahkan anggapan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia
adalah “expatriat” dari Yunani, atau pendatang dari bangsa lain.
Asia (Special Sunda) Benua Supranatural
Bila supranatural diinterpretasikan sebagai sesuatu yang belum mampu
dijabarkan oleh ilmu pengetahuan masa kini, atau diidentikan dengan
mistis-mitos, maka fenomena keberadaan dan teknologi-teknologi dari dua
peradaban besar itu (Lemuria & Atlantis) merupakan supranatural,
sebab belum terjabarkan dengan pandangan ilmu pengetahuan (logika) namun
nyata adanya. Dengan demikian bisa dikatakan dua peradaban itu masih
menjadi kajian supranatural, dan hingga saat ini kajian supranatural dua
peradaban besar itu sedang dikaji dengan ilmu pengetahuan (logika), dan
kita tunggu hasilnya.
Eropa dikatakan benua supranatural, sebab memiliki beragam
mitologi-supranatural seperti Scandinavia (Nordic), Greek, Romawi.
Bandingkan dengan Asia. Kekayaan mitologi-supranatural Asia yang saking
banyaknya hingga susah dihitung, dan berlandaskan temuan kedua ahli di
atas, itu akan mempertanyakan kembali. Jangan jauh-jauh lingkup Asia,
yang kecil saja negara Indonesia dengan ratusan suku yang masing-masing
suku punya mitologi-supranatural, kira-kira apa Asia bisa disebut benua
Supranatural?
Keturunan bangsa Lemuria dan Atlantis yang dianggap hingga kini masih
eksis melanjutkan tatanan peradabannya, walaupun dinilai hanya sebagian
kecilnya termasuk filosofi dan kultur, sedangkan ilmu pengetahuan yang
canggihnya tidak terlalu kentara terlihat, adalah Sunda Wiwitan dan
Dayak Segandu. Sunda Wiwitan identiknya untuk istilah yang merujuk pada
suatu ajaran filosofi, atau dikatakan agama. Namun, Sunda Wiwitan disini
adalah menujuk pada orang-orang di masa awal peradaban Sunda (Sunda
purba, sebelum Padjajaran, bahkan sebelum Salakanagara atau
Tarumanagara). Suku Baduy di Banten dan beberapa suku di nusantara lain
misalnya, dianggap sebagai sisa keturunan para Lemurian dan Atlantean.
Khazanah Sunda Wiwitan dan Dayak Segandu dikatakan sebagai warisan
ajaran-ajaran spiritual bangsa Lemuria. Banyak ahli, ilmuwan dan
budayawan menilai Sunda Wiwitan dan Dayak Segandu kehidupannya sangat
kental dengan spiritual supranatural.
Lemuria dan Atlantis itu di Nusantara (Sunda)
Asumsi dari kami, sedikit memperkaya khazanah penelitian peradaban
Lemuria dan Atlantis, setidaknya dengan mengajukan asumsi yang walaupun
tidak melalui instrumen akademis baku, kami yakin Lemuria dan Atlantis
(Sundaland) itu ada di bumi Nusantara, dan Sunda memiliki bagian besar
di dalamnya. Tentu bukan sekedar asumsi biasa yang tanpa latar belakang
alasan. Kami mengajukan asumsi atau boleh dikata hipotesis itu berdasar
persamaan:
- Pertama, catatan sejarah menceritakan kebesaran Padjajaran (kerajaan
turunan Salakanagara dan Tarumanagara) yang dikatakan wilayah kekuasaan
luas, kekayaannya besar, namun fakta dan bukti-bukti peninggalannya
hanya sedikit saja yang terkuak. Dimana keraton besar, makam Siliwangi
raja besar temasyhur Padjajaran, dan dimana bukti peninggalan lainnya
berada? Itu masih menjadi polemik. Sadarkah kita, bukankah Padjajaran
sama persis dengan Lemurian dan Atlantean, yang bukti keberadaan dan
peninggalan masih meninggalkan teka-teki belum terpecahkan semuanya. Apa
itu hanya kebetulan semata?
- Kedua, masa akhir kejayaan dan putusnya jejak Padjajaran dikatakan
para ahli sejarah adalah dilatari oleh invasi Demak lalu dilanjutkan
dengan era kejayaan kerajaan Islam (Demak, Mataram Islam). Sebagian
orang-orang Padjajaran yang loyal pada leluhurnya mengungsi dan menyebar
ke berbagai tempat hingga membidani lahirnya kerajaan baru (contoh:
Sumedang Larang, Kasepuhan Cirebon, dll), sebagian lagi konon “tilem”
atau “ngahiyang” (mythology Hutan Sancang) ke dimensi lain atau konon
mancala putra-mancala putri jadi Harimau, dan sebagian lagi
mengisolasikan diri ke hutan (misal: suku Baduy dalam). Bukankah ini
mirip temuan ahli peneliti yang menyatakan Lemuria diinvasi Atlantis,
sebagian Lemurian menyebar ke pelosok bumi lain dan membangun peradaban
baru meneruskan warisan peradaban leluhurnya, serta dikatakan sebagian
Lemurian lagi bermigrasi ke planet lain. Apa itu juga kebetulan persis,
atau itu semacam rotasi sejarah berulang-ulang (déjà vu)?
- Ketiga, sejarah Padjajaran yang persis Lemuria dan Atlantis, hampir
sama versinya menyebar di Nusantara ini, dan memiliki kesaman sejarahnya
seperti di; Majapahit, Sriwijaya, dan kerajaan-kerajaan besar lainnya
di tanah air kita.
Jadi, asumsi di atas tersebut apakah hanya kebetulan semata? Ini yang
patut kita kaji kembali. Dan, Ada yang menggelitik kami, mengkaji fakta
dan bukti-bukti otentik Padjajaran saja dalam lingkup kecil di tanah air
kita itu sebegitu sulitnya, diwarnai polemik hipotesis dan penelitian
panjang, apalagi mengungkap teka-teki peradaban Lemuria dan Atlantis.
Atau mungkin, acuannya kita mulai dengan menguak misteri Padjajaran,
sebab terdapat relevansi historical, dan mungkin bisa jadi “galur” alias
jalur sinkron Padjajaran dengan peradaban Lemuria dan Atlantis.
Sampai di sini, dari babaran di atas anda mendapat sedikit clue, itu
bisa menjadi pencerahan sekaligus membuat dahi anda mengkerut. Selamat
berpolemik!
Salam hangat,
Luthfi 'Vei' Kosimsaputra
[Chairman of MASAGI]
No comments:
Post a Comment