Kontroversi Piramida Sadahurip, Sebuah Tinjauan Astronomi (oleh Ma'rufin Sudibyo)
Hari-hari belakangan ini kita diharubirukan oleh (klaim) temuan
fenomenal di Gunung Sadahurip, salah satu gunung di sisi tenggara
bentukan geografis yang dikenal sebagai cekungan Bandung (Jawa Barat).
Dipantik oleh klaim tim Turangga Seta dengan pendekatan yang
kontroversial, disebut-sebut gunung ini sejatinya merupakan piramida
purba dalam ukuran sangat besar. Tim Katastrofik Purba, yang dibentuk
oleh Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana, menyeret
kontroversi lebih jauh setelah melakukan uji pertanggalan karbon
radioaktif pada lapisan tanah di permukaan gunung dan mendapati umur
sangat tua, hingga 7.000 tahun silam lebih. Penggalian di salah satu
bagian menemukan susunan bebatuan, yang kemudian (tanpa analisis lebih
lanjut) dinyatakan sebagai bronjong tubuh piramid. Sebagian media massa
turut membuat kontroversi membuhul ke titik kulminasinya, mulai dari
pengakuan penemuan pintu masuk piramid hingga batu bertulis (prasasti)
yang terukir huruf kuno.
Bagi sebagian kita, khususnya yang terobsesi oleh teori Arsiyo Santos
tentang Indonesia sebagai Atlantis yang fenomenal, penemuan piramida
Sadahurip dianggap sebagai bukti eksistensi Atlantis di masa silam.
Penemuan ini sekaligus diklaim sebagai bukti bahwa asal-usul berbagai
peradaban berbagai bangsa yang terserak di muka Bumi adalah Indonesia.
Sepetti terlihat dari umur piramida Sadahurip, yang jauh lebih tua
ketimbang piramida Mesir. Sehingga dianggap bangsa Mesir, pun demikian
bangsa-bangsa pembangun piramid lainnya, merupakan turunan dari penduduk
Atlantis yang dulu hidup di Indonesia.
Pada diagonal yang berlawanan, klaim temuan piramida Sadahurip mendapatkan tantangan kuat dari sejumlah disiplin ilmu, terutama arkeologi dan geologi. Bagi para arkeolog, selain penyelidikan terhadap Gunung Sadahurip yang serampangan, tak sistematis dan tanpa mematuhi metode penelitian lapangan arkeologi yang baku, piramida Sadahurip tidak didukung oleh jejak-jejak pemukiman maupun hasil budaya manusia sezamannya yang terserak disekitarnya. Bagi para geolog, kenyataan lapangan menunjukkan gunung Sadahurip lebih merupakan fosil gunung berapi alias gunung berapi purba, yakni gunung berapi yang tumbuh dan penah aktif berjuta tahun silam namun kini telah mati sepenuhnya dan tererosi hingga nyaris habis.
Tulisan ini hendak mengupas lebih lanjut kontroversi piramida Sadahurip ditinjau dari sudut pandang astronomi.
1. Piramida dan Mata Angin
Piramida merupakan bangun tiga dimensi dengan dasar segitiga, segiempat maupun poligon teratur lainnya dengan sisi-sisi berbentuk segitiga yang bertemu pada satu titik di puncak. Meski demikian piramida dengan dasar segiempat merupakan piramida paling umum dijumpai. Piramida dijumpai dalam berbagai kebudayaan. Misalnya Mesir kuno, yang kerap diidentikkan dengan piramida meskipun piramida terbanyak ternyata dimiliki oleh kebudayaan Sudan/Nubia kuno (220 buah, Mesir hanya 135 buah). Namun bentuk-bentuk piramid dijumpai pula di kebudayaan Mesopotamia (sebagai ziggurat), Yunani, Romawi, Mesoamerika, Amerika Utara dan Cina.
Gambar 1. Deretan piramida Mesir di Giza, dekat Kaio (Mesir). Bentuk-bentuk mirip piramida juga dijumpai dalam kebudayaan India kuno dan Indonesia kuno. Candi Borobudur misalnya, mengesankan sebagai bentuk piramida berundak, meskipun teknik konstruksi Borobudur amat berbeda dibandingkan piramida Mesir. Candi-candi utama di Prambanan memiliki bagian atas yang menyerupai piramida, meski dengan proporsi jauh berbeda. Pun demikian candi Penataran yang berlanggam Jawa Timuran. Satu-satunya candi yang amat mirip piramida adalah candi Sukuh di lereng Gunung Lawu (Jawa Tengah), yang dibangun pada abad ke-15 menjelang runtuhnya Majapahit.
Tujuan pembangunan piramida atau bangunan mirip piramida di berbagai penjuru dunia itu relatif sama, yakni sebagai pusat peribadahan, pusat religi dalam masing-masing kebudayaan. Cukup mengesankan bahwa bangunan piramida atau yang menyerupai piramida secara astronomis dirancang demikian cermat sehingga orientasinya menghadap ke titik-titik istimewa tertentu di langit. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kepercayaan dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut, yang menganggap dewa-dewa mereka senantiasa berada di langit mengawasi setiap saat dalam rupa bintik-bintik cahaya yang gemerlap. Selain itu posisi piramida atau bangunan menyerupai piramida selalu menuju keempat penjuru mataangin dengan presisi demikian tinggi.
Gambar 2. Citra satelit piramida Giza disertai sumbu mataangin pimer. Sebelumnya, mari kita ulas terlebih dahulu tentang sistem mataangin. Kita mengenal empat mataangin primer (utara, timur, selatan, barat) dan empat mataangin sekunder (timur laut, tenggara, barat daya, barat laut). Di antara mataangin pimer dan sekunder kadang ditambahkan pula mataangin tersier. Namun dalam astronomi, mata-mataangin tersebut dikuantifikasi ke dalam sistem azimuth yang berjumlah 360. Untuk mataangin primer, utara adalah arah nol (0) atau 360, timur adalah arah 90, selatan adalah arah 180 dan barat adalah arah 270. Karena mataangin sekunder adalah tengah-tengah antara dua mataangin primer yang berdampingan, maka timur laut adalah arah 45, tenggara adalah arah 135, barat daya adalah arah 225 dan barat laut adalah arah 315.
Gambar 3. Penampang melintang sebuah piramida Mesir. Mari lihat piramida Mesir, misalnya yang terpopuler di dataran Giza. Sisi-sisi tiap piramida di Giza ternyata tepat menghadap ke sumbu utara-selatan timur-barat dengan presisi demikian tinggi. Presisi tersebut bukannya tanpa sebab. Dengan posisi tepat ke sumbu utara-selatan, maka sisi utara piramida Giza akan selalu berhadapan dengan bintang Thuban atau alpha Draconis (tingkat terang +3,7), bintang penanda kutub utara langit pada 4.500 tahun silam. Sebagai bintang kutub, posisi bintang Thuban selalu berada di titik yang sama tanpa pernah beringsut sepanjang waktu. Kekhasan posisi bintang Thuban rupanya sejalan dengan konsep keabadian dalam Mesir kuno, sehingga sebuah lorong kecil dibangun dari ruang Firaun (di dalam piramid) menuju sisi utara, yang memungkinkan cahaya bintang Thuban tepat menyinari kepala jasad Firaun. Demikian pula bintang terang terdekat dengan Thuban, yakni bintang Kochab atau beta Ursa Minor (tingkat terang +2). Bintang ini pun selalu nampak di langit utara sepanjang waktu, yang seakan-akan berputar mengelilingi bintang Thuban.
Gerak berputar ini memberi kesan kalau bintang Kochab adalah pasangan setia bintang Thuban. Sehingga sebuah lorong pun dibangun untuk memungkinkan cahaya bintang Kochab menyinari ruang Permaisuri, yang diletakkan tepat di bawah ruang Firaun, khususnya saat bintang itu berkulminasi atas.
Bangsa Mesir kuno amat terpesona dengan rasi bintang Waluku atau Orion, yang dianggap sebagai perwujudan dari Osiris dalam mitologi Mesir kuno. Nyawa dari Firaun yang sudah tiada diyakini akan bergabung dengan Osiris. Sehingga sebuah lorong pun dibangun dari ruang Firaun menembus sisi selatan, yang memungkinkan cahaya rasi Waluku (khususnya tiga bintang di sabuk Waluku) menyinari jasad sang Firaun, khususnya saat rasi Waluku berkulminasi atas. Atas alasan yang sama pula, sebuah lorong pun dibangun agar cahaya bintang Sirius, bintang paling terang di langit, bisa menyinari ruang Permaisuri. Bintang Sirius dianggap sebagai perwujudan dari Isis dalam mitologi Mesir kuno.
Gambar 4. Citra satelit candi Borobudur disertai sumbu mataangin pimer. Gambar 2. Citra satelit candi Prambanan disertai sumbu mataangin pimer. Fakta yang hampir sama pun dijumpai pada bangunan menyerupai piramida. Candi Borobudur misalnya, juga menghadap ke mataangin utama dengan presisi mengagumkan. Pun demikian halnya candi-candi utama dalam kompleks percandian Prambanan. Selain terkait dengan konsep kosmologi dan mitologi Buddha (untuk Borobudur) dan Hindu (untuk Prambanan), presisinya bangunan candi terhadap arah mataangin utama berguna bagi kepentingan praktis. Selain sebagai bangunan religius, candi Borobudur juga berfungsi sebagai petunjuk posisi Matahari, yang dikaitkan dengan siklus musim. Hal serupa kemungkinan juga berlaku bagi Candi Prambanan. Sehingga, dalam perspektif astronomi, piramida ataupun bangunan menyerupai piramida merupakan observatorium kuno tempat kaum cendekia (khususnya pendeta) mengamati langit.
2. Piramida Sadahurip
Bagaimana dengan piramida Sadahurip ?
Gunung Sadahurip terletak di sebelah utara gunung Telaga Bodas dan gunung Galunggung. Galunggung merupakan gunung berapi aktif, terakhir meletus pada 1982-1983 dan tercatat sebagai letusan terbesar di Indonesia dalam 30 tahun terakhir. Sayangnya, citra Google Earth dalam cahaya visual untuk kawasan Gunung Sadahurip ditutupi oleh awan relatif tebal, sehingga gunung yang diklaim sebagai piramida ini tidak nampak. Namun beruntung terdapat citra kontur elevasi yang mampu memperlihatkan bentuk gunung Sadahurip dengan jelas.
Gambar 6. Citra kontur Google Map untuk kawasan gunung Telagabodas – Galunggung dans ekitarnya. Gunung Sadahurip dinyatakan dalam tanda panah. Kita batasi gunung Sadahurip pada kontur elevasi 1.320 m dpl ke atas hingga puncaknya, mengingat dari kontur tersebut sifatnya tertutup. Nampak jelas bahwa gunung Sadahurip memiliki dasar berupa segilima tak simetris sehingga sis-sisinya pun tak sama luasnya. Dasar berbentuk segilima ini amat berbeda dengan piramida Mesir, yang segiempat. Pun demikian dasar berupa segilima tak simetris ini pun mengherankan, karena meski piramida dapat saja memiliki dasar berbentuk segilima (meski tak ada contohnya) namun seharusnya berbentuk simetris.
Akibat ketidaksimetrisan dasarnya, maka arah hadap sisi-sisi gunung Sadahurip pun tidak simetris. Di awali dari utara, masing-masing sisi menghadap ke arah 68, arah 143, arah 220, arah 284 dan arah 344. Tak satupun yang berimpit dengan sumbu mataangin utama (utara-selatan timur-barat) atau sumbu mataangin sekunder. Dengan demikian selisih sudut antar sumbu tiap sisi bervariasi dari yang terkecil 60 derajat hingga yang terbesar 77 derajat. Bila dasarnya simetris, seharusnya selisih tersebut seragam pada nilai 72 derajat (yakni 360 dibagi 5).
Gambar 6. Citra kontur Google Map gunung Sadahurip, dilengkapi sumbu mataangin utama dan arah sisi-sisi gunung. Benda langit apa yang dihadapi masing-masing sisi gunung Sadahurip, dengan posisi arah hadap demikian, menjadi tak jelas. Jika dibandingkan dengan candi Borobudur, tidak terlihat fungsi sisi-sisi gunung Sadahurip sebagai petunjuk posisi Matahari terkait siklus musim. Sisi yang menghadap ke arah 68 memang hampir sejajar dengan posisi Matahari terbit saat paling utara (summer solstice). Namun terbenamnya Matahari pada titik itu, yakni pada arah 294, ternyata berselisih besar dengan arah hadap 284. Demikian pula terbit dan terbenamnya Matahari pada saat paling selatan (winter solstice), masing-masing di arah 114 dan 245, ternyata tak berhadapan dengan satu sisi gunung Sadahurip sekalipun. Hal serupa juga terlihat pada saat Matahari berada di titik ekuinoks, sehingga terbit tepat di timur dan terbenam tepat di barat. Ternyata tak ada satupun sisi gunung Sadahurip yang menghadap ke timur (arah 90) maupun barat (arah 270).
Dengan gunung Sadahurip diklaim sebagai piramida dan manusia yang membangunnya diklaim hidup lebih awal dibanding bangsa Mesir Kuno maupun bangsa Jawa kuno, bahkan diklaim pula sebagai bangsa Atlantis nan cerdas yang menjadi leluhur bangsa-bangsa berperadaban tinggi lainnya di muka Bumi, maka dua fakta berbeda itu mengerucut pada dua kesimpulan. Pertama, para pembangun piramida Sadahurip tak paham geometri. Sehingga tak bisa merancang dasar piramida yang simetris. Ini bertolak-belakang dengan bangsa Mesir kuno dan Jawa kuno yang telah mengenal dan menerapkan geometri dalam pembangunan piramida dan candinya. Dan yang kedua, para pembangun piramida Sadahurip tak paham astronomi. Sehingga piramidanya tak bisa menjadi penanda peristiwa-peristiwa langit yang penting bagi kebudayaan bangsa-bangsa kuno.
Di atas semua itu, dapat ditarik satu kesimpulan yang lebih sederhana dan lebih solutif. Yakni, gunung Sadahurip bukanlah piramida dan juga bukan bangunan menyerupai piramida.
Sumber:
http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=1513
Pada diagonal yang berlawanan, klaim temuan piramida Sadahurip mendapatkan tantangan kuat dari sejumlah disiplin ilmu, terutama arkeologi dan geologi. Bagi para arkeolog, selain penyelidikan terhadap Gunung Sadahurip yang serampangan, tak sistematis dan tanpa mematuhi metode penelitian lapangan arkeologi yang baku, piramida Sadahurip tidak didukung oleh jejak-jejak pemukiman maupun hasil budaya manusia sezamannya yang terserak disekitarnya. Bagi para geolog, kenyataan lapangan menunjukkan gunung Sadahurip lebih merupakan fosil gunung berapi alias gunung berapi purba, yakni gunung berapi yang tumbuh dan penah aktif berjuta tahun silam namun kini telah mati sepenuhnya dan tererosi hingga nyaris habis.
Tulisan ini hendak mengupas lebih lanjut kontroversi piramida Sadahurip ditinjau dari sudut pandang astronomi.
1. Piramida dan Mata Angin
Piramida merupakan bangun tiga dimensi dengan dasar segitiga, segiempat maupun poligon teratur lainnya dengan sisi-sisi berbentuk segitiga yang bertemu pada satu titik di puncak. Meski demikian piramida dengan dasar segiempat merupakan piramida paling umum dijumpai. Piramida dijumpai dalam berbagai kebudayaan. Misalnya Mesir kuno, yang kerap diidentikkan dengan piramida meskipun piramida terbanyak ternyata dimiliki oleh kebudayaan Sudan/Nubia kuno (220 buah, Mesir hanya 135 buah). Namun bentuk-bentuk piramid dijumpai pula di kebudayaan Mesopotamia (sebagai ziggurat), Yunani, Romawi, Mesoamerika, Amerika Utara dan Cina.
Gambar 1. Deretan piramida Mesir di Giza, dekat Kaio (Mesir). Bentuk-bentuk mirip piramida juga dijumpai dalam kebudayaan India kuno dan Indonesia kuno. Candi Borobudur misalnya, mengesankan sebagai bentuk piramida berundak, meskipun teknik konstruksi Borobudur amat berbeda dibandingkan piramida Mesir. Candi-candi utama di Prambanan memiliki bagian atas yang menyerupai piramida, meski dengan proporsi jauh berbeda. Pun demikian candi Penataran yang berlanggam Jawa Timuran. Satu-satunya candi yang amat mirip piramida adalah candi Sukuh di lereng Gunung Lawu (Jawa Tengah), yang dibangun pada abad ke-15 menjelang runtuhnya Majapahit.
Tujuan pembangunan piramida atau bangunan mirip piramida di berbagai penjuru dunia itu relatif sama, yakni sebagai pusat peribadahan, pusat religi dalam masing-masing kebudayaan. Cukup mengesankan bahwa bangunan piramida atau yang menyerupai piramida secara astronomis dirancang demikian cermat sehingga orientasinya menghadap ke titik-titik istimewa tertentu di langit. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kepercayaan dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut, yang menganggap dewa-dewa mereka senantiasa berada di langit mengawasi setiap saat dalam rupa bintik-bintik cahaya yang gemerlap. Selain itu posisi piramida atau bangunan menyerupai piramida selalu menuju keempat penjuru mataangin dengan presisi demikian tinggi.
Gambar 2. Citra satelit piramida Giza disertai sumbu mataangin pimer. Sebelumnya, mari kita ulas terlebih dahulu tentang sistem mataangin. Kita mengenal empat mataangin primer (utara, timur, selatan, barat) dan empat mataangin sekunder (timur laut, tenggara, barat daya, barat laut). Di antara mataangin pimer dan sekunder kadang ditambahkan pula mataangin tersier. Namun dalam astronomi, mata-mataangin tersebut dikuantifikasi ke dalam sistem azimuth yang berjumlah 360. Untuk mataangin primer, utara adalah arah nol (0) atau 360, timur adalah arah 90, selatan adalah arah 180 dan barat adalah arah 270. Karena mataangin sekunder adalah tengah-tengah antara dua mataangin primer yang berdampingan, maka timur laut adalah arah 45, tenggara adalah arah 135, barat daya adalah arah 225 dan barat laut adalah arah 315.
Gambar 3. Penampang melintang sebuah piramida Mesir. Mari lihat piramida Mesir, misalnya yang terpopuler di dataran Giza. Sisi-sisi tiap piramida di Giza ternyata tepat menghadap ke sumbu utara-selatan timur-barat dengan presisi demikian tinggi. Presisi tersebut bukannya tanpa sebab. Dengan posisi tepat ke sumbu utara-selatan, maka sisi utara piramida Giza akan selalu berhadapan dengan bintang Thuban atau alpha Draconis (tingkat terang +3,7), bintang penanda kutub utara langit pada 4.500 tahun silam. Sebagai bintang kutub, posisi bintang Thuban selalu berada di titik yang sama tanpa pernah beringsut sepanjang waktu. Kekhasan posisi bintang Thuban rupanya sejalan dengan konsep keabadian dalam Mesir kuno, sehingga sebuah lorong kecil dibangun dari ruang Firaun (di dalam piramid) menuju sisi utara, yang memungkinkan cahaya bintang Thuban tepat menyinari kepala jasad Firaun. Demikian pula bintang terang terdekat dengan Thuban, yakni bintang Kochab atau beta Ursa Minor (tingkat terang +2). Bintang ini pun selalu nampak di langit utara sepanjang waktu, yang seakan-akan berputar mengelilingi bintang Thuban.
Gerak berputar ini memberi kesan kalau bintang Kochab adalah pasangan setia bintang Thuban. Sehingga sebuah lorong pun dibangun untuk memungkinkan cahaya bintang Kochab menyinari ruang Permaisuri, yang diletakkan tepat di bawah ruang Firaun, khususnya saat bintang itu berkulminasi atas.
Bangsa Mesir kuno amat terpesona dengan rasi bintang Waluku atau Orion, yang dianggap sebagai perwujudan dari Osiris dalam mitologi Mesir kuno. Nyawa dari Firaun yang sudah tiada diyakini akan bergabung dengan Osiris. Sehingga sebuah lorong pun dibangun dari ruang Firaun menembus sisi selatan, yang memungkinkan cahaya rasi Waluku (khususnya tiga bintang di sabuk Waluku) menyinari jasad sang Firaun, khususnya saat rasi Waluku berkulminasi atas. Atas alasan yang sama pula, sebuah lorong pun dibangun agar cahaya bintang Sirius, bintang paling terang di langit, bisa menyinari ruang Permaisuri. Bintang Sirius dianggap sebagai perwujudan dari Isis dalam mitologi Mesir kuno.
Gambar 4. Citra satelit candi Borobudur disertai sumbu mataangin pimer. Gambar 2. Citra satelit candi Prambanan disertai sumbu mataangin pimer. Fakta yang hampir sama pun dijumpai pada bangunan menyerupai piramida. Candi Borobudur misalnya, juga menghadap ke mataangin utama dengan presisi mengagumkan. Pun demikian halnya candi-candi utama dalam kompleks percandian Prambanan. Selain terkait dengan konsep kosmologi dan mitologi Buddha (untuk Borobudur) dan Hindu (untuk Prambanan), presisinya bangunan candi terhadap arah mataangin utama berguna bagi kepentingan praktis. Selain sebagai bangunan religius, candi Borobudur juga berfungsi sebagai petunjuk posisi Matahari, yang dikaitkan dengan siklus musim. Hal serupa kemungkinan juga berlaku bagi Candi Prambanan. Sehingga, dalam perspektif astronomi, piramida ataupun bangunan menyerupai piramida merupakan observatorium kuno tempat kaum cendekia (khususnya pendeta) mengamati langit.
2. Piramida Sadahurip
Bagaimana dengan piramida Sadahurip ?
Gunung Sadahurip terletak di sebelah utara gunung Telaga Bodas dan gunung Galunggung. Galunggung merupakan gunung berapi aktif, terakhir meletus pada 1982-1983 dan tercatat sebagai letusan terbesar di Indonesia dalam 30 tahun terakhir. Sayangnya, citra Google Earth dalam cahaya visual untuk kawasan Gunung Sadahurip ditutupi oleh awan relatif tebal, sehingga gunung yang diklaim sebagai piramida ini tidak nampak. Namun beruntung terdapat citra kontur elevasi yang mampu memperlihatkan bentuk gunung Sadahurip dengan jelas.
Gambar 6. Citra kontur Google Map untuk kawasan gunung Telagabodas – Galunggung dans ekitarnya. Gunung Sadahurip dinyatakan dalam tanda panah. Kita batasi gunung Sadahurip pada kontur elevasi 1.320 m dpl ke atas hingga puncaknya, mengingat dari kontur tersebut sifatnya tertutup. Nampak jelas bahwa gunung Sadahurip memiliki dasar berupa segilima tak simetris sehingga sis-sisinya pun tak sama luasnya. Dasar berbentuk segilima ini amat berbeda dengan piramida Mesir, yang segiempat. Pun demikian dasar berupa segilima tak simetris ini pun mengherankan, karena meski piramida dapat saja memiliki dasar berbentuk segilima (meski tak ada contohnya) namun seharusnya berbentuk simetris.
Akibat ketidaksimetrisan dasarnya, maka arah hadap sisi-sisi gunung Sadahurip pun tidak simetris. Di awali dari utara, masing-masing sisi menghadap ke arah 68, arah 143, arah 220, arah 284 dan arah 344. Tak satupun yang berimpit dengan sumbu mataangin utama (utara-selatan timur-barat) atau sumbu mataangin sekunder. Dengan demikian selisih sudut antar sumbu tiap sisi bervariasi dari yang terkecil 60 derajat hingga yang terbesar 77 derajat. Bila dasarnya simetris, seharusnya selisih tersebut seragam pada nilai 72 derajat (yakni 360 dibagi 5).
Gambar 6. Citra kontur Google Map gunung Sadahurip, dilengkapi sumbu mataangin utama dan arah sisi-sisi gunung. Benda langit apa yang dihadapi masing-masing sisi gunung Sadahurip, dengan posisi arah hadap demikian, menjadi tak jelas. Jika dibandingkan dengan candi Borobudur, tidak terlihat fungsi sisi-sisi gunung Sadahurip sebagai petunjuk posisi Matahari terkait siklus musim. Sisi yang menghadap ke arah 68 memang hampir sejajar dengan posisi Matahari terbit saat paling utara (summer solstice). Namun terbenamnya Matahari pada titik itu, yakni pada arah 294, ternyata berselisih besar dengan arah hadap 284. Demikian pula terbit dan terbenamnya Matahari pada saat paling selatan (winter solstice), masing-masing di arah 114 dan 245, ternyata tak berhadapan dengan satu sisi gunung Sadahurip sekalipun. Hal serupa juga terlihat pada saat Matahari berada di titik ekuinoks, sehingga terbit tepat di timur dan terbenam tepat di barat. Ternyata tak ada satupun sisi gunung Sadahurip yang menghadap ke timur (arah 90) maupun barat (arah 270).
Dengan gunung Sadahurip diklaim sebagai piramida dan manusia yang membangunnya diklaim hidup lebih awal dibanding bangsa Mesir Kuno maupun bangsa Jawa kuno, bahkan diklaim pula sebagai bangsa Atlantis nan cerdas yang menjadi leluhur bangsa-bangsa berperadaban tinggi lainnya di muka Bumi, maka dua fakta berbeda itu mengerucut pada dua kesimpulan. Pertama, para pembangun piramida Sadahurip tak paham geometri. Sehingga tak bisa merancang dasar piramida yang simetris. Ini bertolak-belakang dengan bangsa Mesir kuno dan Jawa kuno yang telah mengenal dan menerapkan geometri dalam pembangunan piramida dan candinya. Dan yang kedua, para pembangun piramida Sadahurip tak paham astronomi. Sehingga piramidanya tak bisa menjadi penanda peristiwa-peristiwa langit yang penting bagi kebudayaan bangsa-bangsa kuno.
Di atas semua itu, dapat ditarik satu kesimpulan yang lebih sederhana dan lebih solutif. Yakni, gunung Sadahurip bukanlah piramida dan juga bukan bangunan menyerupai piramida.
Sumber:
http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=1513
No comments:
Post a Comment