Bangsa Lemuria: bangsa yang hilang
Lemuria/Mu merupakan peradaban kuno yg muncul terlebih dahulu sebelum peradaban Atlantis.Para peneliti menempatkan era peradaban Lemuria disekitar periode 75.000 SM – 11.000 SM. Jika kita lihat dari periode itu, bangsa Atlantis dan Lemuria seharusnya pernah hidup bersama selama ribuan tahun lamanya. Gagasan benua Lemuria terlebih dahulu eksis dibanding peradaban Atlantis dan Mesir kuno dapat kita peroleh penjelasannya dari sebuah karya Augustus Le Plongeon (1826-1908), seorang peneliti dan penulis pada abad ke-19 yang mengadakan penelitian terhadap situs-situs purbakala peninggalan bangsa Maya di Yucatan.Informasi tersebut diperoleh setelah keberhasilannya menterjemahkan beberapa lembaran catatan kuno peninggalan Bangsa Maya. Dari hasil terjemahan, diperoleh beberapa informasi yang menunjukkan hasil bahwa bangsa Lemuria memang berusia lebih tua daripada peradaban nenek moyang mereka (Atlantis). Namun dikatakan juga, bahwa mereka pernah hidup dalam periode waktu yang sama, sebelum kemudian sebuah bencana gempa bumi dan air bah dasyat meluluh lantakkan dan menenggelamkan kedua peradaban maju masa silam tersebut. Hingga saat ini, letak dari Benua Lemuria pada masa silam masih menjadi sebuah kontroversi, namun berdasarkan bukti arkeologis dan beberapa teori yang dikemukakan oleh para peneliti, kemungkinan besar peradaban tersebut berlokasi di samudera Pasifik (di sekitar Indonesia sekarang).
Banyak arkeolog memepercayai bahwa Easter Island yang misterius itu merupakan bagian dari benua Lemuria. Hal ini jika dipandang dari ratusan patung batu kolosal yang mengitari pulau dan beberapa catatan kuno yang terukir pada beberapa artefak yang mengacu pada bekas-bekas peninggalan peradaban maju pada masa silam. Mitologi turun temurun para suku Maori dan Samoa yang menetap di pulau-pulau disekitar Samudera Pasifik juga menyebutkan bahwa dahlulu kala pernah ada sebuah daratan besar besar di Pasifik yang yang hancur diterjang oleh gelombang pasang air laut dasyat (tsunami), namun sebelumnya bangsa mereka telah hancur terlebih dahulu akibat peperangan.
Keadaan Lemuria sendiri digambarkan sangat mirip dengan peradaban Atlantis, memiliki tanah yang subur, masyarakat yang makmur dan penguasaan terhadap beberapa cabang ilmu pengetahuan yang mendalam. faktor-faktor tersebut tentunya menjadi sebuah landasan pokok bagi bangsa Lemuria untuk berkembang pesat menjadi sebuah peradaban yang maju dan memiliki banyak ahli/ilmuwan yang dapat menciptakan suatu trobosan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi mereka.
Seperti banyak dikemukakan oleh beberapa pakar spiritual dan arkeologi, bahwa bangsa Lemurian dan Atlantean menggunakan crystal secara intensif dalam kehidupan mereka.
Edgar Cayce, seorang spiritualis Amerika melalui channelingnya berkali-kali mengungkapkan hal yang sama. Kuil-kuil Lemuria dan Atlantis menempatkan sebuah crystal generator raksasa yang dikelilingi kristal-kristal lain, baik sebagai sumber tenaga maupun guna berbagai penyembuhan.
Banyak info mengenai atlantis dan lemurian diperoleh dengan men-channel kristal-kristal `old soul’ yang pernah digunakan pada kedua jaman ini. Beberapa monumen batu misterius yang berhasil ditemukan di bawah perairan Yonaguni, Jepang, memungkinkah monumen-monumen ini merupakan sisa-sisa dari peradaban Lemuria.
Namun, berbeda dengan bangsa Atlantis yang lebih mengandalkan fisik, teknologi dan gemar berperang, bangsa Lemuria justru dipercaya sebagai manusia-manusia dengan tingkat evolusi dan spiritual yang tinggi, sangat damai dan bermoral.
Menurut Edgar Cayce, munculnya Atlantis sebagai suatu peradaban super power pada saat itu (kalau sekarang mirip Amerika Serikat) membuat mereka sangat ingin menaklukkan bangsa-bangsa di dunia, di antaranya Yunani dan Lemuria yang dipandang oleh para Atlantean sebagai peradaban yang kuat. Berbekal peralatan perang yang canggih serta strategi perang yang baik, invansi Atlantis ke Lemuria berjalan seperti yang diharapkan.
Sifat dari Lemurian yang menjunjung tinggi konsep perdamaian, mereka tidak
dibekali dengan teknologi perang secanggih bangsa Atlantean, sehingga dalam
sekejap, Lemuria pun jatuh ketangan Atlantis. Para Lemurian yang berada dalam kondisi terdesak, ahirnya banyak meninggalkan bumi untuk mencari tempat tinggal baru di planet lain yang memiliki karakteristik mirip bumi, mungkin keberadaan mereka saat ini belum kita ketahui (ada yang mengatakan saat ini mereka tinggal di Planet Erra/Terra digugus bintang Pleiades).
Mungkin kisah para Lemurian yang meninggalakan bumi untuk menetap di planet lain ini sedikit tidak masuk akal, tapi perlu kita ketahui bahwa teknologi mereka pada saat itu sudah sangat maju, penguasaan teknologi penjelajahan luar angkasa mungkin telah dapat mereka realisasikan pada jauh hari. Tentunya penguasaan teknologi yang sama pada era peradaban kita ini, belum bisa disandingkan dengan kemajuan teknologi yang mereka ciptakan. (Baca artikel Piri Reis Map sebagai bahan pertimbangan).
Dari sekelumit kisah yang aq uraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa para Lemurian tidak musnah oleh bencana gempa bumi dan air bah seperti yang dialami oleh para Atlantean, namun karena peranglah yang membuat sebagian dari mereka berguguran.
Sementara semenjak kekalahannya oleh bangsa Atlantis, otomatis wilayah Lemuria dikuasai oleh para Atlantean, sampai saat ahirnya daratan itu diterpa oleh bencana yang sangat dasyat yang kemudian menenggelamkannya bersama beberapa daratan lainnya, termasuk diantaranya Atlantis itu sendiri.
Sebagai referensi, Istana Taifurkhafi di Istanbul, Turki, tersimpan selembar peta kuno yang sangat unik. Peta kuno yang terbuat dari bahan kulit rusa (Gazelle skin) ini ditemukan pada awal abad ke-18, sekilas jika dilihat mungkin hanyalah merupakan selembar replika peta daratan dimasa masa lalu. Dalam peta tersebut, hanya kawasan Laut Tengah yang tergambar secara persis, sedangkan kawasan lainnya, seperti benua Amerika dan benua Afrika tergambar sangat berbeda.
Kemudian, di saat para ilmuwan menelitinya dengan lebih lanjut, hasil yang diperoleh sangat mengejutkan, karena ternyata peta kuno ini sebenarnya adalah gambar pandangan udara dari atas angkasa yang sangat detail dan terperinci. Jika disandingkan dengan gambar yang diambil dari pesawat Apollo 8, maka peta kuno Turki ini bagaikan fotokopinya. Gambar perubahan garis besar pada benua Amerika dan Afrika di peta kuno tersebut, sesuai dengan gambar yang diambil melalui pesawat Apollo 8. Dan yang lebih menakjubkan lagi adalah, bahwa peta kuno itu melukiskan bentuk rumit permukaan bumi, kutub selatan yang tertutup lapisan es tebal tidak ada perbedaan sedikit pun dengan hasil gambar pemetaan menggunakan fatometer yang dilakukan oleh tim eksplorasi kutub selatan pada tahun 1952, yang mengadakan penyelidikan keadaan bumi di bawah lapisan es.
Lalu siapakah pada masa purbakala yang sudah menguasai teknologi tinggi pemotretan melalui angkasa luar? Dari penemuan peta kuno ini menjadi suatu bukti akan kemajuan pengetahuan ilmu astronomi peradaban masa silam yang sampai detik inipun belum bisa dikuasai oleh manusia-manusia zaman sekarang yang notabene mungkin mempunyai peralatan yang lebih canggih dari mereka. Studi lebih lanjut mengatakan mungkin mereka telah dapat menciptakan suatu trobosan teknologi yang luar biasa pada masa itu,seperti telah melakukan penjelajahan luar angkasa dan pendaratan diplanet lain. Apalagi hal tersebut didukung oleh beberapa penemuan artefak-artefak kuno yang menggambarkan beberapa gambaran imajinasi astronot-astronot pada masa silam. Lalu, mungkinkah nenek moyang kita sudah ada yang bermigrasi dan menetap di planet-planet lain, yang memiliki karakteristik mirip dengan bumi yang pada saat mungkin belum dapat ditemukan keberadaannya oleh para astronom kita? Jikalau benar demikian, apakah ada benarnya juga kisah mengenai bangsa Lemuria yang dikisahkan sebagian penduduknya banyak yang bermigrasi keluar dari Bumi untuk mencari tempat tinggal baru diplanet lain, ketika diambang kekalahannya dengan bangsa Atlantis pada dahulu kala? wallahualam bi sahawab.
Dari berbagai sumber
Serat Jangka Tanah Jawi
Kagem sedaya kemawon,Kalau suku Inca memiliki kalender dan perhitungan jaman yang meramalkan akhir dari kehidupan, maka di Jawa pun kita memiliki kitab yang berisi ramalan peradaban Jawa. Dimulai dari setelah Lemuria (kalau ada) sekitar abad ke 1 M sampai dengan akhir kehidupan, dimana pulau Jawa tenggelam.
Nuwun
Purwane kang ginupita, duk suwunge tanah Jawi, taksih wana langkung pringga, isinya amung dhedhemit, pari prayangan lan jim, miwah sagunging lelembut, kalawan brekasakan, gandarwo lan banaspati, ilu-ilu janggitan lawan kemamang.
Anenggih kang kawuwusa, jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning Sukma, dhinawuhan angiseni, manungsa pulo Jawi, anenggih Sultan ing Ngerum, nimbali patihira, prapteng ngarsa awotsari, Sang Aprabu alon denira ngandika.
Heh Patih Ingsun tatanya, marang sira kang sayekti, wartane ing pulo Jawa, apa sira wus udani, kabare taksih sepi, durung isi manungseku, pan isih dadi wana, kyana Patih atur bekti, inggih Gusti dereng isi kang manungsa.
Rembage para nangkodha, Gusti kang sampu udani, ingkang layar tanah Jawa, tan wonten ingkang nglangkungi, wartanipun anenggih, ageng-ageng hardinipun, pulo mujur mangetan, sakilene pulo Bali, Sri Nalendra alon wijiling wacana.
Heh Patih sira mepaka, wong rong leksa somah aglis, tanduren ing pulo Jawa, dhimen padha gaga sabin, sandika Kyana Patih, menembah lumengser gupuh, samekta lajeng bidhal, wong rong leksa somah prapti ing muwana kamot ingemot baita.
Ing marga datan winarna, gancare carita nenggih, janma kang rong leksa somah, pinrenahaken pulo Jawi, Kya Patih wangsul nuli wus prapta nagari Ngerum, matur rehning dinuta, purwa madya amekasi, Sri Narendra kalangkung sukeng wardaya.
Wus kalayan karsa Nata, yata kang kocapa mangkin, janma kang samya tinilar, aneng jroning pulo Jawi, binadhog ing dhedhemit, meh telas pan amung kantun, sakawan dasa somah, giris manahira sami, lajeng layar mantuk mring Ngerum nagara.
Wus prapta Ngerum nagara, lajeng katur Kyana Patih, nulya konjuk Sri Narendra, yen janma rong leksa nguni, somah pan namung kari, kawandasa somahipun, dene prikancanira, binadhog para dhedhemit, dhuk miyarsa jeng Sultan ngungun ing driya.
Puwara renge ngandika, timbalana Sech Subakir, tan anatara prapteng ngarsa, ngandika Sri Narapati, bapa sira sun tuding, layar mring pulo Jaweku, sira masanga tumbal kang hardi-hardi, dimen lunga lelembute pulo Jawa.
Wong keling sira angkatna, prenahna ing pulo Jawi, semektawa gagawanya, nuli angkatna den aglis, layar mring pulo Jawi, sira patih aja kantun, Sech Bakir aturira, sandika pamit wot sari, wusnya beber layar dateng tanah Arab.
Wus prapta ing Keling praja, dawuhaken amundhut janmi, rong leksa somah kathahnya, laju layar pulo Jawi, Sech Bakir kang winarni, ing marga datan wuwus, anjujug hardi Tidhar tumbal pinasang tumuli, awarata pucuking hardi sadaya.
Sapraptane sang pandhita, gara-gara udan angin, gumludhug swaraning arga, cleret miwah obar-abir, peteng ndhedhet nglimputi, geger sakehing lelembut, setan sami lumajar, banaspati sami ngili, ilu-ilu janggitan sami lumajar Jim peri lan bekasakan, angungsi marang jaladri, gandarwa samya lumajar, dhemit thethekan anggendring, sadaya samya ngili, tan kuwawa panasipun, sinigeg Sang Hyang Semar, Togog nguni kekalihe martapeng Merbabu Arga.
Sang Hyang Togog Sang Hyang Semar, lami martapa ing wukir, dhedhukuh sukuning arga, Merbabu kang den dhepoki, kagyatira tan sipi, gara-gara geng saklangkung, dhemit pan kagegeran, salang tunjang rebat ngarsi, sadayanya samya ngungsi mring samodra.
Sang Hyang Semar angandika, Ki Togog wonten ing pundi, Dhemit kagegeran, gara-gara ageng prapti, gonjang-ganjing kang bumi, prakempa lan sindhung riwut, peteng dhedhet leliweran, kekuwung lan obar-abir, pan gumludhug swarane kocak kang arga.
Sang Hyang Togog lon saurnya, pun kakang boten udani, mangsa borong adhi Semar, wasana sigra wawarti, yen ki raka tan uning, wit karsaning Sultan Ngerum, utusan mring pandhita, Sekh Bakir ingkang wewangi, masang tumbal saking gunung tanah Jawa, ndhaweg ki raka lumampah, manggihi pandhita di utusanira njeng sultan, anenung sakehing dhemit, anuwun kang pawarti, marang sang Pandhita Ngerum, sakehe bekasakan sadaya pan samya ngili, kagegeran bubar lelembut sadaya.
Sanghyang Togog tur sandika, lah ndhaweg adhi pinanggih, anulya sami bidhalan, tumedhak tyang kekalih ing marga, tan winarni wus prapta ing ngarsanipun, Sekh Bakir sang pandhita, waspada tyang kalih prapti, redi Tidhar dumrojog ing ngarsanira.
Seh Bakir lon angandika, ki sanak tiyang ing pundi, manira nembe tumingal, marang pakenira kalih, sira arsa punapi, duk prapta ngarsaningsun, sanghyang Semar lon turnya, inggih tanah Jawi mriki, prelunipun kawula pinanggih tuwan.
Seh Bakir lon angandika, sayekti ing tanah Jawi, pan durung ana manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih dhedhukuh Merbabu arga.
Angsal sangang ewu warsa, nunten hamba mudhun mriki, dhedhukuh ing redi Tidhar, saweg angsal sewu warsi, sataun langkungneki Sang pandhita gawok ngrungu, sira iku wong apa, apa sayektine jalmi, umurira tan kaprah samine jalma. Manira durung miyarsa, wong umur saleksa warsi, nabi Adam langkung panjang, pan umure sewu warsi. Sira iku kyai blakaa marengsun, apa ta dudu jalma, dene sira angluwihi, umurira dawane kagila-gila . Yen jalmaa ora ana kang umur saleksa warsi, sang hyang Semar aturira, sayekti kula puniki, sayekti dede jalmi, dhanyang tanah Jawa ulun, ingkang sepuh priyangga, putra Sanghyang Tunggal, nenggih kang jejuluk sang Bathara Manikmaya.
Sanghyang Semar nggih kawula, Sabdapalon inggih mami, peparab Ki Nayantaka, ratu dhanyang tanah Jawi, sejarah duk ing uni, duk babu Kawa rumuhun, nglunturaken kamanira, binuwang pinupu dajil Pan pinuja nurunaken kang para dewa, Sarupane para dewa, nggih punika turun mami, sarupane kabeh dhanyang ing sabrang lan tanah Jawi. Jim prayangan lan peri miwah sagung kang lelembut, inggih turun kawula, tumeksa kang wingit-wingit, ilu-ilu janggitan turun kawula.
Dene kang Togog punika, tetesing peksi sendari, sun cipta pan dadi jalma, pan dados kanthi mami. Mila kawula mriki, manggihi marang sang wiku, arsa taken wak ingwang, dhumateng paduka ugi, wit punapa sang pandhita karya rusak.
Sadaya nak putuningwang, sadaya pan sami ngili, pan kenging tenung paduka, punapa dosanireki, bubar ngungsi jaladri, sagunging para lelembut, sang pandhita lon ngucap, manira iki sadermi, pan dinuta Njeng Sultan Ngerum Nagara.
Iya kinen ngisenana jalma marang pulo Jawi, dimen padha gaga sawah, ambukak sakeh wanadri, ingkang sun gawa mriki, jalma saking Keling iku, kehe rong leksa somah, wus karsanira hyang Widdhi, nora kena yen sira memalangana.
Sang Hyang Semar aturira, sokur jumurung wak mami, yen karsanira njeng Sultan ing Ngerum, sri narapati kang dhawuh angiseni, jalma ing pulo Jawa iku, kinen ambabatana, nanging kawula suwun sang yogi, binerata tenung kang ngrusak jim setan.
Seh Bakir lon angandika, iya kaki sun jarahi, karsane sang Murbeng Jagad, lelakone tanah Jawi, mung winatesan benjing rong ewu lan satus taun, iku pan nuli sirna, wiwit saking taun iki, satus tahun durung ana ratunira.
Jalma durung duwe tata, wong iku pan kadya peksi, yen wus jangkep satus warsa, seket siji langkung neki, Hyang Suksma karya aji, aja sira ngemong iku, sira maliha dewa, satus taun lamineki, sasirnane pangeran nitahken raja.
Negara Galuh punika, seket taun lamineki, sirnane Galuh nagara, nuli ana ratu malih, nagri Sindula aji, umure suwidak warsi, nuli ana narendra, Medangkamulan nagari, ratu iku saking sabrang angejawa.
Sangking Mekkah wijilira, Ajisaka kang wewangi, kang jumeneng ratu Medhangkamulan inggih, nagari satus warsa laminira, tuhu sekti pinunjul, kagodha ing iblis laknat, nenggih malaekat Dajil.
Nulya satus taun sirna, pana Hyang Suksma anitah ratu malih, jejuluk Sri Mahapunggung, patih sang Jugulmudha, angedhaton ing sukuning Gunung Lawu, karta-karti sang negara, jejeg adil ing nagari.
Satus taun nulya sirna, Gusti Allah anitah ratu malih, Koripan kadatonipun, satus taun laminya, turun telu sirnane karatonipun, nulya karsaning Pangeran, anitah Narendra malih.
Kang tinitah dadi raja, kuthanira Jenggala lan Kedhiri, Ngurawan lan Singasantun, iku sira emonga, ngawulaa mring titis Bathara Wisnu, sira angalihaa aran, juluk ki Prasanta kaki, dene si Togog punika, angaliha si Jodeh Santa benjing, titis Bathara Wisnu, aja ta sira pisah, pan jumeneng ing Janggala kuthanipun, aran Kudarawisrengga, digdaya prawireng jurit.
Satus taun nuli sirna, pan Hyang Suksma anitah ratu malih, Pajajaran kuthanipun, saksirnane Janggala, satus taun Pajajaran sirna iku, kongsi turun kaping tiga, rusake kalawan siwi
Iku kaki wekasingwang, pan ing kono sira awor myang dhemit, mariya amomong ratu, wus karsane Pangeran, sira tunggal anak putunira besuk, adhukuha sira benjing, ing sukuning Gunung Kendhil.
Poma sira angestokna, krana iku luwih sangking prayogi, dene Togog iku besuk, dhukuha alas Lodhaya, anglurahi sakeh dhemit alas mriku, sasirnane Pajajaran, Hyang Sukma nitah narpati
Juluk prabu Adaningrat, angedaton ana ing Majapait, satus taun laminipun, aturun kaping tiga, rusak sirna nagri Majapait iku, aprang lawan putranira Raden Patah Bintareki.
Ngedhaton Nagara Demak, kathah sagung para wali ngejawi, saking Arab wijilipun, pan sami mulang Qur’an, ngestokaken agami Paduka Rasul, mungkasi kang jaman Budha, tegese budi mangerti. Tiyang Jawi kathah nilar, gama kuna nut agama Ngarabi, kutha Demak umuripun suwidak taun sirna, turun tiga panjenenganira ratu, nulya karsaning pangeran, anitah narendra malih.
Ngedhaton negara Pajang, mantunira njeng Sultan Demak nguni, mung umur salapan taun, sirnane nagri Pajang, wus pinesthi mring Gusti Kang Maha Agung, nitah malih sri narendra, Mataram sang senapati.
Digdaya prawireng yuda, mandraguna ngambah teleng jaladri, ing Jawa tan na mada, Ratu iku turuning pandhita agung, wong agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senapati, amengkoni tanah Jawa, wiwit iku dumugi ing Mantawis, sewu limangatus taun, sawarsa langkungira, umurira satus taun sigra gempur, aturun kaping papat, nulya karsaning Hyang Widhi
Rusak nagara Mantaram, duk binedhah wong Medura lan Bugis, mungsuh lan Kediri iku, kaleres mantu priyangga, pan malihe wus jangkep petungipun, nulya karsaning pangeran, Nangkodha Wlanda ngejawi.
Bedhah nagri Kartasura, kang ambedhah wong Cina mangun jurit, nulya karsaning Hyang Agung, nitah malih narendra, angedhaton Yogyakarta prajanipun, kang sawiji ing Surakarta, aran jaman Sengareki. Lakune wong keh pitenah, padha lali sanak kadang pribadi, akeh kiyanat laku dora, jahil panasan, lawan suda berkate bumi, kang metu wanodya ilang wirangnya, wong lanang wedi pawestri.
Setan sami keh gegodha, nora kena pinilih laku kang becik Jaman Sengara puniku, keh anak lali bapa, supayane sangsara ingkang tiniru, laku dur sangsaya ndadra, wong keh kapanjingan iblis
Maksiat akeh kang teka, bebendhune Pangeran andhatengi, gumludhug swaraning gunung Merapi udan brama, gonjang-ganjing bumi belah gunung guntur, angin deres lindhu prapta, udan awu andhatengi.
Baledheg ambal-ambalan, swaranira lir belahe kang bumi, sakeh wong gunung puniku, samya rusak kobongan, saya lawas kang bebendhu sami agung, maksiate tanah Jawa, arang manungsa kang eling.
Karepe wong murka samya, bocah cilik wis padha karem dhuwit, larang barang kang tinuku, wong tani kathah rusak, anenandur datan ana ingkang metu, sabab nagri sampun rengka, tan mikir susahing dasih.
Akeh wong kang padha jina, ora marem marang somah pribadi, akeh wong kang padha nglajur, wong dora saya ndadra, kareming wong samya wadul winadul, wong temen akeh ketriwal, wong dora den anggep becik
Ilang adiling nagara, apan amung kasengsem bungah neki, alali marang Hyang Agung, bubrah sakehing tata, kabeh titah nandang susah tan kapitung, angger sugih donya brana, nagara ywa kongsi miskin.
Kang angampil pangawasa, apan maksih Walanda kang mbakoni, satus taun laminipun, Hyang Suksma nulya nitah, atetulung marang tanah Jawa besuk, maksiat kabeh binerat, sadaya wus sirna enthing.
Hyang Suksma anitah raja, duk timure lair neng tanah Jawi, tedhake Andika Rasul, kang ibu trah Mataram, Padelongan iya iku wijilipun, angratoni tanah Jawa, pan jumeneng Ratu Adil.
Ratu iku langkung mlarat, datan mawi sangu ing praptaneki, duk kineker ing Hyang Agung, tan ana jalma wikan, pan kapethuk aprang unggul tan na weruh, jumeneng sri narendra, gaib tan ana udani
Kang mungsuh pan samya rusak, ingkang wani prasamya anemasi, tumpes tapis ingkang musuh, balane mung Sirullah, sawer klabang kalajengking samya mungsuh, iku Semar wekasingwang, ngemonga Wisnu nitis.
Sira sakehing lelembat, bantonana titising Wisnumurti, ana dene kuthanipun, ana alas Ketangga, pan lelembut yasakna kadhatonipun, juluk Sultan Herucakra, enak atine wong cilik.
Sirna wong kang mbeg durjana, kang wong jahil kabeh prasamya wiwrin, bebotoh samya katutuh, ajrih marang narendra, apan padha awekel tetanenipun, bumi pulih berkatira, murah sandhang lan rejeki.
Pajege wong cilik benjang, sawah sakjung setaun mung saringgit, pancenipun sang aprabu sewu sawulanira lamun langkung saking sewu datan ayun, ratu iku lumuh karta balaba asih ring dasih,
Murah sandang murah pangan, pra priyayi prasamya sugih, satus taun laminipun, jumenenge sri nata, sirnanira ing kutha Ketangga iku, nuli ana ratu kembar, pernahira kuthaneki
Saloring redi Baita, ingkang siji kuthane iku benjing ana ing Madura iku, seket taun laminya, sasirnane nuli ana ratu besuk, ngedhaton Waringin rebah, ya amunga seket warsi.
Sasirnane Ringin Rebah, nulya ana ratu ingkang gumanti, ana dene kuthanipun, an
a ing Balebaran, lawasira amung swidak taun gempur, nulya ana Srenggi prapta, angratoni tanah Jawi
Sarta sakehing wong Jawa, den usungi mring Nusa Srenggi benjing, sewu-sewu saben taun, mung tigang dasa warsa, kanjeng Sultan ing Ngerum sigra tetulung. Utusan mring tanah Jawa, anumpes wong Nusa Srenggi.
Pirang yuta wadyabala, saking Rum layar ing tanah Jawi, anumpes wong Srenggi iku, sirna pan sampun telas, tedhakira ratu ing Waringin rubuh, nuli jinunjung narendra, akutha ing Majapait. Telung puluh sanga sirna, sampun jangkep umure tanah Jawi, Gunung Sumbing nuli guntur, Mrapi mubal dahana, pan Merbabu swarane apan jumlegur, gunung Tidhar mubal toya, kelem ilang Tanah Jawi……………..
Sumber: http://www.alangalangkumitir.wordpress.com
http://jakarta45.wordpress.com/2012/04/16/sejarah-bangsa-lemuria-leluhur-indonesia/
No comments:
Post a Comment