SAAT TOBA, TAMBORA DAN KRAKATAU
MENGGETARKAN DUNIA
"
Sejarah dunia telah mencatat dahsyatnya letusan gunung Toba,
gunung
Tambora dan gunung Krakatau. Pengaruhnya terhadap
iklim dan
peradaban manusia. Namun, sejatinya gunung berapi
bukan
semata-mata menimbulkan bencana alam, karena disana
ada
kekayaan, kesuburan, keindahan dan keunikan.
Gunung
berapi adalah anugrah "
Indonesia merupakan tempat pertemuan
aktifitas benturan
tiga mega lempeng dunia yang sangat
aktif, yaitu Lempeng
Eurasia, Indo-Australia, dan Lempeng
Pasifik. Akibat tabrakan
ketiga lempeng tersebut,
terbentuklah rangkaian gunung api
yang seolah-olah menjadi jembatan
penghubung pulau-pulau
di nusantara. Rangkaian ratusan
gunung api tersebut menjadi
bagian dari cincin api dunia atau Ring
of Fire.
.
Pada umumnya masyarakat memandang
gunung api sebagai
sosok yang menakutkan karena dianggp
seringkali menimbulkan
bencana. Padahal sebaliknya, bencana
akibat letusan gunung
api sebenarnya bisa dikatakan hanya
beberapa waktu saja atau
tidak secara terus menerus.
Sedangkan masa tenang yang
dilalui setiap gunung api justru
lebih lama. Jadi bisa dikatakan
keberadaan gunung api merupakan
berkah Tuhan yang tidak
ternilai harganya. Tanah yang subur,
udara yang segar, sumber
gas panas bumi, sumber daya bahan
galian industri, daerah
tujuan wisata dan lain sebagainya.
Sebagai negara yang memiliki jumlah
gunung berapi terbanyak
di dunia (13%), tidak salah jika
Indonesia merupakan surganya
pendakian gunung api. Rangkaian gunung
api membentang
dari mulai dari Pulau Sumatra, Jawa,
Bali dan Nusa Tenggara.
Kemudian menyambung dari kepulauan
Laut Banda hingga ke
bagian utara Pulau Sulawesi yang
merupakan daerah gunung
berapi terpanjang di dunia. Dari
ratusan gunung berapi tersebut,
129 diantaranya adalah gunung berapi
aktif.
Sejumlah gunung berapi di Indonesia
pernah menorehkan sejarah
kelam dalam catatan sejarah akibat
letusan yang ditimbulkannya
dan bahkan menyebabkan ribuan atau
bahkan puluhan ribu jiwa
melayang. Seperti gunung Tambora
(NTB), gunung Krakatau
(Banten), gunung Kelud (Jatim),
gunung Galunggung (Jabar),
gunung Agung (Bali) dan gunung
Soputan (Sulawesi), serta pada
masa prasejarah yaitu gunung Toba
(Sumatra Utara).
Keberadaan gunung berapi sangat
mempengaruhi kehidupan
serta budaya masyarakat sekitarnya.
Bahkan akibat dari
letusan gunung berapi dapat
berpengaruh kuat pada kehidupan
berbangsa sebuah negeri. Lebih luas
lagi mempengaruhi
peradaban dan tatanan dunia. Gunung
Tambora, gunung
Krakatau dan gunung Toba, merupakan
tiga gunung berapi di
Indonesia yang letusannya
mengguncang dunia. Dibalik berjuta
pesona keindahannya, ketiga gunung
tersebut meninggalkan
catatan penting sejarah letusannya
bagi dunia.
Gunung Toba
Pesona keindahan lanskap Danau Toba
sudah tidak diragukan
lagi. Danau dengan panjang sekitar
100 km dan lebar 30 km serta
tebing-tebing terjal yang
mengelilinginya dan Pulau Samosir di
tengah-tengahnya bagaikan raksasa
cantik yang menebarkan
berjuta keelokannya. Melihat hal
tersebut sulit rasanya membayangkan bagaimana dahsyatnya letusan gunung Toba yang
terjadi saat itu.
Sekitar 74.000 tahun lalu, Danau
Toba yang sejatinya kaldera
gunung berapi raksasa meletus hebat.
Letusan tersebut
menyebabkan perubahan iklim dunia
hingga suhu bumi turun
sampai 5 derajat Celcius dan nyaris
memusnahkan nenek
moyang manusia modern (Homo Sapiens).
Diperkirakan hanyat
tertinggal sekitar 5.000 – 10.000
umat manusia yang tersisa
saat itu. Letusan gunung Toba pada
waktu itu diperkirakan
menimbulkan awan panas raksasa yang
nyaris menutup ujung
timur hingga barat Pulau Sumatra.
Memuntahkan jutaan kubik
abu dan menutup Lautan Hindia hingga
Laut Arab dan sebagian
Samudera Pasifik. Aerosol asam
sulfat yang dilepaskan menyebar
luas ke atmosfir dan menutupi bumi.
Keumudian timbul kegelapan
total yang terjadi selama
bertahun-tahun. Dalam sejarah evolusi
manusia periode gelap ini dikenal
dengan bottleneck. Dahsyatnya
letusan gunung Toba yang terjadi
saat itu berada dilevel tertinggi
letusan gunung api, yaitu 8 Volcanic
Explosivity Index (VEI).
Menurut penelitian para ilmuwan di
dunia, gunung Toba adalah
Supervolcano – gunung api super –
yang letusannya terkuat
dalam dua juta tahun terakhir.
Pada tahun 1939, seorang ilmuwan
dari negeri Belanda, Reinout
Willem van Bemmen, dalam perenlitian
dan perjalanannya
menemukan bukti kalau Danau Toba itu
merupakan kaldera sebuah
gunung raksasan. Dialah ilmuwan
pertama yang mengenalkan ke
dunia bahwa danau yang indah
tersebut terbentuk akibat dari
letusan gunung berapi.
Walaupun lebih kecil, namun tekanan
magma disekitar kaldera
Danau Toba saat ini masih terus
berlangsung. Gunung api Pusuk
Buhit dan Sipiso Piso (dekat Tanduk
Benua) merupakan bukti
bahwa aktivitas vulkanik kaldera
Toba yang masih terjadi.
Hingga kini para peneliti dari
berbagai penjuru dunia terus
melakukan penelitian mengenai apa
yang terjadi 74.000 tahun
lalu saat gunung Toba meletus dan
yang terjadi kemudian setelah
letusan dahsyat tersebut. Termasuk
menarik para ahli iklim
dunia untuk meneliti bagaimana
letusan hebat tersebut dapat
mendinginkan suhu bumi.
Gunung Tambora
Dalam sejarah manusia modern, gunung
Tambora yang terletak
di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara
Barat memiliki sejarah
letusan yang luas biasa. Hampir dua
abad lalu atau tepatnya 11
April 1815 gunung yang saat itu
diperkirakan mempunyai tinggi
lebih dari 4.300 meter di atas
permukaan laut (mdpl) meletus
dahsyat dan menghancurkan sepertiga
tubuhnya. Namun, tinggi
gunung yang kini hanya tinggal 2.850
meter telah meninggalkan
kaldera raksasanya yang luar biasa
spektakuler. Kaldera tersebut
mempunyai diameter lebih dari 7 km
dan kedalaman lebih dari 1
km, hingga menjadikannya sebagai
kaldera terbesar di Asia dan
terdalam di dunia.
Dalam skala letusan, gunung Tambora
merupakan yang terkuat
setelah letusan gunung Toba 74.000
tahun yang lalu. Berdasarkan
Volcanic Explosivity Index (VEI),
letusan Tambora berada pada
skala 7 dari 8. Artinya hanya kalah
satu tingkat dari letusan
gunung Toba (Sumatera Utara) yang
berada pada skala 8 VEI.
Berdasarkan informasi dari berbagai
sumber, suara letusan
gunung Tambora terdengar hingga
Pulau Sumatra (lebih dari
2.000 km). Abu vulkaniknya menyebar
dan jatuh di Kalimantan,
Sulawesi, Jawa, dan Maluku. Jumlah
korban yang ditimbulkan
mencapai lebih dari 92.000 jiwa.
Sebagian besar korban
merupakan penduduk Pulau Sumbawa dan
Pulau Lombok.
Bahkan tiga buah kerajaan dari 6
buah kerajaan yang berdiri
pada saat itu turut musnah. Tiga
kerajaan tersebut adalah Pusat
Kerajaan Tambora, Kerajaan Pekat dan
Kerajaan Sanggar yang
kini telah meniggalkan sebuah
sejarah peradaban manusia yang
disebut Situs Tambora.
Seorang arkeolog dari Amerika
Serikat, Prof. Haroldur Sigurdsson
bersama-sama dengan direktorat
vulkanologi Indonesia antara
bulan Juli s/d Agustus 2004 telah
menemukan bukti-bukti
adanya kebudayaan yang hilang musnah
karena letusan gunung
Tambora. Beliau juga menyebut
sisa-sisa bukti-bukti sejarah
dan kebudayaan yang telah berhasil
ditemukannya itu sebagai
“Pompeii dari Timur”. (Baca Journal:
Berdiri Di Bibir Kawah
Raksasa Tambora, MountMag, Edisi 4,
No. 04/2011).
Akibat dari letusan gunung ini
bahkan telah menyebabkan
perubahan iklim dunia. Satu tahun
berikutnya (1816) di Amerika
Utara dan Benua Eropa telah terjadi
perubahan iklim yang
drastis. Pada tahun tersebut telah
terjadi musim dingin yang
berkepanjangan. Dimana dunia
mengenalnya dengan sebutan
terjadi kegagalan panen dan kematian
ternak besar-besaran di
belahan utara sehingga menimblkan
bencana kelaparan terburuk
yang terjadi pada abad ke-19.
Meningkatnya aktivitas vulkanik
gunung Tambora sebenarnya
sudah dimulai sejak tahun 1812. Pada
tahun tersebut letusan-
letusan kecil sudah terjadi. Tiga
tahun kemudian, 5 April 1815
terjadi gunung tersebut benar-benar
meletus. Suara letusannya
terdengar hingga Makasar, Sulawesi,
Jakarta (Batavia), dan
Ternate di Maluku. Diceritakan juga
saat pedagang dan penjelajah
Inggris melakukan perjalanan ke
nusantara pada awalnya berpikir
suara tersebut merupakan tembakan
meriam.
Pada malam, 10 April 1815, letusan
gunung Tambora mulai lebih
intensif. Letusan-letusan besar
kemudian mulai meledakkan
gunung berapi tersebut hingga puncak
letusan hebat terjadi
tanggal 11 April 1815. Suara letusan
terdengar hingga ke
Surabaya, Madura dan Banyuwangi.
Madura tertutup abu selama
3 hari. Aliran materi vulkanik
mencapai 100 Km3. Kolom letusan
mencapai tinggi 40 – 50 km. Gunung
Tambora telah memuntakan
sekitar 50 - 150 kilometer kubik
magma. Kaldera gunung runtuh
pada akhir letusan dan menghancurkan
30 km3 tubuh gunung
dan membentuk diameter kaldera
sekitar 7 km dan kedalaman
1.250 meter. Suhu bumi secara global
turun 2,5 derajat Celcius.
Efek dari letusan dahsyat gunug
Tambora terus berlangsung.
Tahun 1816 yang kemudian dikenal
Year Wiithout Summer
benar-benar menjadi malapetakan
besar dimana Benua Eropa
dan Amerika gagal panen. Bencana
kelaparan semakin meluas.
Perubahan angin muson. India,
Pakistan dan Banglades dilanda
banjir pada saat musim kemarau.
Penyakit mematikan kolera
menyebar dari India hingga Rusia.
Tidak hanya itu, epidemi
tipus juga merajalela di Eropa
tenggara dan Mediterania hingga
menewaskan sedikitnya 10.000 jiwa.
Ada juga yang menyebutnya
hingga angka ratusan ribu jiwa.
Mengenai kejadian ini para
sejarawan menulis, bahwa letusan
Tambora telah menyebabkan
“krisis terakhir dan terbesar di
dunia Barat”.
Musim dingin yang bekpepanjangan dan
kegagalan panen yang
melanda juga menjadi pemicu
kekalahan pasukan Napoleon
Bonaparte dalam pertempuran di
Waterloo.
Kegelapan dan bencana yang melanda
manusia pada tahun 1816
kemudian menginpirasi seorang Mary
Godwin yang saat masih
berusia 18 tahun untuk menulis novel
horol ilmiah yang terkenal
dan legendaris, Frankeinstein.
Beberapa syair Kerajaan Bima juga
menggambarkan tentang
bencana dahsyat letusan gunung
Tembora tersebut.
“Bunyi bahananya sangat berjabuh
Ditempuh air timba habu
Berteriak memanggil anak dan ibu
Disangkanya dunia menjadi kelabu
Waktu subuh fajar pun merekah
Diturunkan Allah bala celaka
Sekalian orang habiskan duka
Bertangis-tangisan segala mereka”
Gunung Krakatau
Hampir 70 tahun setelah letusan
besar gunung Tambora, dunia
kembali dikejutkan kembali oleh
letusan gunung berapi di
nusantara. Pada hari Senin, 27
Agustus 1883, gunung Krakatau
yang berada di selat Sunda meletus
hebat dengan kekuatan 6
VEI. Memicu tsunami setinggi sekitar
30 – 40 meter. Sebuah kapal
yang berjarak sekitar 80 km dari
pusat gunung terhempas karena
terkena angin letusan. Semua yang
ada di Selat Sunda dan
sekitarnya benar-benar porak
poranda. Dalam catatan sejarah,
letusan terbesar di penghujung abad
19 ini telah menelan korban
jiwa lebih dari 36.000.
Letusan dahsyat gunung Krakatau
telah menghancurkan tubuhnya
sebanyak 18 kilomter kubik. Suara
dentumannya terdengar
hingga ke Srilangka dan Karaci. Ke
timur hingga ke Perth dan
Sydney. Abu letusan menyembur ke
udara hingga setinggi 70-
80 km. Kemudian menyebar ke hampir
seluuruh dunia. Benda-
benda keras berhamburan ke udara dan
jatuh di daratan pulau
Jawa dan Sumatera serta Sri Lanka,
India, Pakistan, Australia dan
Selandia Baru.
Menurut Simon Winchester, ahli
geologi lulusan Universitas
Oxford Inggris, Suara letusan gunung
Krakkatu terdengar hingga
4.600 km dari pusat letusan dan
bahkan dapat didengar oleh 1/8
penduduk bumi saat itu.
Letusan gunung Krakatau, Agustus
1883, merupakan letusan
terhebat kelima di dunia setelah
letusan besar gunung Toba dan
gunung Tambora (Indonesia), gunung
Taupo (Selandia Baru), dan
gunung Katmal di Alaska.
Sebagaimana gunung Toba dan gunung
Tambora, dampak
letusan hebat gunung Krakatau juga
mempengaruhi iklim dunia.
Hampir sebagian langit dunia gelap
gulita. Suhu permukaan bumi
pun turun 1,2 derajat Celcius.
Akibat debu vulkanik yang terlempar
ke atmosfer hingga
mempengaruhi iklim dunia,
orang-orang di Inggris dan Amerika
merasa aneh karena melihat matahari
terbenam berwarna merah.
Meletusnya gunung Krakatau tahun
1883 menjadi penting
karena telegraf saat itu telah
ditemukan. Peristiwa ini menjadi
berita kolosal pertama yang dapat
dideskripsikan secara rinci ke
dunia melalui kabel telegraf bawah
laut. Dengan cepat pembaca
berita di Eropa dan Amerika Utara
dapat mengikuti laporan saat
terjadinya bencana.
Sebelum meletus dahsyat, 27 Agustus
1883, gunung Krakatau
mempunyai ketinggian sekitar 800
mdpl. Gunung Krakatau
merupakan sisa letusan gunung berapi
tua yang pernah meletus
pada tahun 416 masehi. Gunung
Krakatau saat itu sendiri
terbentuk dari gabungan tiga gunung
berapi yang muncul dari
sisa letusan gunung Krakatau purba,
yaitu gunung Danau, gunung
Rakata dan gunung Parbuatan. Setelah
200 tahun tertidur, 20 Mei
1883, gunung Krakatau menunjukkan
aktivitas sesimiknya yang
menandakan bahwa gunung bangun
kembali.
Suara letusan eksplosif awal
Krakatau terdengar hingga 16 km
jauhnya. Semburan abu terlihat naik
hingga 11 km di atas puncak
gunung. Pada 11 Agustus 1883, tiga
ventilasi aliran magma
secara aktif meletus.
Tanggal 26 Agustus 1883,
letusan-letusan semakin sering terjadi
dengan rentang waktu rata-rata
setiap 10 menit. Seorang pelaut
yang berada sekitar 120 km dari
pusat letusan, melaporkan
bahwa asap awan hitam naik dari atas
gunung.
Pada 27 Agustus 1883, terjadilah
empat letusan besar yang
berasal dari gunung. Ledakan hebat
terakhir menghancurkan
dua pertiga dari pulau Krakatau.
Letusan tersebut juga memicu
tsunami dengan kekuatan yang besar.
Tidak hanya pulau Krakatau
yang hancur, pulau-pulau kecil
lainnya demikian. Sejak saat itu
peta Selat Sunda berubah untuk
selamanya hingga kini.
Beberapa jam setelah berita telegraf
dari Batavia (Jakarta), The
New York Times memuat headline kecil
pada edisi 27 Agustus
1883 : “Terrific ledakan terdengar
kemarin malam dari pulau
vulkanik, Krakatau. Suara ledakan
terdengar di Soerakarta,
Pulau Jawa. Abu dari gunung berapi
jatuh hingga Cirebon, dan
kemudian terlihat pancaran api
menyala dari Batavia”.
Kemudian peristiwa meletusnya gunung
Krakatau langsung
mendapat perhatian besar dunia.
Setelah letusan, daerah disekitar
Krakatau diselimuti kegelapan, debu
dan partikel membumbung
hingga ke dalam atmosfer. Sinar
matahari terhalang.
Majalah Atlantic Monthly terbitan tahun 1884,
melaporkan bahwa
beberapa kapten laut telah melihat
matahari terbit yang hijau.
Berbulan-bulan setelah letusan,
matahari terbenam di seluruh
dunia berubah merah. Peristiwa
tersebut berlangsung selama
hampir tiga tahun. Pola cuaca terus
menjadi kacau selama
bertahun-tahun hingga benar-benar
mempengaruhi perubahan
iklim dunia. Suhu baru kembali
sedikit demi sedikit normal setelah
Bertahun-tahun setelah letusan,
tepatnya pada tahun 1929,
para ahli geologi dan vulkanologi
dunia kembali dikejutkan
dengan munculnya gunung api baru di
bekas reruntuhan gunung
Krakatau, Agustus 1883. Gunung api
baru yang kemudian diberi
nama gunung Anak Krakatau, terus
tumbuh dan hingga kini telah
mencapai ketinggian 325 mdpl.
Kini, gunung Anak Krakatau telah menjadi
laboratorium geologi
dan vulkanologi dunia serta
sekaligus daerah tujuan wisata dunia
yang memesona.
Gunung Berapi Adalah Anugrah
Berbagai bencana alam dahsyat yang
terjadi seperti letusan
gunung Toba, gunung Tambora dan
gunung Krakatau menjadi
bukti betapa manusia merupakan
makhluk yang diciptakan Tuhan
dengan sempurna. Dengan menggunakan
akal pikirannya dalam
kondisi keterbatasan yang ada, umat
manusia telah mampu
bertahan hingga kini.
Dibalik kedahsyatan letusannya, kita
patut bangga karena gunung-
gunung api di nusantara telah
menjadi catatan penting sejarah
peradaban dunia. Tidak salah jika
kiranya kelak Indonesia benar-
benar dapat dijadikan laboratorium
gunung api dunia sekaligus
surganya para pendaki gunung berapi.
Sejatinya gunung berapi
bukan semata-mata menimbulkan
bencana alam, namun disana
ada kekayaan, kesuburan, keindahan
dan keunikan. Karena
gunung berapi adalah anugrah.
Sumber:
http://mountmag.com/wp-content/uploads/downloads/2012/08/MountMag-09.pdf
No comments:
Post a Comment