Minggu, 01 April 2012 , 22:25:00 WIB
Laporan: Teguh Santosa
Awalnya penelitian peninggalan peradaban kuno dalam kisah-kisah itu juga dipandang sebelah mata, bukan hanya oleh masyarakat awam tetapi juga oleh sementara peneliti. Wajar bila dipandang sebelah mata, karena penelitian seperti ini keluar dari pakem.
Kordinator Tim Bencana Katastropik Purba Erick Ridzky mengatakan, dari kisah-kisah itu masyarakat Indonesia pada umumnya dapat memetik pelajaran agar tidak langsung memberikan penilaian negatif dan mencemooh penelitian yang sedang mereka lakukan.
Penelitian di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, sebut Erick, telah memasuki babak baru setelah dalam rembug di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas), Jakarta, hari Kamis lalu (30/3) disepakati pembentukan tim khusus lintas ahli untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Beberapa waktu lalu Tim Bencana Katastropik Purba mengebor sejumlah titik di Gunung Padang. Hasil dari pengeboran itu semakin meyakinkan mereka bahwa di bawah Gunung Padang yang terletak dekat Sesar Cimandiri terdapat sebuah bangunan kuno yang tertimbun entah sengaja atau tidak. Bangunan kuno itu pun diduga memiliki kaitan dengan bencana katastropik di masa lalu.
Selain itu, Tim yang dibentuk kantor Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana (SKP BSB) ini juga tengah mempertimbangkan untuk melanjutkan penelitian di Gunung Sadahurip, Garut, Jawa Barat. Penelitian akan dilanjutkan ke tahap pengeboran untuk mengambil contoh "jaringan" di bawah Gunung Sadahurip.
Kisah pertama yang disampaikan Erick adalah tentang DR. Javier Cabrera yang karena hobi mengumpulkan dan meneliti batu-batu dari Ocucaje, sebuah desa di pedalaman Peru, akhirnya menemukan catatan-catatan sangat kuno mengenai ilmu kedokteran, astronomi, astronautika, ilmu fauna, biologi, dan kehidupan mahluk yang pernah ada jauh sebelum peradaban manusia kini.
Kisah DR. Cabrera yang merupakan keturunan bangsawan Spanyol Kapten Don Geronimo Luis de Cabrera dari Toledo, berawal ketika ia mendapatkan batu Ocucaje dari seorang temannya suatu hari di tahun 1966. Sejak hari itu hingga sampai menutup mata di tahun 2001 ia terus mengumpulkan dan mempelajari motif lukisan yang ada di setiap batu. Hingga tahun 1971 ia telah mengumpulkan 10 ribu batu Ocucaje dalam sebuah perpustakaan. Batu-batu ini terkadang begitu berat hingga mencapai 100 kilogram.
Kisah kedua terjadi di Argentina, yang seperti Peru juga berada di Amerika Latin. Sudah sejak lama pendudukmelaporkan keanehan di sebuah dataran tinggi berbentuk segiempat sempurna yang kesemua sisinya terdiri dari jalan raya yang lebar. Bahkan satu di antaranya lebar sekali.
Sementara itu, di sebelah pegunungan Cordillera, Chili, negeri tetangga Argentina, pun tersebar berita mengenai puncak dataran tinggi yang juga simetris dan dinamakan Enladrillado yang kira-kira artinya adalah landasan pesawat ruang angkasa. Landasan ini berada tak jauh dari kota peristirahatan Lo Vilches.
Secara fisik, kedua tempat yang dilaporkan itu seakan saling menyambung dan membentuk sebuah bandara yang begitu besar. Tetapi sejauh ini belum ada laporan pasti dan resmi.
Kisah terakhir adalah tentang empat tentara AS yang setelah Perang Dunia Kedua berakhir melarikan diri dan tersesat di hutan rimba lebat di daerah Parada Equador. Saat berada di lereng timur dari pegunungan Cordillera mereka secara tak sengaja menemukan bangunan yang disembunyikan sedemikian rapi oleh alam.
Sekitar 30 tahun kemudian, bangunan ini dikenal sebagai Piramida Parada. Istimewanya, mereka menemukan pintu dari batu, dan di dalamnya terdapat kemiripan dengan Piramida Giza di Mesir.
"Inti dari kisah-kisah ini, kita harus terbiasa menghormati penelitian dan penemuan-penemuan. Apalagi yang berkaitan dengan bangsa sendiri," demikian Erick. [guh]
Sumber:
http://www.rmol.co/read/2012/04/01/59405/Inilah-Tiga-Kisah-yang-Mirip-Penelitian-Piramida-dari-Indonesia-
No comments:
Post a Comment