Monday, April 21, 2014

Gunung Padang

Gunung Padang (oleh: Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata)

Catatan: Tulisan catatan perjalanan profesor emeritus Teknik Geologi ITB, R.P. Koesoemadinata ini ditulisnya sebagai posting di milis IAGInet, milis Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Dengan sedikit penyuntingan, dan penambahan foto-foto, saya unggah di blog ini. Selamat membaca.

TINJAUAN PARIWISATA G. PADANG
Hari Sabtu tgl 2 Mei 2012 saya berkesempatan untuk melakukan fieldtrip bersama dengan pagyuban Bandung Heritage. Kami berangkat beserta isteri dan adik ipar kami yang bertindak sebagai penjaga kami, mengingat kami berdua itu sudah di atas kepala tujuh, dan antisipasi akan adanya naik ke puncak situs purbakala G. Padang. Field trip ini dipandu oleh Sdr. Budi Brahmantyo, mungkin satu-satunya geologist selain saya. Peserta lainnya adalah antara lain dari arsitektur dan planologi.

bersama Paguyuban Pelestarian Bandung (Bdg Heritage), Foto: Putri Kinasih
Kesampaian Situs (Accessibility)
Ternyata G. Padang sudah menjadi objek tujuan wisata resmi dari Kementrian Pariwisata, sehingga perjalanan cukup mudah. Dari Bandung ke arah Sukabumi setelah melewati Warungkondang Cianjur, sebelum Gekbrong, ada simpang jalan ke kiri yang diberi tanda Situs G. Padang (walaupun tidak terlalu besar). Pada setiap simpang jalan tanda ini terus diketemukan, sehingga tidak sulit untuk sampai ke situs ini. Setelah melewati stasiun KA dengan terowongan Lampegan-nya, jalan menjadi sempit, sehingga sulit untuk berpapasan, yang tidak lain adalah jalan perkebunan, tetapi sudah diaspal kecuali beberapa ratus meter terakhir saja. Sepanjang jalan sudah cukup banyak pengunjung yang kebanyakannya naik motor.
Tujuan wisata ini sudah mulai ditata secara baik, pada ujung jalan aspal, Kampung Cimanggu sudah disiapkan tempat parkir, cukup untuk beberapa puluh mobil. Sebelumnya kami melakukan tinjauan jarak jauh terhadap situs G. Padang ini dan kelihatan betapa terjalnya jalan bertangga-tangga yang menuju situs tersebut, sehingga dapat menyurutkan nyali untuk mendakinya. Setelah berjalan sekitar 300 m dari Cimanggu kami sampai ke tempat dimulainya pendakian. Di situ sudah didirikan bangunan-bangunan kecil termasuk ruang untuk penjelasan, mushola dan WC umum dan tentu loket untuk pembayaran tiket masuk (Rp.2000).

perjuangan pak Koesoema menuju situs G. Padang (foto: BB)
Dari gerbang G. Padang ini terdapat dua jalan bertangga untuk naik ke situs, satu jalan lama yang cukup curam dan tersusun dari kolom-kolom batuan dan menuju langsung ke puncak bukit di mana situs berada, dan satu jalan baru dengan anak tangga yang rendah yang baru dibangun dari beton, tetapi melebar dan cukup landai, tetapi tentu lebih jauh. Karena ego saya merasa ditantang, saya memilih jalan yang curam, ingin mengetes sampai di mana kekuatan mental saya. Saya tidak menyesal mengambil jalan ini, tetapi merasa kelelahan sampai harus beristirahat sampai mungkin 4 kali.
http://gunungtoba2014.blogspot.com
Ternyata kecapaian ini bukan jantung yang berdebar-debar (rasa-rasanya detak jantung ini normal saja) juga napas rasanya masih tidak tersendat-sendat (tidak hah-heh-hoh), bahkan mampu mengambil napas panjang, tetapi yang terasa adalah pusing dan mulai melihat kunang-kunang. Saya sudah mulai ada pikiran wah jangan-jangan saya bernasib sama dengan Wamen ESDM di G. Rinjani (yang dimaksud G. Tambora. Red), namun saya segera hapus bayangan ini dari pikiran saya, dan yang menyertai sayapun (antara lain Budi) saya tidak beri tahu bagaimana parahnya saya waktu itu.
Alhamdulillah walhasil kami sampai ke teras pertama dari situs megalitik G. Padang. Eh ternyata isteri saya tadinya tidak mau ikut naik sudah menunggu setengah jam di sana, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecapaian sedikitpun mengikuti jalan yang lebih jauh itu. Selain itu juga sudah banyak wisatawan lokal disini. Memerlukan waktu lebih dari setengah jam saya istirahat di pelataran pertama dari situs megalithic ini, baru sesudah makan siang (nasi kotak lumpia Semarang, waktu sudah lewat jam 12 siang) dan minum secukupnya saya merasa cukup pulih kembali untuk melanjutkan ke puncak, walaupun masih lemas rasanya.

Kebetulan di atas ini ada tukang cingcau, yang menjual minuman cingcau asli dari daun “camcauh” dengan gula aren. (ternyata daerah ini adalah terkenal sebagai daerah yang memproduksi gula aren). Setelah minum cincau inilah saya merasa segar dan fisik saya pulih kembali, bahkan sampai ke Bandung pun tidak merasa lelah sama sekali, bahkan besok harinya dapat menghadiri beberapa undangan. Saya baru menyadari sekarang bahwa apa yang terjadi itu karena saya menginap penyakit gula (diabetes) dan makan obat.Kelihatannya waktu saya naik ini energi saya terkuras habis, dan pankreas saya tidak mampu memberikan cukup suplai gula ke darah saya. Saya kira lain kali saya harus bawa permen. Karena ternyata cincau dengan gula aren itu telah memulihkan tenaga saya (self-diagnose, seharusnya saya konsultasi ke dokter apa yang sebenarnya terjadi).
Kesimpulan mengenai kesampaian: Situs megalithic G. Padang cukup mudah untuk dicapai. Ini bisa dibuktikan bahwa isteri saya saja yang sudah berkepala tujuh, boleh dikatakan tidak pernah naik gunung, olah raganya tennis, sehingga lutut-nya agak bermasalah, kalau jalan-jalan paling2 di mall berjam-jam, tetapi memang terlatih di rumah karena harus turun-naik tanngga, mampu mencapai puncak dari G. Padang ini tanpa banyak mengeluarkan keringat.
Pengamatan
Di gerbang tujuan wisata ini sudah banyak terdapat kolom batuan yang mungkin adalah di bawa dari atas. Salah satu gejala yang berarti di sini adanya mataair yang dinamakan Jaman, di mana di zaman dulu waktu G. Padang ini adalah suatu tempat keramat, orang harus membersihkan diri dengan air di sini. Anak-anak tangga ke arah situs ini seluruhnya terdiri dari kolom batuan dengan ukuran diameter kurang dari 30 cm, dan Panjang 1 sampai 1,5 m. Beberapa kolom kelihatan berdiri tegak, mungkin ditancapkan oleh manusia. Di teras yang ke-1 kolom-2 batuan ini kelihatan berserakan bergelimpangan, walaupun banyak pula kolom2 yang berdiri atau miring. Memang terdapat pemusatan dari gelimpangan kolom batuan ini, khususnya seperti dipagari oleh kolom yang berdiri, yang pada umumnya kurang dari 1 m tingginya. Memerlukan imaginasi yang kuat atau pengetahuan arkeologi untuk melihat keberadaan suatu pola atau aturan dalam kolom-kolom batuan yang berserakan ini, sebagaimana ditunjukkan oleh para guide lokal.

Bapak dan Ibu Koesoema di undak pertama G. Padang (Foto: BB)
Penampang kolom ini tidak selalu segi lima, tetapi banyak yang segi empat, bahkan banyak juga yang segi tiga. Selain itu juga diameter dari kolom kebanyakan tidak rata, bahkan ada yang menggelembung di tengah-tengahnya. Juga cukup banya kolom batuan yang bengkok-bengkok. Juga banyak pula yang bagian atasnya tersopak seperti bambu runcing. Insting geologi saya menyatakan bahwa ini adalah “columnar joints”, tidak banyak keteraturan sebagai mana kita harapkan dari buatan manusia. Tetapi ada sesuatu yang menarik, pada setiap kolom batuan ini selalu ada coak, seolah-olah ditatah manusia, lubang yang oval.
Selain itu juga diketemukan lubang-lubang dangkal sebesar telunjuk yang memanjang. Bahkan saya ada juga ada yang menyerupai telapak kaki manusia yang cukup dalam. Seorang pengunjung rajin memotreti gejala ini dan dia berteori bahwa cowakan2 ini ada semacam huruf atau tanda huruf. Mengingat bahwa jenis batuan dan bentuknya (kolom-kolom) ini sangat seragam kesan saya adalah bahwa kolom-kolom batuan ini adalah asalnya in situ, tetapi telah banyak digeser-geser manusia (displaced secara alami maupun oleh manusia), sehingga agak beraturan, terutama dengan menancapkannya dalam posisi vertikal.
Namun setelah mencapai teras yang terakhir di puncak terdapat 3 batu yang adalah ”out of place”, yaitu pada tempat pemujaan utama atau juga disebut menhir (sebetulnya banyak kolom2 batuan ini juga yang dinyatakan sebagai menhir). Dua lempeng batuan yang berdampingan ini adalah pipih (dolmen?), sedangkan pada sisi utaranya adalah batuan yang relatif besar, sekitar 60 cm lebih yang lonjong. Ke-3 batu ini bukan merupakan kolom batuan seperti yang lainnya.
Seorang guid lokal mendemonstrasikan bagaimana seseorang yang bersemedi ini duduk pada lempengan batuan itu dan bersandar pada batu yang agak besar ini dan menghadap ke utara, ke G. Gede. Batua senderan ini sekarang berada dalam keadaan rebah. Ini saya kira merupakan batu2 yang bukan bagian dari columnar joints, tetapi mungkin diangkut dari tempat lain. Pada teras teratas ini banyak pula kolom2 batuan yang tersusun antara lain berdiri dan dianggpa batu menhir dalam istilah arkeologi. Saya tanya pada Budi apakah di sungai di bawah ini ada singkapan batuan. Menurut Budi di sungai itu hanya diketemukan kolom-kolom batuan yang sama seperti di atas, dalam keadaan berserakan, jadi sudah tidak in situ. Juga di sekitar daerah ini belum pernah diketemukan singkapan dengan columar joints.
Kami tentu kembali lewat jalan yang mudah dan rasa-rasanya hanya memerlukan kurang dari setengah jam saja. Sesaat sampai ke gerbang situs ini saya sempat ketermu dengan Bp Andi Arief dari staff kepresidenan. Beliau menyapa dan menyatakan senang bertemu dengan saya karena selama ini beliau hanya kenal nama saya saja (dari membaca tulisan saya?). Kami tidak sempat berbicara soal piramid, karena beliau sedang sibuk mempersiapkan suatu acara pada malam hari di puncak G. Padang dengan tokoh setempat. Juga mungkin mempersiapkan kujungan Ibu Ani ke sini.
Di tempat pelataran gerbang situs G. Padang ini saya sempat mewawancarai guide resmi disini yang ternyata telah jadi PNS dari Balai Purbakala. Setelah agak di interogasi dia mengakui bahwa sebelum G. Padang ini resmi menjadi tujuan wisata, bahwa situs ini dulunya adalah dianggap tempat keramat, dan banyak orang mengunjunginya untuk menginginkan sesuatu, dan ayahnya sendiri adalah kuncen-nya dan sebetulnya diwariskan ke kakaknya. Orang yang ingin berkunjung itu biasanya harus membersihkan diri (bebersih) di mata air yang dinamai Jaman itu (sekarang sudah dalam bentuk sumur berbentuk pesegi yang sangat dangkal). Banyak orang yang telah mengunjungi situs keramat ini kemudian menjadi mampu untuk naik haji ke Mekah.
Syncretisme antara animisme dengan Islam kelihatannya juga terjadi disini. Hal ini diiyakan juga oleh Pak Sapta, yang telah berumur 82 tahun yang sering mundar-mandir ke situs megalitik ini (wah ada juga yang lebih tua dari saya yang sering naik ke puncak, terpukul juga egoku). Dia katakan pada zaman ”normal”pun jauh sebelum perang dunia ke-2 situs ini sudah banyak dikunjungi ”peziarah”.
Saya tahu bahwa situs megalith itu sudah diketahui oleh Oudheidkundige Dienst jauh sebelum Perang Dunia ke-2. Saya duga bahwa sejak dulu disini telah ada perkebunan teh dan karet, dan mungkin sekali situs keramat diketahui oleh Administratur Perkebunan (onderneming) dan dilaporkan ke Oudheidkundige Dienst (Jawatan Purbakala Hindia Belanda) dan kemudian diteliti.
Apakah disini pernah ada suatu peradaban dengan sistim pemerintahan yang berhubungan dengan Pajajaran? Saya condong untuk meragukannya. Sebelum Islam masuk di Jawa Barat orang Sunda di pedalaman pada umumnya adalah beragama animisme walaun condong monotheistis. Dalam hal ini mungkin G. Gede yang dipuja. Keberadaan suatu kebudayaan megalith tidak memerlukan adanya peradaban. Bahkan keberadaan suatu agamapun dengan kuilnya dapat terjadi pada waktu orangnya masih nomad, paling tidak sudah bercocok tanam, sebagai mana telah terbukti dengan penermuan situs arkeologi di Turki baru-baru ini (Majalah National Geographic).
Banyak situs-situs keramat di Jawa bahkan di Nusantara ini berlangsung dari zaman batu sampai masa kini, dan terjadilah syncretisme dengan Islam. Mungkin sekali orang Sunda di daerah ini secara kebetulan menemukan batuan dengan ”columnar joints” berserakan di puncak G. Padang , hal mana tentu menakjubkan dan dianggapnya tentu ada sesuatu yang ajaib disini. Dengan sedikit menggeserkan bahkan nancapkan kolom batuan ini terjadilah suatu tempat pemujaan.

BB, Pak Koesoema dan Ibu (foto: BB)
Apakah di bawahnya ada piramid yang terkubur? Dengan segala hormat kepada para pendukung piramid, bentuk morfologinya saja tidak mendukung itu, karena sangat asymetris. Ini adalah kesan-kesan saya saja, pengetahuaan arkeologiku yang sangat minim. Kalau pun orang penasaran untuk membuktikannya, mengapa harus membor atau ekskavasi di puncaknya sehingga dapat mengganggu kelestarian situ?. Mungkin kalaupun ada pintu ke dalam tempat yang paling mungkin itu adalah pada dasar lereng selatan yang terjal. Bahkan kalau punya dana yang besar bisa membuat terowongan atau pemboran kesamping sehingga tidak mengganggu kerusakan pada situsnya sendiri. Saya sendiri gatel untuk menelusuri sungai2 yang ada di sekelilingnya itu untuk mencari outcrop dan memetakannya secara detail. Dari peta topografi terlihat ada 2 sungei yang mengapit G. Padang ini, yaitu yang melewati Cimanggu di timur, dan yang melewati Cipagulaan di bara. Namun apa boleh buat, umur sudah tidak dapat dipungkiri lagi.
Geologi Regional
Secara geologi regional G. Padang terdapat pada pojok barat daya pada peta geologi sistimatik Pulau Jawa Lembar Cianjur bersekala 1:100.000 yang dipetakan oleh Sudjatmiko yang terbit tahun 1971 yang berbatasan langsung dengan Lembar Sindangbarang-Bandarbaru yang disusun oleh Koesmono dkk dan diterbitkan pada tahun 1991. G. Padang masih berada di lembar peta Cianjur dan oleh Sudjatmiko dipetakan sebagai satuan batuan gunungapi dan batuan sediment, yang terdiri dari breksi tufaan, lava, batupasir, konglomerat yang bersisi-pan dengan lava andesite (Kode: Pb dan Pl) yang berumur Pliosen Akhir. Formasi yang sama pada lembar Sandangbarang dipetakan oleh Koesmono dkk sebagai Anggota Lava Cikondang dari Formasi Beser (Tmbec) yang terdiri dari lava andesite piroksen berwarna kelabu sampai gelap dan berumur Miosen Akhir.
Suatu hal yang menarik adalah bahwa anggota lava ini termineralisai, di mana banyak terdapat urat-urat kwarsa yang steril, dengan jaspis maupun dengan mineral logam khususnya Cu dan Au, antara lain 500 m tenggara dari puncak G. Melati. Orang-orang setempat yang menyertai kami ke puncak G. Padangpun banyak bercerita mengenai adanya explorasi dan pertambangan di daerah ini.
Dua gejala geologi yang menonjol disini adalah adanya 2 puncak Bukit yang dipetakan sebagai intrusi andesite, yaitu Pasir Pogor, 2 km di utara dari G. Padang (di lembar peta Cianjur) dan G. Melati, 1,5 km di Selatan ke arah tenggara di lembar peta Sindangbarang. Umur dari ke-2 intrusi ini tidak diketahui. Sepanjang perjalanan, paling tidak dari bus tidak kelihatan adanya singkapan, kecuali lapukan batuan. apakh breksi atau tuff. Penjelasan pada peta Lembar Cianjur maupun Lembar Sindangbarang tidak ada deskripsi sedikitpun mengenai adanya “columnar jointing” pada lava maupun intrusi andesite ini.
Secara topografi berdasarkan peta digital sekala 1: 25.000 G. Padang ini merupakan suatu punggungan yang berasal dari G. Melati. Namun pengamatan local, G. Padang ini sebelah selatannya terputus oleh jurang yang cukup dalam dari perbukitan dari gunung yang ada di sebelah Selatan, sehingga merupakan bukit tersendiri (tinggi 950 m di atas muka laut), dengan lereng yang relatif landai ke arah Utara (dengan jalan bertangga-tangga), sedangkan lereng sebelah barat dan timurnya relative lebih terjal, tetapi lebih landai dari pada lereng sebelah selatannya. Di di antara G. Padang dan Ps Pogor ini masih juga ada puncak dari bukit yang terisolasi, yang dipetakan sebagai Pb juga oleh Pak Sudjatmiko


Sumber:
http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=1571

No comments:

Post a Comment