Sunday, May 4, 2014

“Betulkah Indonesia adalah Reruntuhan Atlantis yang hilang?”

Bagian I “Betulkah Indonesia adalah Reruntuhan Atlantis yang hilang?”

Sebuah review dari “Eden Of The East,karya S.Oppenheimer
dan “Arya Invasion Theory & Ayodia-karya Koenraad Elst” –
Penyusun : Bagus Soetrama, Dipl. Aud. Eng
Berangkat dari beberapa Studi Literasi yang dilakukan penulis, ditemukan beberapa fakta logika yang menarik tentang perulangan kata yang disebut sebagai Atlantis. Dengan ditemukannya bukti-bukti keilmuan dan logika baru yang cukup kontroversial dengan sejarah peradaban saat ini, yang telah dikembangkan oleh para peneliti pasca Penjelajahan Dunia- Revolusi Industri dan Era Imprealisme, penulis mencoba melihat ini semua sebagai reruntuhan logika sejarah dari  penyebaran dan peradaban manusia di bumi, sejak bumi ini tercipta hingga saat ini dimana kita berpijak.
Seorang peneliti Arkeologi dan Antropologi asal Belanda, Koenraad elst, mengatakan bila bumi yang kita tinggali saat ini adalah hasil keseimbangan perubahan iklim Global sebelumnya maka bukanlah sebuah kiasan “kaca Freudian yang buram” saja dan seperti illustrasi Plato bahwa pernah ada sebuah bangsa yang tenggelam bersama permukaannya karena naiknya permukaan laut di bumi dan bersamaan letusan gunung berapi secara berturut2 dan dalam waktu yang berdekatan ,bersamaan menghancurkan dan menenggelamkan benua tsb (Timeus and Critias.red). Hal ini dapat kita pahami sebagai konskuensi logis, bila saat pun bumi kita sedang mengalami perubahan Iklim Global, dengan makin tipisnya lapisan Ozon dan naiknya suhu udara di kedua kutub bumi maka kita rasakan perubahan iklim ini membawa efek pada lingkungan dimana tempat manusia berada, peradaban manusia sekarang menyebutnya sebagai Bencana Alam baik banjir ataupun dampak efek rumah kaca lainnya.
Tertarik membaca logika sebuah buku yang ditulis oleh StephenOppenheimer, yang berjudul “Eden of the East” yang mengatakan bahwa ada sebuah benua yang tenggelam, yang saat ini disebut Asia Tenggara. Stephen Oppenheimer telah memfokuskan penelitian pada satu pulau Tapobrane dan sebagian landas kontinen lainnya yaitu Sunda: wilayah ini antara Malaysia, Sumatra, Jawa, Kalimantan , Thailand, Vietnam, China dan Taiwan, yang sebagian besar wilayah tersebut sudah ditempati selama Zaman Es purba sebelum mencair. Dimungkinkan bahwa disini pusat peradaban paling maju telah ada, ia menyebutnya Eden, nama ini diambil dari “Alkitab surga” (dari bangsa Edin Sumeria, dalam naskah tersebut disebut juga “Dataran Aluvial”), sumber Barat-Asia termasuk Alkitab ini melakukan Prosesi dengan mencari asal-usul manusia atau setidaknya mencari apa yang namanya peradaban dari Timur. Dalam beberapa kasus, seperti dalam referensi Sumeria “Timur” ini, Koenraadmengatakan : jelas merupakan budaya pra-Harappa dan Harappa, tetapi bahkan lebih banyak negara-negara timur yang saat ini ada tampaknya pun masih merupakan bagian peradaban itu, benua itu,bagi Oppenheimer dan Koenraad menyebutkan sebagai “ Bagian Benua Asia Tenggara”.atau dikatakan sebagai Sundaland.
Oppenheimer sendiri dalam penelitiannya menggunakan metode Ilmiah yaitu dengan Metode Genetik, Antropologi, linguistic dan Arkeologi dan ini sangat berbeda dengan Plato yang menggunakan metode tuturan guna melacak “Jejaknya” peradaban itu, sedangkan Koenraad melakukan penelitian melalui Studi kebudayaan masyarakat India kuno. Sebagai Ahli Sastra, Antropologi dan Sosiologi ia menemukan adanya “keterkaitan kebudayaan India kuno yang hilang serta Ekspansi Bangsa Arya di India”,Koenraad bahkan berhasil menunjukkan melalui pendekatan keilmuannya (salah satunya pendekatan Sastra India Kuno ,melalui karya-karya sastra kuno seperti karya Walmiki.red) bahwa Ayodia dimungkinkan sebagai peninggalan kebudayaan India Pra modern sebagai hasil Agitasi kedua dari bangsa Ayodia setelah masa kedua zaman Es mencair. Sejalan dengan Oppenheimer, dengan latar belakangnya sebagai dokter medis yang telah lama tinggal di Asia Tenggara selama beberapa dekade, berhasil menemukan metode secara keilmuan yang dimilikinya dengan metode penelitian DNA manusia-manusia yang berada di wilayah Afrika, Asia Tenggara- Australia hingga kepulauan Pasifik.
Dengan alasan dan bukti yang ditawarkan Oppenheimer – Koenraad diatas, diketemukannya peninggalan berupa besaran-besaran pemikiran yang diwarisi oleh penduduknya sekarang , tentang “ kecenderungan yang sama, seperti perbandingan mitologi : banyak budaya yang mirip,  khususnya mereka yang berada di zona Asia-Pasifik, mereka memiliki mitos yang sangat paralel dari satu atau lebih tentang banjir besar”,ungkap Oppenheimer. Seperti kataKoenraad , ini bukan kiasan “Freudian” semata terhadap peristiwa alam bawah sadar para ahli warisnya, namun jelas referensi historis ketika bencana itu terjadi – dengan ditarik keluar dari konteks tahayul, Oppenheimermenyatakan bahwa permukaan laut memang naik secara ekstrim setelah zaman es mencair,  perlu 3 proses banjir besar untuk menggelamkan 2/3 permukaan bumi seperti keadaan sekarang. Karena setiap fase kenaikan ini bukan proses yang berkesinambungan namun bertahap dan melanda di beda tempat; seperti patahnya gunung Es di Eropa Tengah dan Asia Utara disebabkan Suhu yang menghangat maka terjadilah banjir besar yang melanda Asia dan sebagian Eropa, kesemuanya ini terjadi dengan tiba-tiba; untuk tiap fase banjir- baik yang pertama hingga banjir ketiga,bahkan ketinggiannya pun hingga mencapai 130 -150 meter, cukup memusnahkan hampir semua kawasan yan ditempati seluruh penduduk suku – suku bangsa yang tinggal di dekat pantai dan perairan, kenaikan air Laut ini kira-kira terjadi hingga tahun 55000 SM, setelah itu permukaan laut mundur beberapa meter menjadi surut secara perlahan hingga ratusan dan ribuan tahun ke posisi serta kondisi yang sekarang di tempati sebagai wilayah Asia Tenggara dan Asia Tengah. Bagi Penduduk yang kini ada di wilayah Asia Tenggara, perubahan klimatologi ini diantaranya pun terjadi saat Gunung Toba meletus kira-kira sekitar pertengahan 74.000 sm ( bukti-bukti Vulkanik di P.Samosir,DNA di wilayah kota Tampan – Perak dan sebagianSerawak-Malaysa.red) lalu Krakatoa purba meletus ( kitab pustaka radya Pararthon- Jauh sebelum letusan tahun 1883.red), dilain tempat dan direntang waktu lebih awal – Gunung Sunda Purba-pun meletus membagi Pegunungan pulau Jawa bagian barat menjadi 2 lempengan pegunungan; yaitu pegunungan yang ada di Utara kota Bandung dan deret pegunungan yang ada di Selatan Kota Bandung Stratigrafi gunung api daerah Bandung Selatan, Jawa Barat;Sutikno Bronto, Achnan Koswara, dan Kaspar LumbanbatuJurnal  1 volume 2 – Pusat Survei Geologi, 2006 ) , ini dibuktikan dengan ditemukan melalui Penelitian Geologi yang menunjukkan bahwa endapan danau tertua usianya dari hasil radiometri karbon adalah kira-kira setua 125 ribu tahun, sedangkan kedua erupsi Plinian yang terjadi itu telah ditentukan umurnya kira-kira mencapai 105 dan 55-50 ribu tahun yang lalu. Asal-usul danau Bandung ternyata bukan disebabkan oleh letusan Plinian belaka walaupun aliran debu yang pertama dapat saja memantapkan danau purba itu secara pasti. Danau purba ini berakhir kira-kira pada 16 ribu tahun yang lalu ( Prof.Dr.R.PKoeseoemadinata ). Dilain tempat, dari rangkaian gunung di bukit barisan – Sumatera yang ikut mengambil bagian Letusan dari Rangkaian Gunung berapi Mediterania (ring of fire in the East). 
Dalam Teori yang dikemukakan kedua peneliti diatas (Oppenheimer- Koenraad.red), bahwa Asia Tenggara yang kita ketahui dulunya merupakan bagian paparan daratan yang luas, kini disebut sebagai bagian paparan Sundaland, maka Asia Tenggara mempunyai kriteria yang ideal untuk dikatakan sebagai sisa paparan benua yang tenggelam yang disebabkan naiknya permukaan air laut. Bila merunut tuturan Plato , ada kemungkinan bahwa paparan yang tenggelam ini adalah reruntuhan benua Atlantis,ungkap prof Ariyo Santos. Oppenheimer sendiri mengillustrasikan dalam bukunya bahwa bumi ini mengalami banjir yang besar sebanyak tiga kali, yang pertama: yaitu jaman pra Jurassic, kedua: masa es mencair yang melanda di benua Amerika utara – yang kini membentuk danau-danau besar di kawasan perbatasan antara Kanada dan Amerika,serta fase ketiga yaitu masa mencairnya es di kawasan Asia dan Eropa tengah – dalam konsep Agama sebagai  “Banjir Nuh”. 
Bagi Koenraad dan Oppenheimer, bangsa yang menempati wilayah Paparan Sunda Pasca Banjir kedua ini memimpin dunia dalam Revolusi Neolitikum ( mulai dari pertanian), dengan menggunakan  batu untuk  menggiling biji-bijian liar pada 24.000 tahun lalu, lebih tua 10000 tahun dari kebudayaan Pyramid Kuno di Mesir atau Summeria di Palestina.
( bersambung ke bagian II : Peninggalan Kode Genetik dan Artifisial )





Bagian II :

….Peninggalan tersebut berupa Kode Genetika dan Artifisial…….

“…Kitu keh twah janma. Dwa nu kapaknakeun: nu goce deungeun nu rampes. Kitu keh janma, mana na kapahayu ku twah nu mahayu inya. Nya mana janma mana hala ku twahna mana hayu ku twahna.”
(…. Dua macam yang dilakukan manusia: yang buruk dan yang baik. Begitulah manusia, mendapat susah karena perbuatan yang menyusahkan dirinya sendiri. Begitulah manusia, mendapat kebahagiaan karena perbuatan yang membahagiakan dirinya sendiri. Ya manusia itu susah karena ulahnya senang karena ulahnya…..) kutipan Naskah Siksakanda(ng)karesian

Dari penelitian Kode genetic yang dilakukan oleh Richard Cordeux dan Mark Stoneking dalam Jurnal American Human Genetika tahun 2003 yang berjudul “South Asia, the Andamanese, and the genetic evidence for an “early” human dispersal out of Africa”  membuktikan bahwa penduduk yang tinggal di kepulauan Andaman adalah penduduk yang penyebarannya melalui rute Jalur Selatan baik sebelum banjir itu tejadi dan atau selama banjir,dimana para penduduk itu yang berusaha berhasil selamat ini bertahap pindah dari dataran  rendah ke dataran yang lebih tinggi- yang aman dan stabil, Sundalanders ( sebutan bagi para penduduk yang tinggal di kawasan Paparan Sunda) menyebar ke negeri-negeri tetangga: daratan Asia termasuk China, India dan Mesopotamia, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, tidak juga pulau dari Madagaskar ke Filipina dan Papua New Guinea, dari sini mereka kemudian memasuki dan menjajah Polinesia sejauh mungkin hingga Pulau Paskah, Hawaii dan Selandia Baru. Bagi Penulis, pemikiran Oppenheimer dan Koenraad ini sejalan dengan para Arkeolog pra-sejarah tentang tanah air dari rumpun bahasa Austronesia (Melayu, Tagalog, Maori, Malagasy dll) ini: ia menempatkan di bahwa asal usul  bangsa Austronesia berada di Paparan Sunda dan berada di daerah-daerah yang wilayahnya kini mencapai pantai dari bagian Tenggara dari negara-negara Asia. Namun fakta lain dari kebanyakan ahli bahasa berpendapat bahwa Cina bagian selatan adalah tanah asal-usul bangsa yang kini tinggal di kawasan Asia Tenggara ( Van dyke,1939 ).


Pemikiran ini bagi Oppenheimer adalah Bagian dari argumen kronologi yang memprihatinkan bagi teori penyebaran manusia: kronologi Pemikiran Oppenheimer mengusulkan bahwa haruslah lebih sempurna dari sekedar Logika Peter Bellwood ( P Bellwood – ANTIQUITY-OXFORD-,1996-antiquity.cc… of correlation between large-scale linguistic and genetic entities)


Koenraad Elst mengatakan Pengalaman saya dengan studi IE ini membuat saya mencari bantuan untuk mengetahui bagaimana kronologi sejarah IE dari setiap Instrument data yang lebih tua dan akurat , untuk setiap temuan baru (misalnya bahwa “pra-IE”(Indo-Eropa) orang seperti Pelasgians dan Etruscans, tidak berbicara tentang Harappans, ternyata telah lebih awaltinggal daripada para pemukim bangsa “Aryan”) yang konsisten telah mendorong tanggal fragmentasi itu terjadi ke masa lalu. Alasan lain untuk tidak bergantung pada teori yang terlalu banyak dari para ahli bahasa; bahwa linguistik Austronesia adalah bidang yang harus diteliti lebih jauh, terdiri dari studi ratusan bahasa kecil yang kebanyakan bahasanya bukanlah bahasasastra, sedangkan jumlah ahli bahasa asli jauh lebih kecil daripada di kasusyang ditemukan,karena sebagian memang sudah musnah dilanda Tragedi Banjir Besar bahkan dalam kasus linguis terakhir membuktikan pada sebuahtempat, pendekatan ini membuat konsensus tentang masalah asal-usul tanah air dan leluhur bangsa Austronesia,dan kekeliruan itu pun terjadiBukti-bukti linguistik sangat sedikit, dan biasanya data tersebut diakui lebih dari satu dari bentuk rekonstruksi sejarah saja, jadi saya pikir tidak ada bukti kuat terhadap hipotesis tanah air Sundaland hanya dengan satu metode, linguistic saja. Sebaliknya, bukti Arkeologi dan Genetik yang banyak mendukung tentangpenyebaran populasi berbahasa Austronesia dari Sundaland ….”
Tentang Daratan Cina sebagai tanah asal bangsa Austronesia, bila disusun berdasarkan Kronologi pemikiran linguistik, Cina sebagai asal-usul Austronesia itu hanyalah aspek-aspek tertentu saja dan dokumen sejarah serta bukti-bukti Arkeologinya membuktikan bahwa data tersebut lebih muda usianya dari sejarah penemuan peradaban lainnya di Asia, dan ini tidak membuktikan bahwa alasan linguistic sebagai sebagai dasar pendekatan keilmuan,perlu kelengkapan data yang utuh untuk membuktikanya.
Bagi Oppenheimer dan Koenraad , pendapat Peter Bellwood merupakan teori yang kontroversional dan gegabah. Namun bagi keduanya, ini semua bisa terjadi ketika iklim membantu merubah permukaan Es di utara mulai mencair, sebagai contoh: seiiring perubahan klimatologi bumi, seperti Gunung Toba meletus sekitar pertengahan antara 80.000 – 70.000 thn SM, suhu bumi pun meningkat, dari dokumen Oppenheimer tentang Kode Genetik “Real Eve Mitokondria” dalam “Journey of Mindkind -The real Eve” yang membahas penyebaran manusia di belahan bumi, menguatkan bahwa Teori Letusan ini disebut juga sebagai Letusan Gunung maha dahsyat ( Super Eruptions.red ) setara 200 kali lipat ledakan Atom Hiroshima hingga menciptakan musim panas yang berkabut selama 6 tahun dan merubah perwajahan 1/3 daratan Asia hingga India, Pakistan dan daerah sekitarnya sendiri terkubur debu letusan itu setinggi 5 meter, hal lain yang terjadi yaitu menyebabkan penduduk yang sanggup bertahan akibat letusan ini hanya 10.000 orang dari total seluruhnya yang mencapai 5 kali lipatnya. Sebagian merupakan penduduk yang berada jauh dari India dan sebagian lagi berada di daerah Tenggara Asia yaitu yang sekarang disebut wilayah kepulauan Nusantara.  Peneliti men padaebukan peristiwa diatas menyebabkan sebagian penduduk tiap wilayah bencana melakukan migrasi besar-besaran dengan jalan atau menggunakan perahu ke wilayah lain, yang lebih aman dan stabil tanahnya serta subur, kemudian setelah 6 tahun pasca letusan ini datanglah gelombang kedua para penduduk wilayah timur India ( Afrika-Jazirah Arab) dan wilayah barat India ( Semanjung Malaysa dan sebagian Nusantara) memasuki wilayah india yang baru, yang selanjutnya koenraadmenyebut manusia India modern, yang membawa sistem masyrakat dan kebudayaan yang lebih modern.
Berdasarkan bukti yang ditawarkan Oppenheimer-Koenraad ,dan dikuatkan oleh Aroyo Santos, dan dengan tuturan cerita Plato sangatlah mungkin bahwa Atlantis yang hilang kini telah berubah menjadi lautan – dan sebagian peninggalannya ada di Asia selatan dan Asia Tenggara, ataukah Nusantara ini yang dikatakan Plato sebagai Atlantis seperti logika Santos tentang peninggalan Republik yang berada dalam Zona Erupsi dari sabuk Pegunungan Berapi?
Bila kita melihat dari proses penyebaran penduduk ketika migrasi pertama berlangsung (Oppenheimer.red), mereka lakukan perjalanan melalui rute selatan sekitar daratan pantai dan dari kaki pegunungan bergerak hingga mencapai dan memasuki Wilayah Asia Tenggara . Di Nusantara pun banyak ditemukan bukti yang menguatkan teori diatas, dari mulai pembuktian teori DNA hingga Pemetaan Geologi, membuktikan bahwa masuknya penyebaran manusia di Nusantara ini mengikuti  garis  paparan daratan, yaitu paparan Sunda, mereka melakukan perjalanan lalu masuk ke semenanjung Thailand – Malaysia masuk ke  Aceh Utara ( masih berupa daratan kering.red) kemudian masuk ke Sumatera ( Summa-Terra.red) dan Selat Sunda sebagai pintu gerbang pun saat itu belum terbentuk masih ada gunung berapi Krakatau, maka  ini ke          pulau Jawa – Bali ( Madura dan Pulau bali masih bersatu sebagai kawasan yang kering bagian dari ujung Sundaland.red ), kemudian belok dan menyeberang ke Kalimantan, bergerak ke Utara memasuki kawasan Philipina dan Cina Selatan lalu bergerak ke utara dan ke Timur ke  Sulawesi. Ini semua terjadi kala Zaman Es belum mencair pada fase ketiga bahkan Sumatera dan Malaysa pun masih bersatu sebagai daratan yang subur menjadi bagian dari paparan Sunda yang masih kering. Namun hal lain yang perlu diketahui bahwa di wilayah ini merupakan kawasan yang subur ( tanah Aluvial.red) yang dipagari oleh deretan pegunungan berapi,Prof.Santos pun berfikir bahwa Indonesia menjadi contoh yang Ideal dari cerita Plato.dan Pasca Erupsi Toba  terjadi migrasi kedua yang dituntun perjalanan sebelumnya menuju tanah leluhur mereka menuju titik pertemuan ke India.Jadi jauh sebelum pelayaran bahari dilakukan para penduduk yang mengalami migrasi ini  melakukan perjalanannya melewati sepanjang sisi tepi garis pantai hingga kaki pegunungan  Paparan Sunda (100k – 80k BC ) dan barulah menyeberang ke Timur dan Tenggara Borneo kemudian masuk ke Paparan Sahul hingga terus masuk bergerak Australia ,PapuaNewguenea hingga kepulauan di tengah Samudra Pasifik
Di sisi lain, antara Teori Wallace dan Teori Kronologis Koenraad-Oppenheimer lalu  dikuatkan bukti-bukti yang ada membuktikan bahwa Nusantara lebih awal mengalami kemajuan sebagai bagian bangsa yang pertama memimpin revolusi kebudayaan dari masa Neolitikum, banyak bukti peninggalan itu hilang akibat bencana Vulkanik dan Tektonik di sepanjang wilayah ini. Jejak-jejak itu kini hanya terdiri dari kepingan-kepingan yang masih menyimpan misteri. Bagi Koenraad, peninggalan itu masih ada dalam sub kultur di wilayah ini, baik berupa pemahaman Mitologi, fable bahkan berupa Spirit yang yang menghidupkan Sub Kultur tersebut dalam ruangan metafisik ataupun non metafisik berupa sistem Astronomi dan Astrologi yang mewarnai Pola hidup bermasyarakat  , bagaikan puzzle-puzzle yang masih harus disusun ulang untuk rekontruksi kebudayaan neolitikum, para peneliti di bidang kajian ilmiah ini memulai dengan penemuan jejak paling dasar seperti reruntuhan vulkanologi seperti di P.Samosir kemudian jejak peninggalan kerajaan Kandish di kepulauan Riau, atau  Kota Tampa-di Malaysa dan seterusnya. Namun yang semestinya itu bisa ditemukan Artefak, itu sangatlah minim, banyak hilang karena bencana alam baik yang berupa vulkanik maupun tektonik karena wilayah ini ada dalam lintasan Pegunungan dan pergerakan Lempeng Tektonik dunia.Hanyapendekatan Ilmu Genetika rekontruksi puzzle itu coba disusun kembali.
Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): “Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.” ( Al-an’aam 63 )


( bersambung : Bencana dan Keseimbangan Alam ? )
Lanjutan Bagian III
Bencana dan Prinsip Keseimbangan Alam?
Disusun : Bagus Soetrama ST,Dipl.Aud.Eng
Seperti logika Koenraad dalam review buku Eden of The East bahwa bangsa yang awal tinggal di wilayah Paparan Sunda ini dahulunya adalah bangsa yang memimpin Revolusi kebudayaan Neolitikum. Sejak masa zaman es mulai mencair dan peristiwa rentetan Gunung berapi  meletus kini wilayah paparan ini telah berubah menjadi wilayah yang terbagi menjadi kepulauan di daerah Selatan dan Tenggara dan daratan di timur laut  yang berupa wilayah yang luas membentang hingga ke Cina dan utara Mongolia (Asia Tengah),dan sebelah barat Sumatera kini menjadi semenjung yang kini disebut India , Srilangka dan Bangladesh. Lalu di utaranya yaitu Pakistan. Wilayah-wilayah inilah yang di petakan oleh Oppenheimer sebagai wilayah reruntuhan benua yang hilang ,yang disebutnya sebagai bagian Eden of The East. Logika Santos mengatakan, letak Atlantis berada dalam lintasan Gunung Berapi dan tanahnya adalah tanah Aluvial yang subur,Indonesia menjadi pilihan idealnya, ini wilayah-wilayah pemetaan dari peninggalan Benua Atlantis yang hilang , seperti kata Plato dan itu semua perlu dibuktikan kebenarannya.
Kini Indonesia tengah memasuki siklus berikutnya di dalam jam Peta Geologi Dunia, sejak longsornya patahan bumi yang berada di Ujung Aceh , kemudian bergerak kearah Tenggara dan Selatan hingga berupa gempa-gempa tektonik yang terjadi di sepanjang wilayah Sumatera dan Jawa yang mencapai di kepulauan NusaTenggara dan Sulawesi. Serta rentetan Gunung Berapi di Indonesia yang telah aktif dan kini sebagian telah Erupsi ( kita bisa sebutkan berapa Gunung Berapi di Indonesia yang meletus dalam 10 tahun  terakhir ?). Semua ini bagi penulis  merupakan Tarikh Geologi Bumi , kenyataannya Indonesia berada didalamnya. Dengan kenyataan ini, sudah semestinya kita sebagai bangsa yang tinggal di “wilayah rawan” ini mempersiapkan segala bentuk kemungkinan tentang keberadaan pentingnya Sistem Kewaspadaan Nasional ( National Earliy Warning System ) terhadap semua kemungkinan bencana yang mungkin terjadi khususnya bencana alam, serta memberikan penyadaran dengan membangun kesiapan penduduk di tiap wilayah rawan bencana guna menghadapi siklus ini. Disisi lain, sangat disayangkan sistem pengelolaan bencana ini bak seperti mengadakan event / acara dadakan atau acara kendurian yang sifatnya menanggulangi . Tidak ada sistem terpadu secara profesional baik lini pemerintahan daerah ataupun pusat , hanya dengan menunggu skala bencana ini “statusnya naik” (parameternya perlu dikaji) maka itu dapat dikatakan sebagai bencana tanpa ada penjelasan yang mendasar kepada penduduk setempat tentang rawan bencana dan instrument pemberitahuan. Pada kenyataannya, sekecil apapun musibah yang terjadi pada anak bangsa ini merupakan tanggungjawab bersama dari seluruh element yang terkait di NKRI,mulai dari masyarakat terbawah yaitu keluarga hingga ke level lebih tinggi masyrakat daerah, sistem peringatanpun meenjafi tidak efektif ketika tiap individu penduduk tersebut tidak memahami Informasi peringatan tersebut,bahkan pemerintahan setempat ataupun pusat terkadang seperti menunggu korban berjatuhan dan kerugian yang besar bahkan kerusakan yang lebih parah namun tanpa antisipasi-penanganan-perlindungan mengenai keselamatan yang diperlukan secara terintegrasi,bagaikan benat kusut birokrasi yang tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah dalam mengambil keputusan tentang peristiwa bencana alam; sebagai illustrasi penulis mencontohkan; adanya gerakan moral seperti  “Gerakan Kesadaran Bencana Nasional” dari seluruh element bangsa ini.
Kejadian “gerak-tekanan” Tektonik- Vulkanik di Indonesia yang terjadi pada akhir-akhir ini, wilayah Bumi Nusantara telah memasuki Era Siklus Geologi . Tanpa harus mengurangi rasa hormat dan bukan semata-mata pembahasan masalah yang sifatnya Mitologi Tradisonal, Cerita Fabel dan lain-lain, bahkan tentang adanya Atlantis di Indonesia. Kenyataannya kini bangsa Indonesia dituntut untuk menjelma sebagai bangsa yang dinamis dan menghendaki kemajuan tehnologi sebagai modal persiapan bagi anak cucu di masa depan, karena kelak mereka ini  harus lebih siap dan waspada terhadap apa yang disadarinya sebagai mahluk hidup yang berdampingan dengan alam sekitarnya, dengan keramahan serta kearifan local genus itu ada dalam pandangan hidup di setiap sub-kultur bangsa ini.
Bukan sebagai bencana karena kemarahan Tuhan Yang Maha Kuasa  semata, namun perlu disadari bahwa alam sedang berubah dan tetap akan pegang dan memenuhi janji “Prinsip Keseimbangan” nya, walau saat ini keseimbangan itu bagi sebagian kalangan dipahami sebagai bencana, bahkan mungkin sebelumnya dianggap sebagai mitos kutukan, itu karena informasi Ilmu pengetahuan yang terbatas. Bahkan kini berhadapan dengan ketidakperdulian kita pada lingkungan dan menjelma sebagai “gurita” yang menakutkan yang semuanya itu semua adalah  Bencana Prilaku,  pun bencana tidak seutuhnya karena “Siklus” lagi, campur tangan manusia ikut berperan mempercepat peristiwa Global Warming itu terjadi , seperti: banjir, longsor dll,  “Sesungguhnya Allah tidak berbuat dzalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat dzalim kepada diri mereka sendiri”.(Yunus :44) dan “Judgement day” tidak bisa dikatakan lagi  sebagai kemarahan Alam tapi memang hasil prilaku bumi serta seisinya, termasuk manusia sebagai subjek pelaku yang mendominasi dan bumi yang dijadikan sebagai objek keserakahan, kini bumi hendak mencapai keseimbangan berikutnya sedang “bersabda” ataupun ini akan menjadi musnah seperti yang dikatakan sebagai saksi ataupun reruntuhan sejarah.
Apapun itu, sudut pandang ilmu pengetahuan modern dan ke-arifan kultur tentu menjadi perangkat yang ideal bagi generasi masa datang, bila saat ini kita sebagai anak suku bangsa ataupun sub kultur yang selamat dari keseimbangan alam sebelumnya   ( masa Jurassic, banjir besar dan pergerakan lempeng tektonik dunia dll ) sudah semestinya melakukan persiapan untuk menghadapi keseimbangan alam berikutnya, walau dengan berbagai resiko dan tantangan yang akan dihadapi.  Bangsa Indonesia ini tengah terus dihadapkan kenyataan-kenyataan tentang fenomena gejala  alam, baik katagori bencana alam ataupun bukan, ataukah Indonesia sebagai mutiara dari khatulistiwa akan tenggelam dan hilang seperti keberadaan Atlantis dalam cerita Plato ?
bahkan musnah dan tenggelam ditelan bumi seperti Eden of The East ungkapOppenheimer?. Tentulah ini bukan sekedar jawaban namun pekerjaan rumah yang harus kita pikirkan dan kerjakan bersama-sama, tidak esok hari,  tapi segera.
“Jika Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.” An-Nahl 61
Bagus Soetrama.
Catatan : Dengan segala kerendahan hati,saya ucapkan terimakasih atas sudut pandang dari para narasumber yang tidak bisa semuanya saya sebutkan satu persatu, bagi penulis semuanya adalah “TreasureOf The Greatbrave Man” dan mohon izin untuk menjadi cuplikan yang disampaikan kembali sebagai kebijakan kalimat dalam sebuah tulisan ini, kesemuanya itu akan  tetap menjadikan bukan karya tersendiri namun sebagai karya yang utuh sebagai pesan terdahulu bangsa besar kepada anak cucunya.
References
Koenraad Elst Institute: Site Indologi Koenraad elst  http://koenraadelst.bharatvani.org
Stephen Oppenheimer; Journey Of Mindkind,Bradshaw Foundations.com ; Eden Of The east ; (Phoenix, London 1999 (1998))
Plato; Timeus and critias ;Royal British Library, Google book
Ariyo Santos ,Prof ; Atlantis Lost Continent Finally Found

Artikel “Jejak Atlantis, Taprobane, dan Avatar Indonesia”,  Oleh: Oki Oktariadi dan Oman Abdurahman (Badan Geologi Bandung)


Jurnal Prof. Dr. R.P.Koesoemadinata ASAL USUL DAN PRA SEJARAH KI SUNDA;Oleh Gurubesar Emeritus Geologi;Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian;  Institut Teknologi Bandung

Stratigrafi gunung api daerah Bandung Selatan, Jawa Barat SUTIKNO BRONTO, ACHNAN KOSWARA, dan KASPAR LUMBANBATU, Jurnal  1 volume 2 – Pusat Survei Geologi, 2006)

Nusantara,Sejarah Indonesia; Bernard van dyke,1939; KPG- 2006

Anderson S, Bankier AT, Barrell BG, De Bruijn MHL, Coulson AR, Drouin J, Eperon IC, Nierlich D, Roe B, Sanger F, Schreier P, Smith A, Staden R, Young I (1981) Sequence and organization of the human mitochondrial genome. Nature 290:457–465 [PubMed]
Bamshad M, Kivisild T, Watkins WS, Dixon ME, Ricker CE, Rao BB, Naidu JM, Prasad BVR, Reddy PG, Rasanayagam A, Papiha SS, Villems R, Redd AJ, Hammer MF, Nguyen SV, Carroll ML, Batzer MA, Jorde LB (2001) Genetic evidence on the origins of Indian castetropic populations. Genome Res 11:994–1004 [PMC free article] [PubMed]
Barbujani G, Bertorelle, G, Chikhi L (1998) Evidence for Paleolithic and Neolithic gene flow in Europe. Am J Hum Genet 62:488–491 [PMC free article] [PubMed]
Cavalli-Sforza LL, Menozzi P, Piazza A (1994) History and geography of human genes. Princeton University Press, Princeton, NJ.
Cordaux R, Saha N, Bentley GR, Aunger R, Sirajuddin SM, Stoneking M (2003) Mitochondrial DNA analysis reveals diverse histories of tribal populations from India. Eur J Hum Genet 11:253-264 [PubMed]
Endicott P, Gilbert MTP, Stringer C, Lalueza-Fox C, Willerslev E, Hansen AJ, Cooper A (2003) The genetic origins of Andaman Islanders. Am J Hum Genet 72:178–184 [PMC free article] [PubMed]
Forster P, Torroni A, Renfrew C, Röhl A (2001) Phylogenetic star contraction applied to Asian and Papuan mtDNA evolution. Mol Biol Evol 18:1864–1881 [PubMed]
Harpending HC, Sherry ST, Rogers AR, Stoneking M (1993) The genetic structure of ancient human populations. Curr Anthropol 34:483–496.
Kivisild T, Bamshad MJ, Kaldma K, Metspalu E, Reidla M, Laos S, Parik J, Watkins WS, Dixon ME, Papiha SS, Mastana SS, Mir MR, Ferak V, Villems R (1999a) Deep common ancestry of Indian and western-Eurasian mitochondrial DNA lineages. Curr Biol 9:1331–1334 [PubMed]
Kivisild T, Kaldma K, Metspalu M, Parik J, Papiha S, Villems R (1999b) The place of the Indian mitochondrial variants in the global network of maternal lineages and the peopling of the old world. In: Papiha SS, Deka R, Chakraborty R (eds) Genomic diversity: applications in human population genetics. Kluwer Academic/Plenum Publishers, New York, pp 135–152.
Misra VN (2001) Prehistoric human colonization of India. J Biosci 26:491–531 [PubMed]
Quintana-Murci L, Semino O, Bandelt H-J, Passarino G, McElreavey K, Santachiara-Benerecetti AS (1999) Genetic evidence on an early exit of Homo sapiens sapiens from Africa through eastern Africa. Nat Genet 23:437–441 [PubMed]
Redd AJ, Roberts-Thomson J, Karafet T, Bamshad M, Jorde LB, Naidu JM, Walsh B and Hammer MF (2002) Gene flow from the Indian subcontinent to Australia: evidence from the Y chromosome. Curr Biol 12:673–677 [PubMed]
Richards M, Macaulay V, Hickey E, Vega E, Sykes B, Guida V, Rengo C, et al (2000) Tracing European founder lineages in the Near Eastern mtDNA pool. Am J Hum Genet 67:1251–1276 [PMC free article] [PubMed]
Stoneking M, Fontius JJ, Clifford SL, Soodyall H, Arcot SS, Saha N, Jenkins T, Tahir MA, Deininger PL, Batzer MA (1997) Alu insertion polymorphisms and human evolution: evidence for a larger population size in Africa. Genome Res 7:1061–1071 [PMC free article] [PubMed]
Stringer CB, Andrews P (1988) Genetic and fossil evidence for the origin of modern humans. Science 239:1263–1268 [PubMed]
Thangaraj K, Singh L, Reddy AG, Rao VR, Sehgal SC, Underhill PA, Pierson M, Frame IG, Hagelberg E (2003) Genetic affinities of the Andaman Islanders, a vanishing human population. Curr Biol 13:86–93 [PubMed]
Underhill PA, Shen P, Lin AA, Jin L, Passarino G, Yang WH, Kauffman E, Bonné-Tamir B, Bertranpetit J, Francalacci P, Ibrahim M, Jenkins T, Kidd JR, Mehdi SQ, Seielstad MT, Spencer Wells R, Piazza A, Davis RW, Feldman MW, Cavalli-Sforza LL, Oefner PJ (2000) Y chromosome sequence variation and the history of human populations. Nat Genet 26:358–361 [PubMed]

Sumber:
http://sandiasma.wordpress.com/2010/12/12/bagian-i-%E2%80%9Cbetulkah-indonesia-adalah-reruntuhan-atlantis-yang-hilang%E2%80%9D/


No comments:

Post a Comment