Jejak Atlantis, Taprobane, dan Avatar Indonesia
Oleh: Oki Oktariadi dan Oman Abdurahman (Badan Geologi Bandung)
Sering
kita mendengar atau menikmati berbagai kisah serba “konon” tentang
Atlantis, seakan mendengar cerita antah berantah atau layaknya dongeng
pengantar tidur. Jarang dari kita yang tahu bahwa cerita Atlantis itu
berasal dari Plato (428 SM – 348 SM) hampir dua ribu lima ratus tahun
yang silam dalam bukunya Timaeus and Critias. Sejak ratusan tahun yang
lalu hingga pertengahan abad 20 M, orang-orang di luar Indonesia yang
terobsesi dengan kisah Plato itu hidup dalam “dunia konon”, berteori
tentang benua yang hilang; mulai dari Bacon di pertengahan abad 17 M
hingga Himmler, Ilmuwan Nazi, pada tahun 1939.
Buku Plato: CRITIAS & Timaeus
Francis Bacon tahun 1627 dalam novelnya,
The New Atlantis (Atlantis Baru), mendeskripsikan komunitas utopia yang
disebut Bensalem, terdapat di pantai barat Amerika. Karakter tempat
dalam novel ini memberikan lukisan tentang Atlantis yang mirip dengan
catatan Plato, namun tidak dijelaskan Bacon apakah pantai barat Amerika
itu berada di Amerika Utara atau di Amerika Selatan.
Novel Isaac Newton tahun 1728, The
Chronology of the Ancient Kingdoms Amended (Kronologi Kerajaan Kuno yang
Berkembang), mempelajari berbagai hubungan mitologi dengan Atlantis.
Pada pertengahan dan akhir abad ke-19, beberapa sarjana Mesoamerika,
dimulai dari Charles Etienne Brasseur de Bourbourg, dan termasuk Edward
Herbert Thompson dan Augustus Le Plongeon, menyatakan bahwa Atlantis
berhubungan dengan peradaban Maya dan Aztek. Alexander Braghine tahun
1940 yang terpesona dengan cerita Atlantis dan menelusurinya melalui
budaya Amerika Selatan, Eropa, Asia dan Afrika. Francesco Lopez de
Gomara berani menyatakan Atlantis terletak di Amerika. Konsep Atlantis
juga menarik perhatian ilmuwan Nazi untuk mengembangkan ide nasionalis.
Pada tahun 1938, Heinrich Himmler mengorganisir sebuah pencarian di
Tibet untuk menemukan sisa bangsa Atlantis putih. Menurut Julius Evola
(Revolt Against the Modern World, 1934), bangsa Atlantis adalah manusia
super atau Übermensch Hyperborea—Nordik yang berasal dari Kutub Utara.
Dalam kaitan ini disebut-sebut pula Alfred Rosenberg (The Myth of the
Twentieth Century, 1930) yang berbicara juga mengenai kepala ras
“Nordik-Atlantis” atau “Arya-Nordik”.
http://gunungtoba2014.blogspot.com
Sejak Donnelly (1882) mempublikasikan
Atlantis: the Antediluvian World, terdapat lusinan – bahkan ratusan –
usulan lokasi Atlantis yang katanya berdasarkan hasil penelitian
arkeologi, fisika, geologi, bahasa, dan keilmuan lainnya. Dari sekian
banyak usulan beberapa yang terkenal berada di wilayah Eropa, Selat
Gibraltar, dan sekitar Laut Hitam. Di wilayah Eropa kebanyakan lokasi
yang diusulkan sebagai Atlantis itu berada pulau-pulau di Laut Tengah,
yaitu: Sardinia, Kreta dan Santorini, Sisilia, Siprus, Malta, dan
Kepulauan Canary di sekitar selat Gibraltar. Ada juga usualan yang
berupa kota seperti: Troya, Tartessos, dan Tantalus (di provinsi
Manisa), Turki; dan wilayah antara Israel-Sinai atau Kanaan. Di wilayah
Eropa Utara, yaitu pulau pulau yang tenggelam di sekitar Swedia dan
Irlandia juga dinyatakan sebagai Benua Atlantis yang hilang. Di selat
Gibraltar-Samudera Atlantik usulan lokasi Atlantis itu adalah wilayah
sekitar Kepulauan Azores dan Pulau Spartel yang telah tenggelam itu.
Adapun di sekitar Laut Hitam, daerah yang diduga sebagai Atlantis adalah
Bosporus, Ancomah, dan sekitar Laut Azov.
Argumentasi pengusulan lokasi-lokasi
tadi sebagai Atlantis pada umumnya didasarkan pada Sejarah Yunani Kuno,
Kemajuan Bangsa Eropa masa kini, dan secara fisik pada Letusan besar
Gunung Thera abad ke-17 atau ke-16 SM yang menyebabkan tsunami besar
yang diduga menghancurkan peradaban Minoa di sekitar pulau Kreta. Para
ahli Eropa beranggapan bencana seperti itu mungkin juga terjadi pada
masa lalu yang menghancurkan Benua Atlantis. Argumen lain adalah
kemampuan migrasi suatu bangsa ke berbagai belahan dunia terutama ke
Benua Amerika, sebagaimana bangsa Viking untuk argumen pengusulan Eropa
Utara sebagai Atlantis.
Atlantis, Trapobane, dan Sundaland: Eksplorasi temuan Santos
Dari
sejumlah usulan yang ada tentang lokasi Atlantis nyatanya sampai kini
belum ada yang berhasil dibuktikan sebagai bekas benua Atlantis yang
sesungguhnya, walaupun lokasi-lokasi usulan tersebut memiliki kemiripan
karakteristik dengan kisah Atlantis, misal: adanya bencana besar,
pulau-pulau yang hilang, dan periode waktu yang relevan. Namun,
tiba-tiba pada tahun 2005 muncul seorang saintis Brazil bernama Arysio
Santos yang – setelah melakukan penelitian mendalam tentang benua-benua
yang hilang – menyatakan bahwa “Atlantis: Benua yang hilang itu sudah
ditemukan” (Atlantis: the Lost Continent Finally is Found).
Sebab kitapun mungkin akan tersentak, penelitian selama 30 tahun itu
bermuara pada kesimpulan bahwa benua Atlantis yang hilang itu tenggelam
di wilayah Indonesia, yaitu di Sundaland, hingga hanya menyisakan
puncak-puncak yang membentuk pulau-pulau dalam sabuk gunung api.
Kesimpulan tersebut berawal dari
keyakinan Prof. Santos-saintis Brazil itu – bahwa “Pilar-pilar Herkules”
sebagai Selat Sunda; dan Taprobane sebagai “Benua Atlantis” pada zaman
es (Pleistosen) atau sebagai “Pulau Sumatera” pada akhir zaman es
(Holosen). “Pilar-pilar Herkules” dan ”Taprobane” adalah dua diantara
ciri-ciri Atlantis yang hilang yang diceritakan oleh Plato. Menurut
Santos, Taprobane adalah Sundaland yang dikisahkan kaya dengan emas,
batuan mulia, dan beragam binatang termasuk gajah. Kita tahu, Sundaland
adalah wilayah yang meliputi Indonesia bagian Barat sekarang, yaitu
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya,
termasuk laut-laut di antaranya; atau sebagian besar wilayah Asia
Tenggara saat ini.
Di Taprobane inilah, kata Santos,
terdapat Kota Langka, ibukota kerajaan Atlantis. Langka dianggap sebagai
lokasi awal Meridian 00 yang tepat berada di atas pusat Sumatera
sekarang. Tradisi Yunani tentang pulau Taprobane sebenarnya merujuk
kepada tradisi Hindu. Taprobane dalam tradisi Hindu adalah benua yang
tenggelam yang merupakan tempat dari mana bangsa Dravida berasal dan
berada di khatulistiwa. Nama “Taprobana Insula” dipopulerkan oleh
Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad 2 M. Ptolemaios menulis
bahwa di pulau Taprobane terdapat negeri Barousai yang – menurut Santos –
kini dikenal sebagai kota Barus di pantai barat Sumatera. Kota Barus
terkenal sejak zaman purba (Fir’aun) sebagai penghasil kapur barus.
Namur demikian, serta merta banyak penolakan terhadap pendapat Santos
tersebut.
Penolakan terhadap argumentasi Santos
pada mulanya adalah suatu keniscayaan karena sangat berjarak dengan
alam pikiran umumnya manusia Indonesia. Hal ini didukung pula oleh
fakta bahwa
- Sundaland sebagai benua Atlantis yang hilang. Sumber gambar dari: http://karangsambung.lipi.go.id/?p=651
Menunjukkan penyebaran populasi yang bersamaan dengan naiknya muka laut di wilayah Sundaland. Sumber : http://www.pinoyexchange.com/forums/sho…41080845.21
hampir semua tulisan tentang sejarah
peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. Artinya
kebudayaan Indonesia tumbuh subur berkembang hanya karena imbas
migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban
lain. Karena itu pula wajar jika banyak geolog Indonesia dengan serta
merta menolak pendapat Santos, selain ada pula yang menerimanya.
Sayangnya penolakan dan penerimaan hipotesis Santos tersebut dilakukan
tanpa argumentasi sesuai proses ilmiah yang benar yang dipublikasikan
melalui majalah atau jurnal ilmiah terakreditasi di masing-masing
lingkungan keilmuaannya. Lain halnya para peneliti Eropa dan Amerika
yang selalu memberikan respon melalui jurnal ilmiah, konfrensi, atau
simposium internasional sehingga data dan argumentasi yang diajukannya
dapat teruji secara ilmiah.
Penelitian DNA Oppenheimer mendukung Santos
Argumentasi
Santos masih memerlukan verifikasi dan validasi, baik keseluruhannya
maupun masing-masing indikatornya. Salah satu validasi data yang dapat
digunakan untuk membuktikan hipotesis Santos datang dari Stephen
Oppenheimer, seorang dokter ahli genetik yang belajar banyak tentang
sejarah peradaban. Oppenheimer sependapat dengan Santos bahwa kawasan
Asia Tenggara adalah tempat cikal bakal peradaban kuno dan bahwa
Atlantis yang hilang itu itu berada di Sundaland. Menurutnya,
kemunculan peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina
justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara akibat
berakhirnya Zaman Es. Bagi peneliti lain pendapat Oppenheimer
sepertinya kontroversial, padahal, tesisnya sarat didukung oleh data
yang diramu dari hasil kajian arkeologi, etnografi, linguistik,
geologi, maupun genetika. Oppenheimer membutuhkan waktu 10 tahun untuk
menghasilkan sebuah buku berjudul “Eden in the East,
the Drowned Continent of Southeast Asia” yang memuat argumentasi bahwa
Atlantis yang hilang itu adalah Sundaland. Kekuatan argumen
Oppenheimer terletak pada hasil penelitian DNA yang menentang teori
konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara sekarang (Filipina,
Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 tahun yang lalu (zaman
Neolithikum).
Salah satu sanggahan terhadap Oppenheimer datang dari para ahli bidang mitologi (Association for Comparative Mythology)
dalam sebuah konferensi internasional yang berlangsung di Edinburgh
28-30 Agustus 2007. Tema konferensi internasional tersebut adalah ”A
new Paradise myth? An Assessment of Stephen Oppenheimer’s Thesis of
the South East Asian Origin of West Asian Core Myths, Including Most of
the Mythological Contents of Genesis 1-11”. Binsbergen salah
seorang pemakalah dalam konferensi itu menyanggah Oppenheimer dengan
argumentasi yang juga berdasarkan complementary archaeological,
linguistic, genetic, ethnographic, dan comparative mythological
perspectives. Menurut Binsbergen, Oppenheimer hanya mendasarkan
Sundaland yang ia hipotesiskan sebagai prototip mitologi Asia Tenggara
atau Oseania hanya berdasarkan mitologi Asia Barat (Taman Firdaus, Adam
dan Hawa, kejatuhan manusia dalam dosa, Kail dan Habil, Banjir Besar,
Menara Babel).
Namun bantahan Binsbergen ini dipatahkan
kembali oleh Richards et al., (2008) yang menulis makalah pada sebuah
jurnal berjudul “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia”.
Richards menunjukkan bahwa penduduk Taiwan justru berasal dari
Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland. Demikian
pula ciri garis-garis DNA menunjukkan migrasi ke Taiwan pada arah
utara, ke New Guinea dan Pasifik pada arah timur, dan ke daratan utama
Asia yang di mulai pada 10.000 SM. Menunjukkan penyebaran populasi yang bersamaan dengan naiknya muka laut di wilayah Sundaland.
Dukungan lainnya terhadap Oppenheimer muncul berdasarkan hasil penelitiannya Soares et al., (2008) pada jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah berjudul: “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia”.
Soares et al.menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting
dalam salah satu bagian dari DNA, yaitu mitokondria, berevolusi selama
35.000 tahun terakhir dan secara dramatik tiba-tiba pada awal Holosen
menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara, bersamaan dengan
tenggelamnya Sundaland menjadi lautan. Komponen tersebut mencapai
Taiwan dan Oseania lebih baru lagi, yaitu sekitar 8.000 tahun yang
lalu. Ini membuktikan bahwa global warning dan sea-level rises pada
ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu merupakan penggerak utama
human diversity di wilayah ini.
Pendapat Oppenheimer dan ahli-ahli yang
dapat dianggap mendukungnya, telah memperkuat argumentasi Santos dan
memperjelas penemuan berbagai artefak yang penuh misteri seperti
penemuan keris di sebuah kuil purba di Okinawa Jepang, penemuan keris
purba di Rusia, kendi purba di Vietnam, Kemboja, dan Pahang; gendang
Dong Son dan Kapak Tua Asia Tengah, dan penemuan kota purba yang
dinamakan Jawi atau Jawa di Jordania.
Pada gambar menunjukkan para
arkeolog sedang memperkirakan usia kota purba Jawa di Yordania dengan
metode karbon. Hasilnya menunjukkan kota purba tersebut berumur 4000 SM.
Demikian pula pahatan gambar sepasang kerbau atau seorang pria dengan
tanduk kerbau muncul juga dalam ikonografi dari Sumeria. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kerbau di Sumeria adalah jenis kerbau
rawa-rawa Asia. Situs arkeologi kerbau Sumeria tersebut berumur 3000 SM.
Seekor kerbau atau seorang pria sedang
dengan tanduk kerbau dalam ikonografi dari Sumeria.(3rd millennium BC)
Kerbau tersebut diidentifikasi berasal dari Asia Tenggara. Sumber: http://asiapacificuniverse.com/pkm/swampbuf.jpg
Selain itu, berdasarkan hasil test DNA
dapat terjawab pula misteri asal usul bahasa Austronesia. Semula, bahasa
Austronesia diduga berasal dari Taiwan, namun dengan bukti-bukti dari
hasil riset DNA itu justru sebaliknya bahwa bahasa Austronesia pun
berasal dari Sundaland dan dapat diduga pula sebagai bahasa dari bangsa
Atlantis atau Taprobane. Kita ketahui bahwa sebelum 1500 SM bahasa
Austronesia termasuk salah satu keluarga bahasa yang paling banyak
tersebar di dunia dengan tingkat penyebaran lebih dari setengah jarak
keliling dunia, yaitu dari Madagaskar ke Kepulauan Easter. Sekarang,
kelompok penutur bahasa Austronesia adalah hampir atau semua populasi
asli Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Madagaskar juga dapat ditemukan
di Taiwan, di bagian selatan Vietnam dan Kamboja, Kepulauan Mergui,
Kepulauan Hainan di selatan Cina.
Lebih jauh ke arah timur, bahasa
Austrronesia pun dituturkan di beberapa wilayah pantai di Papua Nugini,
New Britain, New Ireland, dan di bagian rantai Kepulauan Melanesian
yang melewati Kepulauan Solomon dan Vanuatu; juga New Caledonia dan
Fiji serta mencakup semua bahasa Polinesia. Penyebaran bahasa
Austronesia kea rah utara mencakup semua bahasa Mikronesia. Sekitar dua
juta penutur bahasa Austronesia hidup di daerah garis barat yang
ditarik dari utara ke selatan sekitar 130º garis bujur timur, memanjang
dari arah barat Kepulauan Caroline ke arah timur Bird’s Head di Pulau
New Guinea dan berhubungan erat dengan lebih dari 500 bahasa pada sisi
garis pembagi 130º garis bujur timur.
Diperkirakan terdapat antara 1.000
sampai 1.200 varian bahasa Austronesia, berdasarkan kriteria bahasa yang
membedakannya lebih jauh dan dialek. Bahasa-bahasa ini dituturkan oleh
sekitar 270 juta orang dengan persebaran yang benar-benar tidak
merata. Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut
kelompok masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang
merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global.
Dengan kemampuannya tersebut, sangat beralasan jika
Menunjukkan para arkeolog sedang memperkirakan usia kota purba Jawa di Yordania dengan metode karbon.
para ahli bahasa beranggapan bahwa Bangsa
Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti
bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut dalam “mitos” Plato. Lebih
jauh lagi, berbagai penelusuran di atas ternyata segala mitos dan
tradisi-tradisi suci pada semua bangsa di seluruh dunia, semuanya menuju
ke suatu daerah, yaitu kawasan tempat asal mula Bangsa Austronesia
sebagai dataran-dataran rendah Atlantis Eden yang sekarang tenggelam
berada di bawah permukaan laut.
Kalau memang Atlantis (Taprobane) benar
berada di Sundaland, maka bangsa Austronesia itu tidak lain adalah
Bangsa Atlantis dan diduga memiliki kekuasaan tidak hanya di Sundaland,
tetapi meliputi pula wilayah luas sesuai dengan pola penyebaran bahasa
Austronesia. Pengaruh lebih luas terjadi ketika zaman es berakhir yang
ditandai dengan tenggelamnya ‘benua Atlantis’, ketika bangsa
Austronesia menyebar ke berbagai penjuru dunia. Mereka lalu menciptakan
keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya
dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau.
Salah satu contoh penyebaran bangsa
Austronesia ke seluruh dunia yang dibuktikan secara genetik adalah
keberadaan suku Zanj – termasuk orang-orang Malagasi – yang merupakan
ras Afro-Indonesia yang menetap di Afrika Timur sebelum kedatangan
pengaruh Arab atas Swahili. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan hasil
test kromosom cDe orang Malagasi yang menunjukkan 62% gen Afrika dan 38%
gen Indonesia, sementara kromosom cDe pada umumnya disana menunjukkan
67% gen Afrika dan 33% gen Indonesia. Suku Zanj umumnya mendominasi
pantai timur Afrika hampir sepanjang millennium pertama masehi. Kata
Zanj merupakan asal dari nama bangsa Azania, Zanzibar dan Tanzania. Ada
dugaan yang mengarahkan kesamaan Zanj Afrika dengan Zanaj atau Zabag di
Sumatera. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Atlantis Sundaland dan Budaya Maritim
Alat transportasi laut (kapal purba )
ada di relief candi Borobudur.Diduga kapal tersebut pernah mendominasi
perdagangan pada masanya.
Sejak 5000 tahun sebelum Masehi hingga
awal Masehi, bangsa Atlantis yang tersisa mengalami perubahan orientasi
budaya dari budaya kontinental menjadi budaya maritim, yaitu budaya
yang lebih terbuka dan toleran sehingga mudah menyesuaikan diri dengan
wilayah samudera lainnya. Budaya maritin pada saat itu dikenal sebagai
pelaut Nusantara. Hipotesis di atas juga diperkuat oleh Dick-Read
(2008) dalam bukunya yang berjudul “Penjelajah Bahari”. Hasil
penelusurannya menemukan bukti-bukti mutakhir bahwa pelaut Nusantara
pada awal tahun Masehi telah menaklukkan samudra Hindia dan berlayar
sampai Afrika jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai
penjelajahan bahari mereka. Antara abad ke-5 dan ke-7 M, kapal-kapal
Nusantara banyak mendominasi pelayaran dagang di Asia. Pada waktu itu
perdagangan bangsa Cina banyak bergantung pada jasa para pelaut
Nusantara. Adalah fakta bahwa perkapalan Cina ternyata banyak
mengadopsi teknologi dari Indonesia, sebagai contoh: kapal Jung.
Demikian pula nelayan Madagaskar dan pesisir Afrika Timur banyak
menggunakan Kano, sejenis perahu yang mempunyai penyeimbang di
kanan-kiri, yang mirip perahu khas Asia timur.
Hasil penelitian Dick-Read kian
memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut Indonesia pada masa
pasca zaman Es atau masa akhir keberadaan Atlantis. Bukti-bukti mutakhir
tentang penjelajahan pelaut Indonesia di abad ke-5 M dari Dick-Read
makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500
tahun yang lalu nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati.
Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama
kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam
perdagangan di Mediterania.
Banyaknya jejak kebudayaan di seluruh
Afrika seperti adanya keterkaitan antara kebudayaan suku Bajo dan Mandar
di Sulawesi dengan Suku Bajun dan Manda di pesisir Afrika Timur. Bukti
lain pengaruh Indonesia terhadap perkembangan Afrika adalah banyaknya
kesamaan alat-alat musik dengan yang ada di Nusantara. Di sana,
ditemukan sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal
sebagai Gambang dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan
alat musik khas Nusantara. Malahan gambang ditemukan di Sierra Lions
letak sebuah negara di wilayah pesisir
Peta Klasifikasi Bahasa Austronesia berdasarkan Wilayahnya Afrika
Barat. Selain itu juga adanya kesamaan pada seni pahat patung milik
suku Ife di Nigeria dengan patung dan relief perahu yang ada di
Borobudur.
Ikonik Atlantis di bumi Indonesia
Penelusuran jejak Atlantis di Indonesia
saya kira cukup memberikan gambaran atau alasan untuk melakukan
pembenaran bahwa Atlantis yang hilang itu terletak di kawasan Indonesia,
walaupun masih banyak jejak-jejak yang perlu ditelusuri dan diungkap
sebagai bukti atau fakta-fakta yang menguatkan. Fenomena Atlantis di
Indonesia nyatanya telah mempengaruhi pola fikir arkelog kita dalam
melakukan penilaian dan pengungkapan berbagai artefak baru, seperti
hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus Aris Munandar Dosen Departemen
Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ia menduga bahwa
di lereng Gunung Dempo Sumatera Selatan – yang dikemukakan Santos
sebagai salah satu puncak gunung Atlantis – terdapat situs prasejarah
yang kronologinya dapat lebih tua dari kebudayaan perunggu Dong-son yang
berumur 300 SM. Situs itu adalah Pasemah yang berumur 3.000 SM.
“Pasemah Warrior” dari wilayah Pasemah, Gunung Dempo. Sumber : Munandar, dkk.
Disebut “Pasemah Warrior” karena berada
di wilayah Pasemah, Gunung Dempo, yang menunjukkan pria dengan busana
warrior (pahlawan). Sebuah ikon yang tidak dikenal dalam kebudayaan
prasejarah manapun, baik di Asia Tenggara, Cina, ataupun India.
Sementara itu sejumlah topeng perunggu dari Goa Made Jombang Jawa Timur
memperlihatkan topi perang yang tidak pernah dikenali dalam kebudayaan
prasejarah di Asia atau pun dunia. Agaknya topeng itu merupakan topi
logam pelindung kepala dengan dilengkapi bagian yang mencuat di puncak
kepalanya. Kronologi akurat menyimpulkan bahwa benda-benda perunggu itu
ada yang berasal dari tahun 3000 SM. Demikian pula arca-arca pilar di
Lembah Bada Sulawesi Tengah sebenarnya juga menggambarkan topeng yang
wajahnya mirip dengan topeng-topeng perunggu di Goa Made, wajah asing
yang bukan Malayan-Mongoloid.
Arca-arca pilar di Lembah Bada Sulawesi Tengah.
Ketiga lokasi artefak tersebut
(Pasemah-Gunung Dempo, Goa Made-Jombang, dan Lembah Bada – Sulawesi
Tengah) terletak di pedalaman, di dataran yang relatif tinggi dari
daerah sekitarnya, seakan-akan sengaja dibuat di suatu ketinggian.
Menurut Agus Aris Munadar kemungkinan hal itu untuk menghindari
terjadinya kembali gelombang besar dari lautan yang menerjang
daerah-daerah rendah.
Selanjutnya Agus pun menyatakan apabila
ketiga situs di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi itu dihubungkan dengan garis
maya, maka terdapat bentuk segi tiga. Dalam peta wilayah yang menjadi
bagian dalam segitiga itu terdapat Laut Jawa yang diduga oleh Santos
sebagai bekas dataran agung Atlantis yang menjadi laut pada sekitar
11.600 tahun yang lalu. Perkembangan sejarah Indonesia saat ini
menunjukkan arus balik pola pikir yang dapat mengarah pada paradigma
baru sehingga diperlukan penelusuran dan rekontruksi sejarah yang
sesungguhnya. Sebab, kisah pengembaraan bangsa Indonesia berpotensi
untuk menjadi sebuah epik yang teramat panjang, lebih panjang dari epik
Homer, The Iliad and the Odyssey sehingga disana banyak ruang yang
belum terisi atau missing link.
Memanfaakan Isu Atlantis untuk Pariwisata
Hasil penelitian Santos dan Oppenheimer
adalah pintu masuk untuk menyusun kembali tulang belulang yang
berserakan dengan metode keilmuan yang benar, walaupun membutuhkan
waktu yang panjang dan berliku. Sementara itu popularitas Indonesia yang
sudah dibangun oleh Santos dan
Sebuah alat music Xilophon (Afrika yang memiliki kesamaan dengan Gambang. Sumber : lickr.com/photos/alessandroramp…0081609/
Oppenheimer secara gratis dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan kepariwisataan Indonesia tidak harus
menunggu pembuktian karena tidak ada yang salah dengan mitologi, apalagi
argumen Santos dan Oppenheimer sudah lebih maju. Tugas Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata lah yang harus mengelola dan memanfaatkan
situasi ini dengan baik.
Sudah banyak negara lain seperti
Spanyol, Cyprus, Uni Emirat Arab, dan lainnya menghadapi situasi dan
kondisi seperti yang dihadapi Indonesia saat ini. Namun, mereka
memanfaatkan situasi dan kondisi itu untuk berbagai kepentingan
bangsanya. Cyprus sukses mendatangkan wisatawan pencari Atlantis setelah
seorang Arkelog Cyprus, Flurentzos, membuat artikel berjudul: ”Statement on the alleged discovery of atlantis off Cyprus”.
Walaupun mendapat penolakan dari Santos, sampai saat ini Cyprus mampu
mendatangkan wisatawan Atlantis karena tulisan tersebut menggambarkan
Cyprus sebagai lokasi Atlantis yang hilang itu. Hal yang sama dilakukan
Spanyol. Setelah banyak hasil penelitian yang menghipotesiskan Selat
Gilbaltar sebagai selat sempit yang dianggap sebagai ”pilar-pilar
Hercules”, serta merta pemerintahnya menyambut dan membuat berbagai
objek wisata yang dikaitkan dengan ikon-ikon Atlantis yang hilang itu,
seperti pilar-pilar Herkules pada obyek Wisata The Pillars Of Hercules.
Fungsi sebenarnya dari perwujudan ikon-ikon Atlantis itu tiada lain
untuk menarik wisatawan.
Penelitian Atlantis terkini di
Indonesia, di antaranya dilakukan NASA, NOAA, dan sejumlah penelitian
oseanografis yang dilakukan dengan kapal selam, telah menemukan
jejak-jejak di dasar laut. Jejak-jejak tersebut berhasil memverifikasi
bahwa pada Zaman Es, Laut Jawa, dan Selat Sunda merupakan dataran yang
luas. Paparan laut Jawa – dataran yang luas itu – berbentuk persegi
empat berukuran sekitar 600 x 400 km2, persis sama dengan gambaran
Plato tentang “Dataran Agung Atlantis”. Dataran seluas itu memang
sangat langka di dunia. Pulau-pulau Indonesia yang ada sekarang, pada
Zaman Purba, yaitu di akhir Zaman Es, merupakan dataran tinggi dan
puncak-puncak gunung yang tersisa ketika permukaan laut di seluruh
dunia naik antara 130 m hingga 150 m dan menenggelamkan dataran-dataran
rendahnya. Dataran Atlantis diduga berada di kedalaman sekitar 60 m di
bawah permukaan laut kini.
Bagi Pemerintah Indonesia hipotesis
Atlantis di Sundaland dari Santos, Oppenheimer, dan para pendukungnya
itu adalah sebuah promosi gratis tentang wisata ilmiah. Apabila dikelola
dengan baik, terutama oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan
Kementerian Pendidikan, maka hal itu dapat memperkaya dunia wisata dan
jumlah kunjungan wisatawan, khususnya wisata ilmiah (scientist tourism)
yang di negara kita belum begitu berkembang dan terkelola dengan baik.
Untuk itu, serangkaian kegiatan wisata atau pun ilmiah dapat dilakukan
di lokasi-lokasi yang diduga kuat sebagai peninggalan-peninggalan
Atlantis di Sundaland dapat dilaksanakan.
Salah
satu objek wisata Atlantis yang memiliki prospek cukup baik adalah
Selat Sunda karena diduga adanya keterkaitan lokasi tersebut dengan
”pilar-pilar Herkules” sebagaimana dikatakan Plato. Santos pun dalam
bukunya sering mengatakan bahwa Selat Sunda sebagai selat sempit yang
diduga sebagai salah satu penyebab terpisahnya Pulau Sumatera dan Pulau
Jawa, serta pemungkas Zaman Es. Di kedua belah sisi selat Sunda
terdapat banyak Gunung Api yang dikiaskan Plato sebagai ”pilar-pilar
Herkules”. Seiring dengan rencana pembangunan jembatan Sumatera-Jawa,
diharapkan penamaan jembatan tersebut dapat dikaitkan dengan fenomena
Atlantis agar dapat menambah daya tarik wisatawan mancanegara.
Penamaan jembatan Sumatera-Jawa
dengan menggunakan ikon Atlantis juga sebagai simbol kembalinya
kejayaan Atlantis dalam bentuk kesatuan Republik Indonesia. Sebagai
contoh nama jembatan tersebut dapat saja menggunakan nama: ”Taprobane
bridge” atau ”Hercules bridge” atau nama lain yang memuat ikon-ikon
Atlantis.
Isu Atlantis di Sundaland dan Avatar Indonesia
Pada akhirnya, upaya kita melakukan
promosi bahwa Atlantis yang hilang itu adalah Sundaland bukan untuk
membangkitkan kebanggaan sempit yang didorong oleh emosi, melainkan
sebagai pembelajaran sejarah sambil mengembangkan nalar sehingga kita
mampu memecahkan persoalan yang kita hadapi sekarang dan menyongsong
masa depan yang lebih baik. Inilah pandangan avatar atau representasi
Atlantis yang hilang itu didalam Indonesia kini, yakni inkarnasi
Indonesia yang sebenarnya, yang sepantasnya, mengingat kejayaan masa
lalunya di zaman Atlantis itu; dan segenap potensinya dalam menghadapi
masa kini dan masa depan.
Topografi dasar laut yang menggambarkan Sundaland sebagai wilayah pedataran yang luas.
Sebagaimana avatar yang dimengerti oleh
James Cameron, avatar Indonesia semestinya secara fisik,
emosional-spritual dan intelektual adalah sosok baru dengan sebuah
sinergi atau larutan atau hibrida baru yang dapat menghadapi dugaan
lokasi Atlantis di Negara Syprus yang menjadi Obyek wisata.
Tugu Pilar Herkules : simbol Gerbang menuju Benua Atlantis. Sumber : http://www.the-rock-of-gibraltar.com/to…st-guide
perkembangan dunia yang dinamis; dan
mampu merebut ruang dan waktu barunya sendiri ke depan karena
tersambung dengan masa lalunya yang gemilang. Semua itu dimulai dengan
perhatian terhadap sejarahnya, yakni ruang dan waktu lebih dari 10.000
tahun yang lalu ketika masyarakat yang menempatinya menjadi sumber dari
seluruh ras dan peradaban dunia. Atlantis dan Trapobane yang menjadi
Avatar Indonesia kini semestinya menguak kembali potensi sejarah
Indonesia yang benar.
Sejarah yang selama ini memutus hubungan
Indonesia terhadap Atlantis itu mungkin memang sengaja dibuat oleh
kolonialis. Namun, kita tidak menyalahkan siapa-siapa karena memang
watak kolonialisme itu diantaranya adalah penghancuran identitas suatu
bangsa. Kalaupun ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia
sekarang sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai
pewaris bangsa Atlantis, maka hal itu wajar saja sebagai suatu proses
maju atau mundurnya peradaban dalam ruang dan waktu lebih dari 10.000
tahun. Apa yang diperlukan kini adalah bangkit dalam kemerdekaan kedua
berkaitan dengan sejarahnya dan mengisinya dengan suatu keyakinan dan
pandangan baru. Sebagaimana Avatar-nya Cameron yang menggambarkan
perkembangan kehidupan dan peradaban yang seharusnya, maka Avatar
Indonesia yang tersambung ke Atlantis itu seharusnyalah mewujudkan
kembali kejayaan lamanya.
_________________________
Penulis pertama (okigtl@yahoo.com) bekerja pada Pusat Lingkungan Geologi, Badan GeologiPenulis kedua (omanarah@gmail.com), bekerja pada Sekretariat Badan Geologi, Badan Geologi
Sumber : Robert Hall (2002).
http://pasulukan.wordpress.com/2010/08/26/jejak-atlantis-taprobane-dan-avatar-indonesia/
No comments:
Post a Comment