Teosofi, Atlantis, dan Gunung Padang
“Plato Tidak Bohong, Atlantis Pernah Ada di Indonesia.”
Kira-kira demikianlah hipotesis yang
dipercaya oleh DR Danny Hilman Natawidjaja, menguatkan pendapat Dr.
Arisiyo Santos dan Stephen Oppenheimer yang lebih dahulu menyebutkan
kemungkinan tersebut. Untuk membuktikan pendapatnya, Danny Hilman dan
timnya hingga saat ini sibuk menggali Gunung Padang yang menurutnya
merupakan peninggalan Atlantis. Seorang tokoh lain bernama Dicky Zainal
Arifin atau akrab disapa Kang Dicky (KD) memiliki keyakinan lain,
menurutnya pembangun Gunung Padang adalah bangsa Lemurian, bangsa yang
menurunkan suku suku di Nusantara sekarang ini. Kang Dicky mendapatkan
teori tersebut berdasarkan metode time travel atau ngimpleng
yang tentunya akan menjadi tertawaan ilmuwan-ilmuwan yang lebih
mempercayai metode ilmiah untuk membuktikan suatu teori. Bagaimanapun,
kedua teori tersebut memiliki pengikut fanatiknya sendiri-sendiri. Aku
pernah berdebat dengan salah satu dari mereka hingga akhirnya aku
dituduh “tidak nasionalis” karena tidak mempercayai keagungan leluhur
nusantara.
Aku pernah membahas polemik ini dalam
tulisanku beberapa tahun yang lalu. Kali ini aku tertarik untuk
membahasnya kembali karena sejak tulisan itu kubuat, kontroversi
mengenai Gunung Padang masih hangat terjadi, bahkan menjurus kepada
perdebatan politis mengingat motor pengungkapan Gunung Padang adalah
Andi Arief, Staff Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana yang
notabene tidak memiliki latar belakang keilmuan
sejarah/arkeologi/geologi sama sekali. Di sisi lain para penentangnya
adalah para akademisi yang mewakili bidang-bidang geologi, arkeologi dan
sejarah. Aku tertarik sekali mengamati perdebatan di antara kedua kubu,
yang menurutku mewakili dua karakter orang Indonesia pada umumnya.
Mereka yang mempercayai takhayul dan mereka yang rasional. Kelompok
pertama bisa saja mengaku rasional, tapi sejauh ini keyakinan mereka
lebih didasari oleh emosi semata dibanding pikiran sehat. Buktinya
kepercayaan bangsa atlantis sebagai nenek moyang bangsa Indonesia
dipercaya begitu saja tanpa bukti nyata. Hanya buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” karya Prof. Dr. Aryso Santos dan Eden in the East karya Stephen Oppenheimer-lah yang menjadi pegangan mereka.
Lewat tulisan ini aku ingin menambah
beberapa referensi untuk mereka, bahwa kepercayaan bahwa nenek moyang
bangsa ini merupakan bangsa atlantis / lemuria ternyata bukan barang
baru lagi. Teori ini sudah dikemukakan sekitar seratus tahun lalu oleh
para penganut ajaran Teosofi. Bagaimana kepercayaan mereka terhadap
keberadaan bangsa atlantis tersebut selayaknya menjadi pertimbangan bagi
para pendukung teori atlantis masa kini karena ternyata kepercayaan
akan garis keturunan atlantis / lemuria membawa konsekwensi tertentu.
Apa konsekwensinya ? Untuk itu aku akan mengisahkan kembali sejarah
Pulau Jawa menurut kalangan Teosofi, sebagaimana dimuat dalam buku “Sejarah Gaib Pulau Jawa” karya C.W. Leadbeater. Buku ini diterbitkan Pustaka Theosofi Jakarta tahun 1976, merupakan terjemahan dari buku “Occult History of Java” yang diterbitkan tahun 1951. Teks versi bahasa inggris dapat dilihat di link ini.
C. W. Leadbeater (1854-1934) adalah tokoh
utama di balik gerakan Teosofi yang juga merangkap sebagai Uskup Gereja
Katolik Bebas tahun 1923-1934. Gerakan Teosofi sendiri adalah gerakan
internasional yang didirikan tahun 1875 oleh H. Blavatsky dan Colonel
Olcott. Gerakan ini kemudian dikomandoi oleh Annie Besant, Rudolf
Steiner dan C.W. Leadbeater. Gerakan Teosofi singkatnya adalah sebuah
gerakan yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan agung suatu super religion,
dimana Agama dan Ilmu Pengetahuan bisa dijembatani. Siapapun yang
mengaku umat Islam, Kristen, Hindu, Agnostik dan lain-lain bisa memasuki
organisasi ini asalkan mengakui Teosofi sebagai Agama Super yang
menaungi semua agama tersebut. Selain mengadopsi ajaran-ajaran Agama
khususnya Hindu dan Budha, Teosofi juga mengambil beberapa aspek
pemikiran Hermes Trismeistos, Phytagoras, Plato, Tarot, Freemason,
Darwin, hingga Ignatios Donnely. Teosofi juga mempercayai adanya
pertentangan antara “tuhan baik” dan “tuhan jahat” seperti ajaran
Gnostik Zoroaster dan Manikeanisme.
Menurut teosofi, peradaban dunia terbagi
atas 7 zaman dengan masing-masing bencana yang menghancurkannya. Ketujuh
zaman tersebut didiami oleh ras manusia yang berbeda, yang hingga kini
sisanya masih bisa ditemukan berdasarkan ciri fisik tertentu. C.
Jinaradjasa dalam buku “First Principle of Theosophy” (Madras,
1922) tampak menghubungkan ajaran Budha, Darwin, dan Budha dalam
penentuan periode tersebut. Terbukti dari kepercayaannya atas keberadaan
strata berdasarkan ciri fisik manusia, yang uniknya menempatkan bangsa
Arya sebagai ras yang lebih “sempurna” dibandingkan Lemurian atau
Atlantean.
…The Aryan or Caucasian races we have probably the highest forms, not only in beauty of structure, but also for quick response to external stimuli and high sensitiviness to the finer philosophical and artistic thougts and emotions…
Menurut Jinaradjasa, bangsa Lemuria
mendiami benua Australasia (Gabungan Asia dan Australia) sekitar
1.000.000 tahun yang lalu. Nama Lemuria sendiri berasal dari seorang
Naturalis bernama Scalter yang mempercayai keberadaan benua Australasia
berdasarkan keberadaan Monyet Lemur yang tersebar di sepanjang kawasan
Pasifik. Ditambahkannya, sisa dari keturunan Lemuria ini bisa dilihat
pada penduduk asli Ethiopia dan kepulauan Pasifik.
C.W. Leadbeater menyebutkan bahwa
orang-orang ras Polinesia (Lemuria) inilah yang pertama kali menduduki
pulau Jawa. “Mereka belum memiliki indra perasa pada lidahnya dan
dipercaya melakukan dosa buruk antara lain melakukan hubungan sex dengan
binatang-binantang dengan monyet-monyet sebagai saksi bisunya,” tambah
Leadbeater.
Kedatangan bangsa Lemuria disusul oleh
kedatangan penduduk Atlantis yang membawa beserta mereka
kepercayaan-kepercayaan jahat dari negara mereka. Pandangan Leadbeater
dalam hal ini sejalan dengan mitos Atlantis Plato yang menyebutkan
penduduk Atlantis sebagai pemilik peradaban tinggi namun pendosa
sehingga mendapat azab dari Zeus. Jinaradjasa mengutip Flower dan
Lydekker menyebutkan bahwa keturunan Bangsa Atlantis adalah mereka
dengan ciri fisik orang-orang Mongolia atau China. Mereka mendiami benua
raksasa yang dahulunya terletak di samudera Atlantis.
Benua ini tenggelam pada tahun 9564 S.M. ,
menghasilkan legenda “Banjir Besar” yang masih dikenal hingga sekarang.
Ketika Atlantis tenggelam, munculah padang pasir seperti Sahara di
Afrika dan Gobi di Asia.
Leadbeater menyebutkan bahwa pendatang
dari Atlantis di Pulau Jawa menyembah dewa-dewa yang kejam dan
menjijikan, oleh karena itu penduduk terus menerus dituntut untuk
melakukan persembahan-persembahan lewat pengorbanan manusia. Para penduduk terus hidup dalam bayangan kekuasaan jahat tanpa mampu
melarikan diri darinya. Mereka dipimpin oleh seorang Imam Agung yang
sangat fanatik dalam kepercayaanya terhadap dewa-dewa jahat. Di sisi
lain ia juga sangat mencintai Pulau Jawa sehingga ia beranggapan bahwa
hanya dengan jalan pengorbanan darah setiap hari dan pengorbanan nyawa
manusia setiap minggu dan hari perayaan tertentu, pulau Jawa bisa bebas
dari bencana alam. Menurutnya, kemarahan dewa ditunjukan salah satunya
dengan letusan gunung berapi yang kerap terjadi di Jawa. Untuk menjaga
agar sistem pengorbanan ini tetap terlaksana, ia menempatkan
penjaga-penjaga gaib (hantu-hantu) di berbagai tempat di pulau Jawa,
terutama di kawah-kawah dan gunung berapi.
Selanjutnya sejalan dengan teori
professor Veth, penjajahan Atlantis atas Jawa mulai berakhir ketika
pulau didatangi oleh bangsa Melayu utamanya dari Kamboja. Setelah itu,
Jawa mengalami kolonialisasi oleh bangsa kulit putih dari Kalinga
(India), yang mana masih meninggalkan jejak hingga saat ini.
Bangsa kulit putih tersebut merupakan
kelompok bangsa Arya di bawah komando Chakshusha Manu dan Vaivasvata
Manu yang tiba sekitar tahun 1200 SM. Awalnya pendatang Hindu ini
berprofesi sebagai pedagang-pedagang yang cinta damai dan bertempat
tinggal di pantai hingga lama kelamaan membentuk negeri-negeri kecil.
Ketika kekuasaan mereka semakin kuat, mereka mulai memaksakan pengaruh
dan penerapan hukum-hukum Hindu kepada penduduk asli pulau Jawa. Namun
pengaruh Hindu tidak berhasil menghilangkan prosesi-prosesi keagamaan
jahat yang selama ini dipraktikan oleh penduduk asli. Mereka tetap
melakukan kegiatan tersebut secara rahasia. Karena tidak berhasil
menghilangkan praktek gelap ini, Vaivasvatu Manu mengajukan kepada Raja
India Karishka untuk mengirimkan ekspedisi ke Jawa tahun 78 M.
Pemimpin ekspedisi itu dikenal sebagai
Aji Saka. Misinya adalah memusnahkan semua upacara jahat dan kanibalisme
serta menerapkan kembali berlakunya hukum dan budaya Hindu seperti
sistem Kasra, vegetarisme, epos Hindu, dan abjad Jawa. Untuk melawan
warisan kutukan yang dulunya disimpan Raja Atlantis di Pulau Jawa, Aji
Saka menanam benda-benda yang dapat menetralisir kekuatan jahat. Dalam
bahasa Jawa, benda-benda tersebut dikenal sebagai “Tumbal”. Tidak hanya
itu, Aji Saka juga memindahkan gunung-gunung dan memberikan nama-nama
Sansekerta pada mereka. Salah satunya adalah sebuah gunung di Japara
yang paling tinggi dan dulunya disebut Mahameru, dinamainya sebagai
Mauria yang diambil dari nama Dinasti Maurya (322 SM.). Raja Ashoka
adalah salah satu anggota dinasti Maurya.
Catatan-catatan orang Cina pada waktu itu melaporkan mengenai sebuah semburan lumpur yang menyembur di Grobogan, di sebelah selatan Gunung tersebut/ Semburannya itu demikian tingginya sehingga pelaut-pelaut tersebut dapat melihatnya.Lagi di dekatnya Tuban (yang berarti “memancar”), catatan itu mengatakan bahwa ada sumur berapa mil dari pantai yang mengeluarkan demikian banyak air segar, sehingga air laut di dekatnya dapat diminum karena tak lagi asin rasanya.
Aji saka memilih tempat penanaman
tumbalnya yang paling penting dan paling kuat pada sebuah bukit yang
rendah, bukit terakhir dari deretan bukit yang berhadapan dengan sungat
Progo (Diambil dari nama daerah Praga di India). Di atas lokasi
penempatan tumbal itu nantinya akian dibangun sebuah monumen luar biasa
oleh dinasti Shailendra – bernama Borobudur.
Borobudur dirancang oleh seorang bernama
Gunadharma, seorang Hindu Budha dari perbatasan Nepal, sedangkan
pelaksananya adalah orang Jawa. Pembangunan ini dipengaruhi sekte Budha
bernama Vrajasana.
Borobudur ditujukan sebagai tempat ziarah
orang-orang Budha dari seluruh dunia. Ketika Syailendra berkuasa,
pulau Jawa dan Sumatra masih bersatu , adalah letusan gunung Krakatau
pada tahu 915 yang memisahkan kedua pulau tersebut. Sejak itu pedagang
dari India dan Tiongkok mulai menggunakan selat sunda yang terbentuk di
antara dua pulau.
Kerajaan Syailendra termasuk monumen
Borobudur kebanggaanya mengalami kejatuhan setelah tertimbun letusan
gunung Merapi. Setelah itu keturunan Syailendra mengungsi ke Jawa Timur
dan membangun kerajaan baru bernama Kediri.
Borobudur ditemukan kembali oleh Raffles
di abad-19 yang kemudian direstorasi oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sejak itu Borobudur menjadi relik utama kaum Teosofi. Kaum yang
mempercayai keunggulan ras arya ini sangat memuja Candi Borobudur,
sehingga boleh dibilang mereka merupakan kelompok pertama yang
mengadakan upacara Waisak di Borobudur.
Leadbeater berusaha menguatkan teorinya
dengan mengatakan bahwa bangsa Arya yang tiba di Jawa berusaha untuk
menjaga jarak dengan penduduk asli (Lemuria/Atlantean) namun tidak
begitu sukses. Pemisahan pergaulan tersebut tetap memunculkan adanya
perbedaan fisik, penggunaan bahasa dan tradisi antara kalangan
Aristokrat Jawa dan orang-orang desa yang tinggal di pegunungan.
Demikianlah sedikit penggalan kepercayaan
kaum Teosofis terhadap teori Atlantis dan sejarah Jawa menurut salah
satu uskupnya, C.W. Leadbeater. Dari pandangannya tersebut setidaknya
kita bisa mengambil point penting bahwa kita jangan dulu bangga disebut
keturunan bangsa Atlantis karena apabila kita konsisten dengan konteks
cerita Plato, mereka adalah penduduk dengan peradaban tinggi yang gemar
melakukan banyak dosa dan kesesatan sehingga mereka mendapat hukuman
dewa. Kepercayaan ini masih tersisa oleh kepercayaan penduduk Jawa yang
gemar memberikan persembahan-persembahan bernama “sajen” untuk memuaskan kehendak “dewa-dewa Jahat.”
Selain itu Leadbeater juga berusaha
menjelaskan perilaku masyarakat Jawa yang gemar meng-kramatkan
gunung-gunung dan tempat tertentu. “Dewa-dewa jahat” yang menguasai
tempat tersebut harus dinetralisir dengan menggunakan tumbal.
Menurutnya kepercayaan terhadap Atlantis tidak selamanya perlu
dibuktikan oleh bukti-bukti fisik situs semata, keberadaan mereka juga
harus ditelusuri lewat peninggalan-peninggalan non fisik seperti
“okultisme hitam” warisan Imam Agung Atlantis yang selama ini masih
dipraktekkan sebagian masyarakat di pulau Jawa. Entah mengapa, Perilaku
orang-orang yang mengkeramatkan Gunung Padang seakan-akan menguatkan
kepercayaanku terhadap pandangan tersebut.
Terakhir, buku Sejarah Gaib Pulau Jawa
tampaknya harus dibaca semua orang yang mempercayai teori atlantis di
Nusantara, bahwa baik bangsa Atlantis atau Lemuria ternyata sama-sama
memiliki nama yang kurang baik di kalangan orang barat yang diwakili
pandangan Leadbeater. Sekeras apapun kita menyuarakan keunggulan nenek
moyang kita, orang lain akan tetap membanggakan nenek moyangnya.
Sehingga pandangan Budi Dalton, seorang budayawan di Bandung yang
mengatakan bahwa pengungkapan Gunung Padang akan menunjukan bahwa
“Indonesia bukanlah bangsa ketiga seperti yang diyakini saat
ini” adalah omong kosong menurutku. Negara lain tidak peduli seberapa
hebat nenek moyang kita atau seberapa kaya negara ini di masa lalu, yang
mereka pedulikan hanyalah kemajuan masyarakatnya saat ini terutama
dalam hal ekonomi.
Secara umum memang buku Leadbeater ini
tidak ilmiah dan sangat bias sama seperti halnya teori-teori lain yang
berusaha menjelaskan fenomena Atlantis. Semuanya hanya didasarkan
asumsi-asumsi belaka tanpa bukti karena hingga saat ini tidak ada buku
sejarah dunia yang mengakui keberadaan atlantis.
Mengenai sikapku terhadap Gunung Padang, aku mendukung segala penelitian terhadap situs tersebut selama dilakukan secara ilmiah oleh orang-orang yang kompeten, bukan oleh sekelompok pemburu atlantis yang gemar berspekulasi.
Sumber:
http://santijehannanda.wordpress.com/2013/12/07/teosofi-atlantis-gunung-padang-dan-nenek-moyang-orang-jawa/
No comments:
Post a Comment