Thursday, October 16, 2014

Gunung Padang, di Antara Data Laboratorium dari Opini dari Jauh

Jum'at, 17 Oktober 2014 , 08:54:00 WIB

Gunung Padang, di Antara Data Laboratorium dari Opini dari Jauh

Oleh: Andi Arief


 

ADA semacam kekeliruan seolah-olah Tim Terpadu Riset Mandidi (TTRM) TTRM sengaja mentuakan umur situs Gunung Padang ntuk menciptaan kebanggaan bahwa ada situs lebih tua dari Piramida Giza dan peradaban lainnya. Menurut MetroTV, ini upaya mencari popularitas, mencari tanda jasa.

Kekeliruan lainnya adalah soal sengaja memodernkan peradaban di era yang tidak sinkron dengan temuan semen. Bahkan untuk kata semen saja TTRM dilarang mempergunakannya. Bahkan secara gegabah beberapa arkeolog tanpa pernah melihat temuan koin langsung  membelandakan artefak yang  ditemukan di kedalaman 11 meter.

Di bawah ini agar tidak simpang siur dan kita bisa melihat temuan Gunung Padang dengan objektif, kami paparkan enam  artefak.  TTRM hanya menyampaikan informasi berdasarkan analisa dan dibantu oleh informasi laboratorium dalam dan luar negeri. Semua laboratorium tempat TTRM menguji temuan adalah laboratorium yang biasa juga dijadikan tempat para arkeolog dan geolog menguji temuan-temuan lain.

1. Di tahun 2013 spot eskavasi arkeologi DR Ali Akbar  dan tim arkeolog UI menemukan dua hal penting. Pertama, logam sepanjang 10 cm dalam keadaan berkarat. Logam itu ditemukan di lereng timur pada kedalaman satu meter.  Kedua, tim itu juga menemukan semacam  sambungan antar batu. Temuan tim arkeologi ini kemudian didiskusikan dengan tim geologi dan tim petrografi serta sudah diuji di laboratorium Metalurgi dan Mineral Fakultas Tekni Universitas Indonesia.

Dari hasil uji lab  terdapat kandungan Fe 35,31,  Si 11,95,  Al 04,8,  0 42,  C 0,5 yang artinya ini  adalah logam hasil pembakaran batuan untuk mengkonsentrasikan metal dan kelihatannya masih tercampur dengan clinkers atau carbon.

Ini dapat dilihat dari komposisi Fe dan O yang dominan dan Silika dan Alumunium, serta Carbon. Rongga-rongga kecil di sekujur logam itu juga mengindikasikan proses pembakaran. Bahan pembakarnya bisa carbon dari kayu atau dari batubara atau dari minyak bumi.

2. Orientasi struktur batu di lereng timur adalah rebah (horisontal) timur-barat. Sementara itu orientasi struktur batu di lereng utara adalah rebah utara-selatan. Secara alami, columnar joint di dalam tanah posisinya berdiri (vertikal). Jika columnar joint secara alami rebah, maka orientasinya akan seragam misalnya seluruhnya mengarah ke utara.

Kedua, struktur batu columnar joint yang ditemukan di kedalaman 4 meter disimpulkan  oleh tim geologi dan tim petrografi diselingi lapisan semen purba, perekat atau suar.

Semen purba tersebut berfungsi sebagai perekat sehingga struktur bangunan menjadi sangat kokoh. Dari hasil lab,  pada semen tersebut terdapat mono cristallin quartziron-magnesium oxides dan clay. Oxide mengandung hematite, magnetite, dan unsur lainnya yang bukan berasal dari pelapukan batu columnar joint.

Temuan semen purba juga didapat dari hasil bor sampling yang dilakukan oleh geolog DR. Andang Bachtiar  berdasarkan sejumlah pemindaian seperti geolistrik, georadar dll oleh DR Danny Hilman dan tim , menunjukkan sampai kedalaman 18 meter terdapat susunan batu-batu panjang berpenampang segilima (columnar joint) yang disusun manusia. Pengeboran tersebut juga menemukan semacam semen purba di antara columnar joint.

Melalui analisis yang sangat hati- hati DR. Andri S, seorang petrograf menyatakan semen tersebut bukan batuan alami melainkan adonan yang berfungsi sebagai perekat. Berdasarkan hasil uji lab  komposisi semen itu terdiri dari 41 persen kuarsa mono kristalin, 45 persen oksida besi magnesium dan 14 persen lempung. Sementara oksidannya terdiri dari 11 persen hematite, 29 persen magnetite dan beberapa jenis oksida besi yang tidak spesifik sebesar 5 persen.

3. Temuan pasir halus saat coring di tahun 2012 cukup mengagetkan. Berdasarkan hasil analisis laboratorium terhadap pasir halus ayak yang dikumpulkan pada saat pengeboran di teras 5 sampai dengan kedalaman 15 meter, diperoleh informasi bahwa pasir ayak tersebut terdiri dari  konsentrat butiran kuarsa 68 persen, oksida besi magnesium 22 persen dan silikat gelas 10 persen.

Menurut DR. Andang Bachtiar, tidak ditemukannya lempung atau clay dalam komposisi tersebut diinterpretasikan sebagai pasir piramid atau pyramid sand. Hasil  ini, lanjutnya, diperkuat dengan analisis laboratorium difraksi X ray. Oksida besi di semen dan pasir Piramid Gunung Padang   menjelaskan adanya "proses" intervensi manusia dengan pemanasan dan pembakaran untuk memurnikan konsentrasi.

Paparan Pasir halus dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=EtTBdJxUiRk

Hasil lab dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=pZxakjNKO1U&list=UUwJQr5I4k3Xs8lCEYN5CLoQ

4. Temuan riset Gunung Padang yang cukup dahsyat juga adalah “kujang”.

"Bentuknya seperti senjata. Ada bagian pegangan, semacam pinggang, bagian bilah yang bifacial, tajaman dibuat dari dua sisi. Benda yang ditemukan ini terbuat dari batu,” DR. Ali Akbar mendeskripsikan.

Karena menyerupai bentuk senjata tradisional kujang, DR. Ali Akbar untuk sementara ini sebagai 'Kujang Gunung Padang”. Nama asli benda itu belum diketahui persis karena berasal dari masa prasejarah yakni suatu perioede ketika manusia belum mengenal huruf.

Periode penghunian situs Gunung Padang yang telah diketahui minimal mulai 5200 SM sampai minimal 500 Masehi. Artefak ini ditemukan di lokasi kurun waktu minimal 5200 SM. Artinya bisa saja lebih tua usianya.

Hasil pemeriksaan laboratorium mengejutkan, dan mengubah pengetahuan manusia mengenal logam. Kujang Gunung Padang memberi pesan pada dunia bahwa sudah pernah ada teknologi tinggi di bumi Indonesia yang sementara baru ditemukan di Kecamatan Cempaka, Cianjur, Jawa Barat di lokasi piramida nusantara atau bawah permukaan situs Gunung Padang.

Uji laboratorium yang dilakukan di Laboratorium ITB oleh DR. Bagus Endar dkk memperlihatkan bahwa artefak itu mengandung metal dan tersebar merata di seluruh artefak. Geometri artefak rumit dan unik, mengandung unsur segitiga di sepanjang artefak. Pola titik berat di sepanjang artefak sekilas terlihat berbentuk helix atau kurva helical yaitu paduan atau penjumlahan dua buah fungsi sinus yang berbeda sumbu dan berbeda fasa.

DR. Didit Ontowirjo dalam penelitiannya menemukan serat seperti kawat di dalam kujang itu.

5. “Koin Gunung Padang” adalah artefak yang cukup mendapat perhatian serius bukan hanya di kalangan arkeolog, kalangan numismatik, namun juga masyarakat luas. Koin ini menjadi tantangan tersendiri bagi tim peneliti untuk mengungkapnya. Apakah koin yang berada dalam bawah permukaan situs itu alat tukar, ataukah memiliki fungsi lain.

Beberapa arkeolog dan ahli numismatik menyatakan koin itu mirip koin Belanda. Sementara beberapa kalangan menyatakan justru Belanda yang meniru koin Gunung Padang. Sementara tokoh-tokoh sepuh yang memiliki kearifan lokal mempunyai pandangan lain bahwa bentuk koin itu bukan alat tukar.

Tim Peneliti mendapatkan hasil analisa Laboratorium Metalurgi Universitas Indonesia. Hasil analisa laboratorium menunjukkan meski tembaga sebagai unsur dominan dalam koin itu, namun koin masih ada 3 unsur lain yaitu iron, timbal dan nikel (Cu: 92,4 persen, Pb: 3,93 persen, Fe: 1,9 persen, Ni: 0,09 persen).

Dari komposisi hasil lab ini untuk sementara disimpulkan koin ini bukanlah berfungsi sebagai alat tukar, melainkan semacam amulet.

Amulet adalah bagian dari kebudayaan yang belum diungkap oleh ilmu pengetahuan sering dikategorikan mistik. Amulet di Indonesia memiliki akar budaya yang sudah sangat tua, turun temurun masih ditemukan hingga kini. Bentuknya bukan hanya logam tapi bisa berbentuk lain.

Pembuatan sebuah amulet yang berkualitas  tidaklah mudah. Biasanya  dimulai dari pemilihan material, pemilihan waktu  menurut numerologi, astrologi, pemilihan images (semacam relief). Biasanya koin amulet dipilih berdasarkan kondisi yang dianggap mewakili tingkat tertentu kemajuan peradaban yang kemudian dihormati dan dinggap suci. Karena itu simbolnya adalah manusia atau simbol hewan yang merepresentasikan kebudayaan atau teknologi maju tertentu.

Relief dalam koin amulet Gunung Padang masih belum dapat disimpulkan, masih dianalisa. Ada beberapa dugaan relief yang muncul menyerupai tradisi suku Maya, seperti tokoh wayang semar, seperti bagian tertentu kalender sunda wiwitan, seperti Airlangga hingga mirip manusia menghadap ke kanan kepala menggunakan helm dan sedang menaiki kendaraan tertentu.

Bentuk koin ini ditemukan  tengah malam tanggal 15 September saat  pengeboran mencapai kedalaman 11 meter. Koin terangkat bor melalui saluran pembuangan limbah, sehingga koin itu berbentuk utuh tidak rusak. Coring menggunakan mata bor kecil berdiameter 5 sentimeter, disamping sisi kiri dan kanan bor ada saluran air agar memudahkan pengeboran, lalu dikeluarkan melalui saluran sisi lainnya. Di saat saluran air itu berjalan, koin itu terangkat. Sehingga bentuk koin tersebut masih sangat utuh.

Warna koin logam berwarna hijau kecokelatan. Ukurannya sangat kecil berdiameter 1,7 sentimeter dan permukaanya datar. Pada koin itu terdapat lingkaran yang sangat banyak motif, seperti motif gawangan disamping lingkaran koin, lalu di dalamnya ada garis melingkar pada semua bagian koin.Uniknya garis melingkar itu ternyata berbentuk untaian lingkaran yang sangat kecil sekali, dan diamternya sekitar 0,3 milimeter dengan jumlah sebanyak 84 lubang. Lalu tebal koin ini hanya 1,5 milimeter.

Berdasarkan lokasi di kedalaman penemuan bentuk koin itu perkirakan usianya minimal  5200 SM. Seberapa tua usia pastinya, sulit untuk memastikannya, namun bisa disimpulkan koin amulet itu minimal berumur 5200 SM. Memang usia yang tua dari koin amulet ini apalagi dengan teknik peleburan 4 unsur termasuk Nikel ini jauh dari apa yang selama ini kita ketahui tentang logam, peleburan logam di sejarah Indonesia dan dunia.

6. Carbon dating untuk mengetahui usia situs.

Hasil uji Lab BATAN terhadap umur situs Gunung Padang seperti pernah diberitakan sebelumnya menyebutkan bahwa ia lebih tua dari Piramida Giza, Mesir.

Merujuk hasil pengujian carbon dating Lab BATAN dengan metoda LSC C14 dari material paleosoil di kedalaman 4 meter pada lokasi bor coring 1, usia material paleosoil adalah 5500 +130 tahun BP yang lalu.

Sedangkan pengujian material pasir di kedalaman 8 s/d 10 meter pada lokasi coring bor 2 adalah 11000 + 150 tahun.

Hasil mengejutkan dan konsisten dikeluarkan oleh laboratorium Beta Analytic Miami, Florida, dimana umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12 meter bada bor 2 umurnya sekitar 14500 hingga 25000 SM, atau lebih tua.

Sementara beberapa sample konsisten dengan apa yang dilakukan di Lab BATAN.

Kita tahu laboratorium di Miami Florida ini bertaraf internasional yang kerap menjadi rujukan berbagai riset dunia terutama terkait carbon dating[***]

Penulis adalah Staf Khusus Presiden, inisiator Tim Terpadu Riset Mandiri.



Sumber:
http://m.rmol.co/news.php?id=176092

No comments:

Post a Comment