Friday, October 10, 2014

PEMANFAATAN KOMPLEKS GUA PRASEJARAH BELLAE

Naskah Publikasi
PEMANFAATAN KOMPLEKS GUA PRASEJARAH BELLAE
Oleh :
Supriadi
No. Mahasiswa :  21733/IV-4/1625/04
A.      Pendahuluan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae terletak di  Kampung Bellae, Kelurahan Biraeng, Kecamatan Minasa Te’ne, Kabupaten Pangkep dengan posisi astronomis 04049’20” – 04050’10” LS dan  1190 45” - 1190 36’50” BT.  Kompleks gua prasejarah Bellae  terdiri atas 21 gua dengan posisi berjejer di sepanjang bukit kars yang berada tidak jauh dari permukiman penduduk Kampung Bellae. Bukit kars yang melintasi Bellae dan merupakan tempat beradanya gua-gua prasejarah yakni Bulu[1] Matojeng dan Bulu Matanre. Bulu Matojeng dan Bulu Matanre termasuk gugusan kars yang membentang antara Maros-Pangkep yang sering disebut sebagai kawasan kars Maros-Pangkep.
Sebagai sumber data prasejarah di Sulawesi Selatan, Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai tinggalan arkeologis yang lengkap. Berbagai tinggalan arkeologis baik berupa artefak batu, sisa makanan maupun lukisan dinding (rock art)  masih banyak dijumpai. Temuan artefak batu terutama adalah alat serpih dan bilah yang sebarannya hampir merata di semua gua, selain itu juga ditemukan lancipan maros (maros point) dan mikrolit geometris yang hanya ditemukan di beberapa situs tertentu. Lukisan dinding yang terdapat di Bellae berupa lukisan figuratif dan non figuratif.
Keberadaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang kini dekat dengan pemukiman dan areal persawahan, mengakibatkan gua-gua ini tidak terlepas dari ancaman kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mengancam kelestarian kompleks gua prasejarah Bellae. Tidak jarang beberapa gua dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat menyimpan jerami padi dan alat-alat pertanian. Bahkan kadangkala masyarakat menggali tanah pada bagian depan gua sehingga bagian depan gua semakin cekung dan dapat menghilangkan tinggalan arkeologis yang terdapat pada gua tersebut.  Coretan-coretan baru pada dinding ditemukan bercampur dengan lukisan dinding yang terdapat pada gua.
Selain kelestarian Kompleks Gua Prasejarah yang semakin terancam oleh aktivitas masyarakat setempat, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pangkep ternyata membawa permasalahan tersendiri. Tidak terjalinnya koordinasi antara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pangkep dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar telah memicu konflik menyangkut perlakuan dan kewenangan terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae.
Beragamnya kepentingan dari berbagai pihak dalam pemanfaatan sumberdaya budaya merupakan permasalahan tersendiri yang dapat berujung pada benturan kepentingan. Benturan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya budaya umumnya disebabkan oleh ketidaksamaan persepsi dan pemberian makna terhadap benda warisan budaya (Anom, 1996). Pemanfaatan sumberdaya budaya sering memberi dua dampak yaitu dampak positif dan negatif. Dampak positif adalah munculnya keinginan masyarakat untuk memberi perhatian kepada sumberdaya budaya  sehingga muncul kesadaran untuk melestarikan dan memanfaatkannya. Dampak negatif akan muncul seiring dengan pemanfaatan sumberdaya yang sangat eksploitatif (Prasodjo, 2004: 4).
Agar pemanfaatan sumberdaya budaya tidak hanya bertujuan untuk eksploitasi dan ekonomis saja, maka diperlukan pemahaman terhadap aspek yuridis, aspek arkeologis serta aspek manajerial (Haryono, 2003:2). Oleh karena itu, dalam pemanfaatan sumberdaya budaya perlu ada asas keseimbangan sehingga tidak terjadi konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya tersebut (Haryono, 2005: 5).
B.       Permasalahan
Berdasarkan kenyataan yang dijelaskan di atas, maka diperlukan usaha untuk tetap mempertahankan dan menyelamatkan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang memiliki beberapa keunikan ini. Penyelamatan yang dimaksud adalah penyelamatan dari ancaman kerusakan, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun dari faktor alam. Di samping itu, perlu ada ada kesamaan pemahaman antara stakeholder terkait dengan  bentuk pemanfaatan yang berwawasan pelestarian. Permasalahan yang muncul adalah  bagaimana model pemanfaatan yang tepat terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang dapat mengakomodasikan keinginan dan kepentingan pihak-pihak yang terkait?   
C.      Landasan Konseptual
CRM atau pengelolaan sumberdaya budaya  adalah proses mengelola sumberdaya budaya pada lansekap dari segala sesuatu yang terjadi pada sumberdaya budaya  (Pearson & Sullivan, 1995: 4). Pendapat lain menyatakan, Cultural Resource Mangement itu pada dasarnya adalah tatacara mengelola  situs atau kawasan sumberdaya arkeologi dengan mengakomodasi beberapa kepentingan yang seringkali bertentangan. Dengan demikian, Cultural Resource Management  harus dilihat sebagai manajemen konflik (Tanudirjo, 1998: 16).
Secara garis besar, Cultural Resource Management menekankan pada lima aspek. Pertama adalah sifat dari sumberdaya arkeologi yang tidak dapat diperbaharui, terbatas, tidak bisa diganti dan kontekstual. Kedua ada kesadaran bahwa tidak semua sumberdaya arkeologis dapat diselamatkan dari ancaman kerusakan ataupun musnah baik karena proses alam maupun faktor yang disebabkan oleh manusia. Sekali sumberdaya arkeologi tersebut hilang maka tidak mungkin akan dimunculkan kembali. Begitupun dengan konteksnya, jika benda arkeologis kehilangan konteks maka tidak dapat memberikan informasi apa-apa. Ketiga adanya berbagai kepentingan diluar dari kepentingan arkeologi itu sendiri. Kepentingan di luar arkeologi yaitu masyarakat luas (publik), antara lain : ekonomi, pariwisata, masyarakat, generasi mendatang (Tanudirjo, 2003).
Aspek keempat yang menjadi penekanan Cultural Resource Management adalah pembangunan atau pengembangan yang berkelanjutan. Pengelolaan terhadap sumberdaya arkeologi dilakukan bukan untuk kepentingan sesaat, tetapi lebih pada bagaimana agar pengelolaan tersebut dapat berjalan secara terus menerus. Kelima adalah aspek hukum dan politis. Antara akademisi, pemerintah dan masyarakat harus ada keterkaitan dari aspek hukum dan politik.
Cultural Resource Management, dalam penerapannya mencakup lima langkah utama yakni : 1) Lokasi, identifikasi dan dokumentasi sumberdaya baik sumberdaya budaya maupun kawasannya, 2) penilaian nilai penting terhadap kawasan, 3) Perencanaan dan pembuatan keputusan berdasarkan nilai penting, peluang dan hambatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi,  4)  implementasi dari perencanaan dan kebijakan, dan 5) evaluasi (Pearson and Sullivan, 1995: 8-9).
D.      Tata Cara Penelitian
Sehubungan dengan studi pemanfaatan sumberdaya budaya, pengumpulan data mencakup semua semua data tentang objek yang akan dikelola. Hal ini sebagaimana yang diutarakan oleh Lipe (1970) bahwa usaha penyelamatan tidak fokus pada satu masalah dan mengabaikan masalah yang lainnya (Lipe 1970 dalam Schaafsma, 1989: 43). Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan berupa data hasil wawancara dan pengamatan, sumber data tertulis dan foto.
Pengumpulan data  antara lain dilakukan dengan cara wawancara serta pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara menggabungkan kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas terstruktur terhadap beberapa stakeholder untuk mendengar jawaban mereka tentang nilai penting, pengetahuan, persepsi,  serta keinginan dan jenis pengelolaan terhadap keberadaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae.
Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mengetahui nilai penting sumberdaya budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan menilai hambatan dan peluang dalam pengelolaannya. Dalam pengukuran nilai penting, kriteria yang digunakan adalah nilai penting sejarah, nilai penting ilmu pengetahuan, dan nilai penting kebudayaan. Penilaian terhadap peluang dan hambatan pengelolaan diukur dari persepsi stakeholder dan perangkat perundangan. 
E.       Penentuan Nilai Penting Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae
1.    Konsep Nilai Penting
Proses pelaksanaan Cultural Resource Management ada beberapa tahap dan salah satunya adalah penentuan nilai penting. Penentuan nilai penting suatu sumberdaya arkeologi merupakan tahap penting karena pada dasarnya tujuan CRM adalah melestarikan nilai penting sumberdaya budaya. Nilai penting yang kuat dan dominan akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan terhadap sumberdaya budaya (Mason, 2002: 5; Tanudirjo, 2004a: 1) dan akan menghasilkan rekomendasi apakah suatu sumberdaya budaya akan dikonservasi, dihancurkan, dimodifikasi atau dibiarkan begitu saja (Pearson & Sullivan, 1995: 8).
Walau demikian, di Indonesia pedoman baku tentang penilaian nilai penting sumberdaya budaya belum ada (Tanudirjo,2004a: 2). Oleh karena itu, Tanudirjo (2004b) mengusulkan pedoman penentuan nilai penting yang terdapat dalam UU No. 5 tahun 1992.
a.    Nilai Penting Sejarah, apabila sumberdaya budaya tersebut dapat menjadi bukti yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan penting dalam bidang tertentu;
b.    Nilai Penting Ilmu Pengetahuan, apabila sumberdaya budaya itu mempunyai potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah dalam bidang keilmuan tertentu.
c.    Nilai Penting Kebudayaan, apabila sumberdaya budaya tersebut dapat mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya, atau menjadi jati diri (cultural identity) bangsa atau komunitas tertentu. Nilai etnik dapat memberikan pemahaman latar belakang kehidupan sosial, sistem kepercayaan, dan mitologi yang semuanya merupakan jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu, merupakan bagian dari jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu (Tanudirjo, 2004b: 6-8).       
Lebih lanjut Tanudirjo (2004b) menambahkan, untuk memahami nilai penting sumberdaya budaya maka perlu diadakan pembobotan. Hal ini bertujuan untuk membandingkan nilai penting suatu sumberdaya budaya dibanding sumberdaya budaya yang lain. Untuk melakukan pembobotan, ada beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai berikut.
a.       kelangkaan, apakah jumlah sumberdaya budaya yang termasuk jenis ini jarang atau mudah ditemukan (jumlahnya banyak)
b.      Keunikan, apakah sumberdaya budaya yang dinilai sangat khas di antara sumberdaya sejenis
c.       Umur/pertanggalan, semakin kuno semakin tinggi nilainya (hukum entropi)
d.      Tataran, nilai penting sumberdaya dirasakan dan diakui oleh komunitas atau masyarakat pada tingkat lokal (Kabupaten/Kota), regional (provinsi), nasional (negara), atau internasional (dunia).
e.       Integritas (termasuk keutuhan), nilai sumberdaya akan semakin tinggi apabila masih menunjukkan kesatuan yang utuh dengan konteksnya, baik itu sebagai benda tunggal, berkelompok (compound), maupun kompleks (tersebar tetapi merupakan kesatuan).
f.       Keaslian, nilai sumberdaya budaya semakin tinggi jika bahan belum mengalami penggantian, pengurangan, atau percampuran (Tanudirjo, 2004b: 8).
2.    Nilai Penting Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae
1.    Nilai Penting Sejarah
Istilah Toalean menurut Bulbeck (2001) hanya digunakan pada kumpulan mikrolit yang terdapat di Sulawesi Selatan yang berlangsung antara 8000 BP – 1500 BP (Bulbeck 2001: 1). Periode ini ditandai dengan mulainya manusia bertempat tinggal di gua-gua yang tidak jauh dari sumber air dan lahan yang dicirikan dengan produksi/kumpulan alat mikrolit yang berasosiasi dengan lukisan dinding (Heekeren, 1972: 106; Soejono, 1975: 147; Bulbeck, 2001: 1).
Secara garis besar, ciri kebudayaan Toalean dapat dibedakan atas tiga ciri utama yakni penghunian gua, temuan mikrolit yang berasosiasi dengan lukisan dinding, dan tipologi artefaktualnya. Dari tinggalan artefaktualnya, beberapa gua di Kompleks Gua Prasejarah Bellae mengindikasikan pernah dijadikan sebagai hunian manusia pendukung budaya Toalean, seperti Leang Kassi, Leang Cammingkana dan Leang Bubbuka (Said, 1988 Dalam Sumantri, 2004: 156). Temuan mikrolit yang berasosiasi dengan lukisan dinding dapat dijumpai pada Leang Kajuara.    
Di Kompleks Gua Prasejarah Bellae, berbagai temuan arkeologi menunjukkan tipologi yang sama dengan artefak batu Toalean. Secara ringkas, kesesuaian antara ciri artefaktual lapisan budaya Toalean dengan tinggalan artefak batu di Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagaimana yang terlihat pada tabel dibawah ini.



No.
Nama Leang
Jenis Artefak Batu
Bilah
Serpih
Mata Panah
Maros Point
Mikrolit Geometris
1
Lessang
-
-
-
-
2
Bubbuka
-
3
Caddia
-
-
-
4
Buto
-
-
-
5
Tinggia
-
-
-
-
6
Lompoa
-
-
-
7
Kassi
-
-
-
8
Kajuara
-
-
9
Patennung
-
-
-
-
-
10
Jempang
-
-
-
11
Tanarajae
-
-
-
12
Sakapao
-
-
-
13
Bawie
-
-
-
14
Buluribba
-
-
-
15
Cammingkana
-
16
Bungung
-
-
-
17
Carawalie
-
-
-
-
-
18
Ujung
-
-
-
-
-
19
Sassang
-
-
-
-
-
20
Batanglamara
-
-
-
-
-
21
Sapiria
-
-

Tabel  1. Jenis Artefak Batu di Kompleks Gua Prasejarah Bellae

Berdasarkan pada tabel di atas, temuan artefak seperti serpih, lancipan maros (maros point), serpih, dan mikrolit menunjukkan tipologi yang sama dengan typology artefak lapisan budaya Toalean. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan bukti dan representasi tentang keberadaan lapisan budaya Toalean di Sulawesi Selatan.  Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa situs Bellae merupakan situs-situs masa prasejarah yang penting bagi penyusunan sejarah kebudayaan Indonesia pada umumnya.

2.    Nilai Penting Ilmu Pengetahuan
Banyak sumberdaya budaya mempunyai nilai penting ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan sumberdaya budaya merupakan representasi dari budaya dan lingkungan. Oleh karena itu, sumberadaya budaya mempunyai potensi tinggi untuk kegiatan penelitian.  Nilai penting ilmu pengetahuan adalah manfaat atau kegunaan kompleks gua prasejarah sebagai media atau wahana pembelajaran terhadap berbagai disiplin ilmu terkait (Hall and McArthur, 1993; Pearson and Sullivan, 1995 dalam Timothy dan Boyd, 2003: 90). 
Berdasarkan hasil identifikasi, berbagai disiplin ilmu yang berpotensi memanfaatkan Kompleks Gua Prasejarah Bellae untuk kepentingan ilmu pengatahuan yaitu, Arkeologi, Antropologi, Ilmu Kebumian dan Biologi. Nilai penting arkeologi dapat dilihat dengan banyaknya penelitian yang pernah dilakukan di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Sejak tahun 1987 hingga tahun 2000, tercatat tidak kurang 16 penelitian yang dilakukan oleh peneliti orang Indonesia maupun yang dari luar, secara individu maupun kelembagaan (lihat Bab I). Bahkan satu orang/tim peneliti tidak jarang melakukan penelitian lebih dari satu kali seperti yang pernah dilakukan oleh Said (1988 dan 2000) dan Puslit Arkenas (1991, 1993, 1994 dan 1995). Secara umum, penelitian yang pernah dilakukan bertujuan untuk mengungkap cara-cara hidup manusia masa lampau ketika manusia bertempat tinggal di gua.
Melihat tingginya minat peneliti arkeologi terutama yang berkecimpung dalam arkeologi prasejarah terhadap komples gua prasejarah bellae, maka jelas bahwa wilayah ini mempunyai peranan tersendiri dalam mentubangkan data prasejarah. Kompleks Gua Prasejarah Bellae menyediakan data yang tergolong cukup lengkap untuk penelitian arkeologis seperti artefak, ekofak, dan lukisan dinding. Oleh karena itu, peluang penelitian arkeologi masih memungkinkan terus berlanjut di masa mendatang. Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan laboratorium dalam mengkaji kehidupan manusia prasejarah yang memanfaatkan gua sebagai tempat tinggal ataupun kegiatan ritual.
Dalam disiplin ilmu antropologi, hal yang menarik menjadi objek penelitian yakni cap tangan. keberadaan cap tangan di dinding-dinding berpeluang menjadi objek penelitian. Walaupun Kompleks Gua Prasejarah Bellae ada keterputusan hubungan dengan budaya masyarakat sekarang di Sulawesi selatan, namun penggunaan simbol cap tangan yang dianggap sebagai penolak bala masih dapat ditemukan di Kabupaten Barru dan Kabupaten Soppeng. Kenyataan ini menjadi menarik apabila dikaji dari sisi antropologi.  
Dalam ilmu-ilmu kebumian disiplin ilmu yang terkait adalah geografi dan geologi. Dari sisi ilmu geografi, lukisan dinding juga merupakan salah satu instrumen untuk mengungkap lingkungan purba dimana lukisan tersebut berada. Lukisan perahu yang berada pada dinding gua mengisyaratkan bahwa lingkungan di sekitarnya merupakan daerah perairan baik yang berupa rawa maupun laut dangkal. Hal ini diperkuat dengan tinggalan lain berupa kerang-kerang habitat air tawar maupun air payau.
Dari sisi ilmu geologi, berkaitan erat dengan letak Kompleks Gua Prasejarah Bellae di kawasan kars Maros-Pangkep. Kawasan kars Maros-Pangkep dicirikan dengan bukit-bukit berlereng terjal yang sebagian besar genesanya dipengaruhi oleh struktur geologi. Sebelum diperlebar dan diperluas oleh proses pelarutan atau karstifikasi, struktur ini membentuk bangunan menara yang sangat khas (kars tower) (Samodra, 2003: 28-116). Kars juga mempunyai kandungan mineral utama untuk pertambangan batu kapur  yang merupakan hasil pengangkatan dari jaman Miosen, termasuk juga kontribusinya dalam penyusunan sejarah geologi Sulawesi (Whitten, Mustafa dan Haederson, 1987: 1-14).
Dalam disiplin ilmu Biologi, keberadaan berbagai flora dan fauna yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan objek penelitian. Cangkang kerang yang sering dinterpretasikan sebagai sisa makanan, untuk mengetahui kandungan gizinya, maka ilmu biologi memegang peranan penting. Berbagai jenis flora dan fauna endemik yang terdapat di Bellae (lihat Bab II) merupakan objek penelitian biologi yang potensial. Dalam survei bersama yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Biologi dan mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin pada tahun 2006, di Kompleks Gua Prasejarah Bellae ditemukan flora (sejenis pakis) dan fauna (sejenis lipan) spesies baru. Ini mengindikasikan bahwa Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai potensi penelitian biologi di masa yang akan datang.   
3.    Nilai Penting Kebudayaan.
Merujuk pada sumberdaya arkeologi Kompleks Gua Prasejarah Bellae, maka Kompleks gua prasejarah Bellae berdasarkan tinggalan artefaktualnya bisa dikategorikan sebagai hasil pencapaian budaya masyarakat prasejarah di Sulawesi Selatan. Nilai penting kebudayaan di Kompleks Gua Prasejarah mencakup nilai estetik dan nilai publik.  Nilai estetik terlihat pada temuan lukisan dinding yang dibuat sekitar 5.000 tahun yang lalu. Lukisan dinding yang merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat yang membuatnya bisa jadi menjadi data primer untuk kepentingan bagi mereka yang menggeluti seni. Bagaimana peran seni terhadap kehidupan, bagaimana seni berperan terhadap masyarakatnya dan bagaimana seni itu berperan terhadap dirinya sendiri baik ketika lukisan itu dibuat maupun ketika secara fisik masih hadir di jaman sekarang (Ackerman, 1963: 127). Nilai estetik juga terlihat pada lingkungan alam Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Pemandangan bukit/tower kars yang rimbun dan asri serta hamparan padi yang menghijau pada saat musim tanam merupakan salah satu aspek nilai penting estetika.. Keserasian antara dengan bukit karst denganm hamparan hijau di persawahan merupakan lanskap budaya yang mempunyai nilai estetika tinggi.
Nilai publik yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae mencakup sarana pembelajaran dan kepariwisataan. Sebagai media pembelajaran, Kompleks Gua Prasejarah Belae memiliki kekayaan dan kekhasan temuan arkeologi. Temuan arkeologi yang berupa lukisan dinding, alat batu dan sisa-sisa makanan serta hubungan antar gua dalam satu kawasan tertentu dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi generasi mendatang untuk melihat satu periode tertentu dalam prasejarah di Sulawesi Selatan. Tata cara pembelajaran bukan hanya sebatas membaca laporan penelitian, tetapi masyarakat dapat mengetahui proses pengungkapan masa lampau melalui penelitian. Sampai saat ini, penelitian prasejarah di Bellae hanya dilakukan oleh mereka yang berkecimpung dalam disiplin ilmu arkeologi saja.
Dari segi kepariwisataan, Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai potensi untuk dimanfaatkan. Pada tahun 2006 pemerintah Kabupaten Pangkep mulai memanfaatkan Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagai objek wisata. Salah satu program kerja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pangkep adalah pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana objek wisata purbakala dengan sasaran terwujudnya pembangunan objek dan daya tarik wisata (Laporan Program Kerja Dinas Pariwisata Kabupaten pangkep, 2006: 10). Salah satu objek purbakala yang menjadi sasaran dari program kerja tersebut adalah Leang Caddia yang berada di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Program kerja tersebut adalah pembuatan jalan dan tangga berupa beton menuju mulut gua serta pembuatan dua gardu
Pemanfaatan juga dilakukan oleh BP3 Makassar di Leang Sakapao. Beberapa fasilitas bagi pengunjung seperti tangga beton, tempat duduk daro beton dan tangga kayu untuk menjangkau mulut gua telah dibangun. Pemanfaatan Leang Sakapao oleh BP3 Makassar didasarkan atas pertimbangan bahwa Leang Sakapao mempunyai jenis tinggalan lukisan dinding yang bervariasi dan mempunyai panorama alam yang paling indah.
Walau Kompleks Gua Prasejarah Bellae telah dimanfaatkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta BP3 Makassar, data resmi jumlah pengunjung sampai sekarang belum ada. Hal ini diakibatkan kompleks gua prasejarah bellae belum dikomersilkan (belum dipungut biaya dari pangunjung) sebagaimana di beberapa daerah tujuan wisata. Data kunjungan hanya bisa ditemukan dalam bentuk catatan buku tamu dari penjaga situs. Sebagian besar jumlah pengunjung mempunyai tujuan jalan-jalan serta penyaluran hobby baik yang berupa panjat tebing maupun susur gua tercatat 141 orang selama kurun waktu 1999 – 2005.
Bagi sebagian masyarakat yang bermukim di sekitar gua-gua prasejarah, kehadiraan gua-gua prasejarah membawa dampak baik secara ekonomi maupun sosial. Beberapa penduduk oleh BP3 Makassar dijadikan sebagai tenaga honorer yang bertugas sebagai penjaga situs. Bahkan beberapa dari mereka telah diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Pekerjaan sebagai penjaga situs baik yang masih berstasus sebagai tenaga honorer terlebih yang berstatus pegawai negeri sipil menurut pengamatan penulis membawa dampak tidak hanya hanya dari segi ekonomi tetapi juga segi sosial. Ada satu kebanggaan tersendiri dengan profesi sebagai penjaga situs terlebih yang sering menerima dan mengantar pengunjung dari luar (baik secara individu maupun kelembagaan).
Di samping potensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata, kars di Kompleks Gua Prasejarah Bellae mengandung nilai ekonomi untuk pertambangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Pertambangan Kabupaten Pangkep, dimana Kompleks Gua Prasejarah Bellae termasuk kars kelas I  sehingga merupakan kars yang sangat potensial untuk bahan baku semen dan marmer. Walau demikian, kars ini dilarang untuk ditambang (lihat Bab V) karena dianggap dapat menyebabkan kerusakan kawasan kars yang membentang antara Maros dan Pangkep. Pemanfaatan kars sebagai bahan tambang, walau mempunyai nilai ekonomi yang tinggi tetapi dapat mengakibatkan kerusakan pada kars secara permanen. Padahal, selain bentukan alam yang unik dan khas, kars mempunyai potensi sebagai resapan air yang mampu mengatasi ketersediaan air di permukaan di samping potensi gua-gua prasejarah yang terdapat di dalamnya (Suryatmojo, 2006: 5-6).
Untuk memahami nilai penting sumberdaya budaya maka perlu diadakan pembobotan. Pembobotan dimaksudkan untuk menentukan prioritas pengelolaan dan pelestarian (Tanudirjo, 2004b: 7). Pembobotan dilakukan dengan melihat unsur kelangkaan, umur, dan keunikan Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Untuk menentukan nilai bobot dari nilai penting sejarah digunakan unsur kelangkaan. Hal ini untuk melihat apakah Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagai satu-satunya bukti keberadaan budaya Toalean di Sulawesi Selatan atau tidak. Unsur umur digunakan untuk menentukan nilai bobot dari nilai penting ilmu pengetahuan. Hal ini mengingat unsur umur sering menjadi variable penelitian dalam ilmu pengetahuan (Tanudirjo, 200b: 9). Unsur keunikan untuk menentukan nilai bobot nilai penting kebudayaan.  Kriteria nilai bobot nilai penting dibagi atas tiga nilai yakni tidak penting, penting dan sangat penting. Kriteria tidak penting jika nilai penting sumberdaya budaya tidak langka, tidak tua, dan tidak unik berdasarkan kriteria pembobotan. Penting jika sumberdaya tersebut walaupun bukan satu-satunya tetapi jarang ditemukan, tidak tua, tapi juga tidak terlalu muda, dan mempunyai keunikan yang dapat ditemukan di daerah lain. sangat penting apabila sumberdaya budaya bersifat langka, terutama jika hanya satu, sangat tua dan mempunyai berbagai lapisan budaya, serta mempunyai keunikan yang khas,
Secara sederhana pembobotan dan nilai bobot nilai penting sumberdaya budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae terlihat pada tabel dibawah ini.

No.
Nilai Penting
Pembobotan
Nilai Bobot
1
Sejarah
Sebagai bukti bahwa pernah berlangsung kebudayaan Toalean di Sulawesi Selatan, Kompleks Gua Prasejarah Bellae bukan sebagai bukti tunggal. Ada beberapa sumberdaya budaya sejenis yang tersebar di kawasan karst maros-pangkep.

Penting
2
Ilmu Pengetahuan
Sebagai sumberdata penelitian, Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai rentang waktu yang panjang baik dari pertanggalan arkeologi maupun pertanggalan geologi. Pada tataran pengakuan, Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak hanya diteliti oleh peneliti Indonesia, tetapi juga peneliti luar negeri.

Sangat Penting
3
Kebudayaan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak hanya mempunyai nilai estetik sumberdaya arkeologi,tetapi juga seni dan lingkungan alamnya. Mempunyai potensi sumberdaya budaya, sumberdaya alam dan kesatuan antara sumberdaya budaya dan sumberdaya alam (lanskap budaya) untuk kepentingan pariwisata. Dapat menjadi media pembelajaran yang lengkap untuk generasi selanjutnya

Sangat Penting

Tabel  2. Bobot Nilai Penting Kompleks Gua Prasejarah Bellae
Berdasarkan pada hasil pembobotan nilai penting Kompleks Gua Prasejarah Bellae, maka dapat disimpulkan bahwa Sumberdaya budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai bobot nilai penting sejarah yang penting, bobot nilai penting ilmu pengetahuan dan nilai penting budaya yang sangat tinggi. Oleh karena itu, maka perlu ada strategi pengelolaan yang tepat untuk melestarikan nilai penting yang tinggi tersebut.
D.      Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae
1.    Rekomendasi Pemanfaatan
Berdasarkan hasil analisa nilai penting dan peluang pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae, maka pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae harus diarahkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kepentingan kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
a.    Kepentingan ilmu pengetahuan.
Dalam pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae, perlu ada keleluasan akses penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan mengingat sumberdaya budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak hanya sebagai objek penelitian arkeologi, tetapi mencakup antropologi, biologi, dan ilmu-ilmu kebumian. Keleluasan akses tidak hanya ditujukan pada peneliti, tetapi keleluasan akses mencakup masyarakat untuk bebas menafsirkan sumberdaya budaya tersebut menurut mereka sendiri. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, salah satu bentuk akses masyarakat adalah terlibat dalam kegiatan penelitian. Masyarakat tidak hanya sekedar menjadi konsumen dari hasil penelitian, tetapi dapat juga mengetahui dan berpartisipasi dalam proses penelitian sehingga masyarakat dapat mengerti bagaimana sebuah persoalan ilmu pengetahuan dipecahkan. Dalam pemanfaatan untuk kepentingan ilmu pengetahuan harus tetap mempertahankan informasi yang asli sehingga selalu membuka peluang untuk penelitian selanjutnya. Pengetahuan atau tafsiran tentang masa lampau bersifat relatif dan terus berubah dari waktu ke waktu. Penafsiran juga sangat tergantung pada konteks sosial budaya sang penafsir.
Sebagai contoh pemanfaatan sumberdaya budaya yang berdasarkan  pada nilai penting ilmu pengetahuan adalah pemanfaatan situs Mount Vernon  di Sungai Potomac dekat Washington, D.C, Amerika. Situs ini didesain  dengan model wisata pendidikan dimana pengunjung yang datang dapat berpartisipasi sebagai peneliti dalam aktivitas penelitian arkeologis, seperti kegiatan penggalian (ekskavasi). Akibat pelibatan publik dalam kegiatan penggalian, menjadikan situs ini selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan (White, 2002: 146-147).
b.    Kepentingan kebudayaan.
Dalam pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae untuk kepentingan kebudayaan mencakup dua nilai yakni nilai estetika dan nilai publik. Pemanfaatan untuk kepentingan kebudayaan berdasarkan pada estetik adalah tetap mempertahankan unsur estetika yang mencakup lukisan dinding dan keserasian antara sumberdaya budaya dan lingkungannya. Sumberdaya budaya yang merupakan penyusun nilai estetika tidak ditafsirkan hanya sebatas keindahan produk masa lalu, tetapi juga peran dan fungsinya dalam konteks masyarakat sekarang. Pemanfaatan untuk kepentingan kebudayaan berdasarkan pada nilai publik adalah menjadikan Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagai media/sarana pembelajaran untuk generasi mendatang. Proses pembelajaran dalam arti luas tidak terbatas hanya di ruang kelas tetapi juga mencakup pendidikan di luar sekolah. Pendidikan di ruang kelas dilakukan setiap hari di sekolah, sedang cakupan pendidikan di luar sekolah antara lain berupa kunjungan  ke objek maupun praktek. Bentuk pemanfaatan ini terkait dengan bentuk pemanfaatan pada nilai ilmu pengetahuan.
Dari sisi pariwisata, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae harus direncanakan secara bersama oleh stakeholder sehingga dapat menciptakan keadilan, baik peran dalam pelestarian maupun pemanfaatan. Perlu ada penyamaan visi antara stakeholder bahwa Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan sumberdaya yang mempunyai nilai ilmu pengetahuan yang tinggi sehingga dalam pemanfaatannya aspek pelestarian harus menjadi kerangka kerja. Pelestarian tidak sekedar melestarikan fisik, tetapi juga melestarikan nilai penting itu sendiri.
Sebagai contoh bentuk pemanfaatan yang berdasarkan pada nilai kebudayaan dapat kita lihat pada pemanfaatan situs Petra di Yordania. Terletak di  barat daya Yordania, ± 230 km selatan kota Amman ibu kota Jordania Petra dimanfaatkan sebagai daerah tujuan wisata dengan nama Petra National Park. Masyarakat berperan aktif dalam usaha pemanfaatan petra dengan cara  berpartisipasi pada usaha pelayanan dalam tingkat wisata mikro. Usaha penginapan dalam skala kecil hanya ditujukan untuk masyarakat lokal. Begitu juga dengan masyarakat yang mempunyai rumah yang berasitektur tradisional diarahkan untuk dijadikan sebagai penginapan yang khas di Petra. Hal ini mendorong peningkatan standar hidup masyarakat serta membangun kesadaran publik untuk mengapresiasi dan melindungi Petra (Najjar, 1997: 36-40). Bahkan situs Petra dijadikan sebagai pilot project penelitian bagaimana masyarakat dapat bertahan hidup dengan sumberdaya air terbatas. Hasil penelitian menjadi rekomendasi untuk mengatasi persoalan masyarakat yang hidup dalam keterbatasan sumber air bersih, serta menjadi solusi dalam pemanfaatan sumberdaya air oleh manusia demi menjaga kestabilan ekosistem.
Salah satu alternatif bentuk pemanfaatan yang dapat diterapkan di Kompleks Gua Prasejarah Bellae adalah menjadikan Kompleks Gua Prasejarah Bellae menjadi Laboratorium alam. Sebagai laboratorium alam, Kompleks Gua Prasejarah Bellae berfungsi sebagai pusat penelitian dari berbagai disiplin ilmu, khususnya disiplin ilmu arkeologi. Ada berbagai alasan pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagai laboratorium alam. Pertama, pemanfaatan sebagai laboratorium alam berarti memanfaatkan Kompleks Gua Prasejarah Bellae sesuai dengan nilai pentingnya yakni nilai ilmu pengetahuan.
Kedua, dalam penerapannya, kegiatan penelitian di laboratorium alam dapat melibatkan masyarakat dalam proses penelitian sehingga masyarakat dapat memahami sumberdaya budaya baik bentuk, fungsi maupun proses penafsirannya. Ketiga, Kompleks Gua Prasejarah Bellae memiliki data baik secara kuantitas maupun kualitas yang memungkinkan untuk dilakukan penelitian baik arkeologi maupun disiplin ilmu lainnya. Keempat, pemanfaatan sebagai laboratorium alam, dapat melibatkan masyarakat dalam proses penelitian sebagaimana pelibatan masyarakat pada situs Mount Vernon. Dengan demikian, proses pemberian pemahaman tentang pentingnya sumberdaya budaya akan berjalan semakin efektif.       
Dalam penerapannya, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagai laboratorium alam tentunya mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Sebagai laboratorium alam, ada kesan pemanfaatan hanya diperuntukkan oleh ilmuwan atau peneliti. Oleh karena itu, untuk tetap memberi akses pada  masyarakat luas perlu ada penyediaan lahan tersendiri untuk dimanfaatkan sebagai museum terbuka yang terbebas dari kegiatan penelitian arkeologis. Museum terbuka juga merupakan pusat informasi yang berkaitan dengan Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan berfungsi sebagai wahana pembelajaran bagi generasi muda. Berdasarkan pada kualitas dan kuantitas sumberdaya arkeologi serta potensi lingkungannya, Leang Sakapao dan Leang Caddia mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai museum terbuka. Hal ini juga untuk lebih memfokuskan jenis pemanfaatan pada Leang tersebut yang telah dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan BP3 Makassar menjadi pemanfaatan yang berdasarkan pada nilai penting kebudayaan.
Dengan demikian, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang menggabungkan antara laboratorium alam dan museum terbuka dapat mencerminkan dan tetap mempertahankan nilai penting yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Berbagai kepentingan stakeholder dapat terakomodasi baik untuk kepentingan ideologik, akademik, dan ekonomik yang dapat mewakili berbagai kepentingan stakeholder yang terkait sehingga potensi konflik dapat dimiminalisir. Peluang pemanfaatan sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, dimungkinkan untuk menerapkan bentuk pemanfaatan berupa laboratorium alam dan museum terbuka.
2.    Model Pengelolaan
Untuk melaksanakan pengelolaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang efektif, akomodatif dan berkelanjutan, maka perlu ada koordinasi antara stakeholder terkait. Stakeholder harus bersama-sama menentukan kebijakan pemanfaatan dan menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka. Jika selama ini kebijakan pelestarian dan pemanfaatan menjadi otoritas negara, saatnya kebijakan pelestarian dan  pemanfaatan tidak lagi diputuskan sepihak oleh instansi pemerintah, tetapi perlu mengakomodasi kepentingan stakeholder yang lain sehingga pemanfaatan bisa bermanfaat bagi semua pihak.  Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak lagi dimanfaatkan untuk kepentingan pelestarian semata menurut perspektif negara, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 
Untuk menjalankan pengelolaan yang akomodatif dan berkelanjutan secara operasional, maka perlu dibentuk lembaga pengelola. Sebagai lembaga yang bertujuan menegosiasikan kepentingan stakeholder, maka anggota lembaga bersama merupakan wakil-wakil dari stakeholder yakni BP3 Makassar, Dinas Pariwisata Kabupaten Pangkep, Dinas Pertambangan Kabupaten Pangkep, Pemerintah setempat, akademisi, organisasi pencinta alam, dan masyarakat. Selain stakeholder tersebut, lembaga ini juga beranggotakan LSM yang bergerak baik di bidang pelestarian budaya maupun yang bergerak di bidang lingkungan. Peran LSM  ikut mengontrol pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae sehingga pemanfaatan tersebut bersifat berkelanjutan tidak bersifat eksploitatif. LSM juga diharapkan dapat menyuarakan kepentingan masyarakat yang selama ini tidak pernah terlibat dalam pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae.
Melihat beragamnya kepentingan dari anggota lembaga bersama tersebut, langkah awal yang harus dilakukan oleh lembaga bersama adalah menyamakan visi tiap stakeholder. Penyamaan visi sangat penting untuk lebih memudahkan menegosiasikan kepentingan sehingga rencana pemanfaatan yang dihasilkan dapat mengakomodasi kepentingan semua stakeholder. Tugas utama lembaga bersama itu sendiri adalah membuat rencana stategis, implementasi, monitoring dan evaluasi sebagaimana langkah kerja CRM. Rencana strategis yang berdasarkan pada nilai penting, peluang dan hambatan pengelolaan mencakup strategi pelestarian, strategi pemanfaatan dan strategi lain yang dianggap perlu. Selanjutnya mengimplementasikan rencana strategi tersebut dan memonitoring pelaksanaannya.
Pada tataran implementasi, setiap stakeholder melaksanakan perannya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Jika selama ini peran pelestarian hanya dilakukan oleh BP3 Makassar, maka dalam pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan tanggung jawab bersama stakeholder. Dinas Pariwisata tidak sekedar memanfaatkan, tetapi juga melestarikan. Peran masyarakat tidak sebatas memberikan usulan dalam penyusunan rencana strategis, tetapi mencakup pelestarian dan ikut menikmati hasil dari pemanfaatan. Organisasi pencinta alam tidak hanya mencintai alam dan, memanfaatkan potensi sumberdaya alam, tetapi juga melestarikan sumberdaya budaya. 
Agar saat implementasi dari rencana strategis berjalan sesuai dengan rencana dan tidak keluar dari koridor kesepakatan, serta tetap memperhatikan aspek pelestarian, maka perlu ada monitoring atau pengawasan. Pengawasan ada dua macam yakni pengawasan secara internal dan pengawasan secara eksternal. Pengawasan secara internal dilakukan oleh pengelola Kompleks Gua Prasejarah sendiri, dan pengawasan eksternal dilakukan oleh akademisi dan LSM. Pengawasan diperlukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengelolaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae.
Berangkat dari pemikiran bahwa pemanfaatan sumberdaya budaya disesuaikan dengan konteks sosial masyarakat, maka tidak tertutup kemungkinan kepentingan stakeholder pada suatu saat akan berubah sesuai perkembangan jaman. Pemaknaan masyarakat tentang kompleks gua prasejarah Bellae tentunya akan ikut berubah. Oleh karena itu, rencana strategis pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae harus merupakan proses dinamis dan bukan sebagai produk final. Sebagai sebuah proses, maka pelaksanaan rencana strategi akan dievaluasi bersama oleh stakeholder dengan melihat sisi positif dan negatifnya. Penilaian kembali terhadap kompleks gua prasejarah Bellae harus dilakukan untuk melakukan perencanaan kembali sesuai dengan konteks sosial masyarakat.
Dengan demikian, model pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae  yang diajukan akan mampu menjaga kelestarian sumberdaya arkeologi, tidak bersifat eksploitatif dan berkelanjutan. Model pemanfaatan sebagaimana yang dijelaskan dalam tulisan ini hanya pada tataran konsep. Menyangkut pelaksanaan konsep pada tataran aplikatif merupakan tanggungjawab stakeholder lewat lembaga bersama yang diusulkan. Jika dalam perkembangan selanjutnya model ini berhasil pada tahap pelaksanaan, maka konsep ini bisa dijadikan rujukan dan dapat diadaptasi untuk pemanfaatan sumberdaya arkeologi yang sejenis.
3.        Penutup
Tingginya nilai penting Kompleks Gua Prasejarah Bellae tentunya harus dipertahankan dan dilestarikan untuk kepentingan bersama saat ini maupun untuk kepentingan generasi selanjutnya. Pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah tentunya harus tetap mengacu pada nilai penting sehingga sehingga pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak bersifat eksploitatif yang bahkan dapat menurunkan bahkan menghilangkan nilai penting tersebut. Pemanfaatan bukan berdasarkan satu kepentingan tertentu, tetapi harus mencakup berbagaai kepentingan stakeholder yang terkait.
Oleh karena itu, dalam upaya pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae perlu ada suatu konsep pemanfaatan dalam kerangka Cultural Resource Management (CRM). Perlu ada kesamaan visi dari tiap stakeholder bahwa pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae bukan hanya pada aspek kebendaan saja tetapi mencakup  nilai penting yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Pemanfaatan yang dapat menjembatani kepentingan stakeholder yang terkait, serta pemanfaatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Akhirnya tulisan ini hanya sebatas memberi konsep dasar pengelolaan dan rekomendasi pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Pengembangan selanjutnya yang sesuai dengan tuntutan serta teknis pelaksanaan menjadi wewenang dari stakeholder yang terkait. Konsep dasar yang diajukan tidak tertutup kemungkinan suatu saat perlu dievaluasi kembali sesuai dengan tuntutan kepentingan tiap stakeholder. Selalu perlu ada penyesuaian-penyesuaian antara konsep pemanfaatan dengan konteks sosial masyarakat. Dengan demikian pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae adalah pemanfaatan dalam kerangka pelestarian, berkelanjutan dan tetap memperhatikan keselarasan lingkungan serta daya dukung sumberdaya budaya.


[1] Bulu merupakan bahasa Bugis yang berarti gunung. Dalam bahasa Bugis istilah bulu mencakup istilah gunung dan bukit. Dalam tulisan ini, penggunaan kata bulu untuk menyebut Bulu Matojeng dan Bulu Matenre lebih mengarah pada istilah bukit.



Sumber:

No comments:

Post a Comment