Foto: Eko Rusdianto
Jejak Leluhur Manusia
Gua-gua di sepanjang Maros dan Pangkep merupakan bukti nyata peradaban manusia di Sulawesi.
OLEH: EKO RUSDIANTO
Dimuat: 31 Agustus 2012
GUGUSAN punggung pegunungan cadas (karst) di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan, berderet seperti sebuah permainan puzzle.
Letaknya beraturan, membentuk ceruk, lembah, dan tebing yang curam. Di
sana terdapat ratusan gua yang penuh dengan lukisan cap tangan, lukisan
manusia, tinggalan tembikar, alat-alat batu, kerang-kerang laut, hingga
tulang-tulang hewan.
Jumlah gua yang memiliki tinggalan
arkeologi di karst Maros dan Pangkep mencapai ratusan. Gua-gua itu
seperti gua pada umumnya. Ada mulut, ada dinding, ada langit-langit.
Ragam gua pun bervariasi. Ada yang memiliki kedalaman ratusan meter, ada
pula yang menjulang vertikal. Namun gua-gua ini memiliki daya pikat
tersendiri. Ia menjadi gudang ilmu pengetahuan untuk menentukan
perjalanan panjang manusia di Sulawesi dan Nusantara.
Pertengahan Mei lalu, Muhammad Nur,
peneliti prasejarah Universitas Hasanuddin Makassar, mendampingi sekitar
15 mahasiswa arkeologi Universitas Hasanuddin untuk melakukan ekskavasi
di kompleks gua prasejarah Bellae, yang berada di kecamatan Kecamatan
Minasa Te’ne, Pangkep. Setelah melakukan ekskavasi, mereka berkumpul di
salah satu rumah penduduk.
Muhammad Nur tiba-tiba terkesima dengan
sebuah batu yang ukurannya lebih kecil dari bola kasti tapi berbentuk
oval. “Ini batu sungai. Jelas ini bukan bagian dari batu kapur seperti
bahan batuan dari karst,” katanya.
Dia membolak-balikkan dan mengamatinya dengan tekun. “Ini ditemukan pada spit berapa dan kedalaman berapa?” lanjutnya.
Para mahasiswa saling berpandangan. “Di Leang Lompoa, spit 11, kedalaman 140 sentimeter,” kata Erwin. Leang adalah sebutan masyarakat setempat untuk gua. Sementara spit adalah salah satu teknik dalam peggalian arkeologi yang relatif mudah, meski mesti telaten dan hati-hati.
Menurut Muhammad Nur, batu sungai
kemungkinan diangkut manusia di masa lalu ke gua, dan digunakan sebagai
penumbuk kerang atau alat lain bagi keperluan sehari-hari.
Keesokan harinya, tiga tim ekskavasi mahasiswa itu bergegas menuju gua.
Di dinding Lompoa, saat memasuki
mulutnya, pada sisi kanan terdapat beberapa jenis kerang, siput dan batu
sungai yang menempel di tebing karst. Jika tak jeli, sisa-sisa makanan
itu tak ubahnya ornamen gua. “Ini adalah konsumsi manusia pada masa itu.
Dulu kerang-kerang ini terkubur di bawah tanah. Tapi tanah gua ini
masih aktif dan selalu longsor, jadinya sisa makanan ini tersingkap
naik,” kata Muhammad Nur.
Manusia Penghuni Gua
Publikasi mengenai gua-gua itu kali
pertama dilakukan naturalis dan etnolog asal Swiss, Paul dan Fritz
Sarasin, tahun 1902. Tiga tahun kemudian, mereka menerbitkan hasil
petualangan mereka dalam buku dua jilid Reisen in Celebes: Ausgefhrt in Den Jahren 1893-1896 Und 1902-1903. Di buku itulah ada penyebutan manusia penghuni gua itu sebagai To Ala.
Orang-orang ini memiliki ciri-ciri fisik seperti orang Wedda yang
tinggal di Sailon, selatan India –sekarang Srilanka. Mereka menggunakan
peralatan dari logam dan menghias dinding-dinding gua dengan lukisan cap
tangan.
Namun arkeolog Australia David Bullbeck, mengatakan Sarasin bersaudara melakukan bias yang sangat besar. Menurut dia, To Ala bukanlah bagian atau orang-orang yang memiliki lukisan dalam gua-gua. “Ciri-ciri orang To Ala yang digambarkan Sarasin (Paul dan Fritz) itu sama seperti orang sekarang,” kata Muhammad Nur.
Muhammad Nur juga mengutip Mattulada,
sejarawan Universitas Hasanuddin. Menurut dia, ada kebiasaan masyarakat
di Bugis dan Makassar untuk memberikan hukuman adat bagi orang yang
melakukan kejahatan. Misalnya, tradisi dipaoppangi tana (orang
harus meninggalkan kampung halaman atau diasingkan). Orang-orang dengan
hukuman itulah yang kemudian menjadi penghuni gua. “Sebutan To Ala menjadi kata bagi orang-orang yang tinggal di perkampungan dan orang yang berada dalam hutan,” lanjut Muhammad Nur.
Lukisan-lukisan gua yang berada di karst
Maros-Pangkep memiliki dua warna, merah dan hitam. Kesimpulan sementara
beberapa peneliti, lukisan merah lebih tua dari hitam karena warna
hitam di beberapa gua selalu menimpa merah. Namun usia lukisan belum
dapat diketahui, sekalipun ada yang memperkirakannya pada fase
Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu.
Namun menurut Truman Simanjuntak, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslip) Arkeologi Nasional, seni cadas (rock art)
atau lukisan gua bukanlah budaya penutur Austronesia. Budaya seni cadas
berkembang di Eropa sejak 30 ribu tahun lalu, sementara di Indonesia
atau Asia Tenggara berkembang pada masa awal Holosen sekitar 10.000
sampai 130.000 tahun lalu dan kemungkinan berasal dari Australia.
Jumlah manusia penghuni gua diperkirakan
10-40 orang. Mereka berinteraksi satu sama lain dan mengembangkan pola
hidup mengumpulkan makanan. Tapi pada masa kedatangan penutur
Austronesia, orang-orang ini mulai meninggalkan gua.
Menurut Truman Simanjuntak, penutur
Austronesia mulai menempati bentang alam terbuka untuk hidup menetap dan
mempraktikan proses domestifikasi. “Tentu pada awalnya masih setingkat
gubuk, tapi sejalan dengan peningkatan kebutuhan dan di-support dengan teknologi, rumah mereka berkembang lebih kompleks,” ujarnya.
Awal Manusia Sulawesi
Menjelajah kepulauan Sulawesi seperti
memasuki jalur misteri. Penuh tanda tanya dan masih berdasar pada
kemungkinan-kemungkinan. Ketika beberapa pulau di Nusantara mengalami
tingkat penurunan permukaan air laut dan mulai bersambungan, Sulawesi
tetap berdiri sendiri.
Menurut Harry Widianto, peneliti Balai
Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, sekitar 18 ribu tahun lalu
terjadi perubahan iklim di Eropa dan Amerika. Air laut menjadi es dan
permukaan air turun. Efeknya mencapai garis khatulistiwa. Terjadi
penurunan permukaan air laut hingga 120 meter yang mengakibatkan laut di
sekitar Pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa mengering (Paparan Sunda).
Tapi Sulawesi tak mengalami pendangkalan.
A.M. Imran, geolog Universitas
Hasanuddin Makassar, mengatakan itu disebabkan Sulawesi memiliki palung
laut di setiap sisinya. Namun bukan berarti permukaan air lautnya tak
pernah surut. Berdasarkan penelitian Imran tahun 1983 di kabupaten
Bulukumba, terjadi tiga kali penurunan permukaan air laut, sekalipun tak
signifikan. “Saya kira batuan karst di kawasan karst Maros-Pangkep
merupakan paleo beach atau bekas pantai,” katanya.
Perubahan iklim yang berlangsung lama
itu mendorong persebaran manusia. Harry memperkirakan persebaran awal
manusia (Homo erectus) dari Afrika terjadi pada 1,8 juta tahun lalu.
Mereka berjalan ke Asia bagian Tengah, Timur, dan Tenggara, dan menjadi
spesies pertama yang bisa beradaptasi dengan iklim, yang dinamakan masa
plestosen.
Spesies ini kemudian menyebar ke
beberapa wilayah di Asia Tenggara. Peneliti Puslip Arkeologi Nasional
Truman Simanjuntak, mengatakan persebaran itu pun sampai ke pulau
Sulawesi. Salah salah satu bukti yang menguatkan hal itu adalah
ditemukannya peralatan batu (litik) di lembah Wallanae, Cabbenge, Kabupaten Soppeng. “Kemungkinan manusia penghuninya adalah Homo Erectus atau paling tidak Homo Sapiens itu,” kata Simanjuntak dalam emailnya.
“Jadi manusia tertua yang diperkirakan
hidup di lembah Wallanae adalah leluhur jauh (tidak langsung) dari
manusia Indonesia sekarang, termasuk Sulawesi,” lanjut Simanjuntak.
Sementara melihat situs prasejarah
lainnya, di gua-gua Maros dan Pangkep hanya ada dua gua yang berada pada
masa plestosen, yakni Leang Sakapao dan Leang Burung. Sementara ratusan
gua lainnya, temuan arkeloginya berada jauh setelah itu, yakni masa
Holosen awal 10.000 tahun lalu.
Kemudian gelombang migrasi kedua datang,
yang merupakan leluhur langsung manusia Indonesia, sekitar 4000 tahun
lalu, melalui teori Out of Taiwan. Migrasi ini adalah para penutur Austronesia atau ras Mongolid.
Perjalanan migrasi Out of Taiwan dipilih karena jalur melalui Taiwan lebih muda diakses. Dimulai
dari China, kemudian menuju Taiwan, dari Taiwan menuju Filipina, lalu
turun ke Kalimantan dan Sulawesi. Dari Sulawesi, mereka menuju Kepulauan
Polonesia. “Migrasi ini juga dikenal sebagai ‘migrasi kereta cepat’,”
kata Harry.
“Mereka datang dari Taiwan dengan sistem teknologi pelayaran sehingga mampu memasuki sungai-sungai,” ujar Truman Simanjuntak.
Tinggalan pada gua-gua di Maros dan
Pangkep, termasuk lukisan cap tangan, binatang, dan beberapa lainnya,
bukanlah budaya dari para penutur Austronesia, karena mereka sudah mulai
meninggalkan gua. Jadi setelah kedatangan para penutur Austronesia, ke
manakah manusia sebelumnya?
“Kemungkinan mereka punah, atau bisa
jadi mereka berpindah tempat,” kata Muhammad Nur. “Yang jelas, dengan
temuan-temuan dan tinggalan pada gua Maros dan Pangkep, ini memberi
petunjuk, bila Sulawesi sudah dihuni jauh sebelum kedatangan leluhur
manusia sekarang.”
Selain itu, Muhammad Nur mengatakan pentingnya Sulawesi karena merupakan zona percabangan (junction zone).
“Jika Sulawesi hilang, urutan-urutan migrasi terutama di kawasan
Pasifik dan Asia Tenggara hingga kepulauan akan ikut hilang,” katanya.
Restorasi
Hingga saat ini, Balai Arkeologi (Balar)
Makassar dan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulawesi
Selatan, Barat, dan Tenggara masih mencari cara merestorasi lukisan
itu. Kepala BP3 Muhammad Said mengatakan, kondisi lukisan gua saat ini
memprihatinkan. Ada banyak yang rusak karena kelakuan pengunjung,
masyarakat, lingkungan, hingga aktivitas tambang.
Menurut Said, ada beberapa gua yang
berdekatan langsung dengan area penambangan. Misalnya di gua
Lambatorang, Kamase, dan Bulu Tengae ada tambang marmer yang hanya
berjarak 100 meter. Padahal dalam regulasi sonasi situs, jarak amannya
adalah 300 meter, artinya bila menarik garis lurus diameternya mencapai
600 meter.
Aktivitas tambang di sekitar situs akan
menerbangkan debu dan mengubah suhu dengan cepat. Putaran angin yang tak
menentu akan membawa benda seperti debu dan partikel kecil lainnya,
yang bisa menutupi lukisan gua. Sebab, menurut Said, tak mungkin membuat
jaring di semua gua untuk menyaring debu.
Pada 2007, BP3 bekerjasama dengan
Universitas Hasanuddin dan Balar Makassar melakukan restorasi lukisan di
beberapa gua. Namun ternyata tak mudah. Mereka kesulitan mendapatkan
bahan-bahan yang sama atau mirip. Dari identifikasi atas lukisan cap
tangan di gua-gua Maros-Pangkep dan juga di Bone dan Bantaeng, diyakini
bahan yang digunakan berasal dari hematite atau bahan mineral batuan gesper. Namun bahan pelarut dan campurannya masih tanda tanya.
“Kita berharap ada bahan organik dalam campuran hematite itu agar usia lukisan bisa ditentukan,” kata Muhammad Nur.
Lukisan-lukisan gua di Maros-Pangkep
memiliki beberapa variasi, selain cap tangan, ada juga gambar binatang,
perahu, manusia, ikan, ayam, ular, dan beberapa garis yang bentuknya tak
ketahuan. Arkeolog Universitas Hasanuddin Iwan Sumantri mengatakan
lukisan itu memberikan gambaran umum kondisi lingkungan pada masanya.
“Kalau gambar cap tangan saya kira itu menunjukkan tradisi ritual,”
katanya beberapa waktu lalu.
Namun beberapa kondisi lukisan itu mulai
memudar. Ada yang terkelupas ada yang sudah tertutupi lumut, atau debu.
“Jika dibiarkan berlarut, lukisan gua akan hilang,” kata Budianto
Hakim, peneliti Balar Makassar.
Menurut dia, lukisan-lukisan gua rentan
rusak bila tak ada cara yang tepat menanganinya. “Dengan kondisi
lingkungan dan aktivitas di sekitaran gua, dalam waktu hanya dua tahun
lukisan bisa terkelupas, dan itu sudah terjadi,” katanya.
Bila lukisan-lukisan gua tersebut hilang, periode babakan sejarah manusia di Sulawesi atau di Indonesia akan hilang. Sumber:
http://historia.co.id/artikel/kuno/1064/Majalah-Historia/Jejak_Leluhur_Manusia
No comments:
Post a Comment