Memburu Terang Gunung Padang
Selama
tiga tahun terakhir, misteri Gunung Padang tetap belum terkuak.
Jam
03.30 WIB. Sebuah ketukan di jendela. “Jadi naik kita mbak.”
Seorang lelaki berkalung sarung dengan senter di tangan yang mengucapkan kalimat tersebut. Ia juga yang mengetuk jendela.
Antara bertanya dan memberi perintah tipis bedanya. Tapi kami ingat, bahwa semalam memang kami yang memintanya untuk membawa kami ke puncak Gunung Padang.
Sekitar 700 tangga kami mesti naik. Oksigen yang tipis membuat napas kami tersengal. Beda saat kami naik sore sebelumnya.
Persis di teras kedua gunung padang, kami berhenti. Di sebelah dua pohon besar, di pinggir lokasi yang ditutup terpal biru, kami duduk di atas batu.
Menghirup udara pelan-pelan. Menghirupnya melalui hidung dan mengeluarkannya lewat mulut. Mata terpejam. Pagi begitu hening. Udara begitu segar.
Tiba-tiba angin berembus kencang, ranting-ranting pohon bergoyang, lolongan anjing dari kejauhan, dan cericit burung riuh dari rimbunan pokok bambu di pinggir sungai. Terpal di sebelah kami bergemirisik.
Kami menghitung menit. Sampai kemudian suara itu terdengar lagi.
“Sudah mbak. Cukup. Kita sudah menyerap energi baik dan membiarkan energi buruk kita pergi.”
Laki-laki itu Nanang namanya. Juru kunci Gunung Padang. Usianya 40 tahun. Islam agamanya, tapi ia mempercayai bahwa alam punya caranya sendiri mengatur keseimbangan.
Pagi itu, kami memang sengaja ingin menjajal “dongeng Gunung Padang”, tentang cerita para pencari spiritualitas yang ingin menemukan “dirinya” dalam keterkaitan dengan alam raya.
Nanang mempercayainya. Sementara kami adalah generasi yang selalu memandang segala hal dengan skeptisme tinggi.
Namun, Gunung Padang memang menyimpan pesona misteri. Bukan sekadar dalam cerita spiritual Nanang, melainkan juga pada keingintahuan para peneliti lintas disiplin.
Terletak di Dusun Gunung Padang RT 001/08, Desa Karyamurti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, keberadaan situs Gunung Padang sebenarnya sudah dilaporkan peneliti sejak 1914.
Tahun 1990-an, situs ini mulai dikunjungi sejumlah pelancong, meski tak banyak.
Dikelilingi perbukitan dan kebun teh, serta sejauh mata memandang bisa menatap puncak Gunung Gede-Pangrango, membuat para pengunjung betah berlama-lama di situs ini untuk menikmati keindahan alamnya. Kadang-kadang juga menikmati sensasi aura mistisnya, bukan riwayat situs itu sendiri.
Hingga kemudian pada 2011, situs Gunung Padang mendadak popular saat Tim Katastropik Purba, yang kemudian berlanjut dengan Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM), membeberkan temuannya ke publik.
Tim yang diinisiasi Andi Arief, staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana ini, meneliti lokasi-lokasi yang pernah terjadi bencana besar di masa lalu.
Situs Gunung Padang masuk dalam penelitian ini karena berada di sesar Cimandiri, daerah rawan bencana yang dapat menimbulkan gempa bumi.
Penelitian dipimpin Danny Hilman Natawidjaja, ahli geologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Lewat pemindaian yang dilakukan dengan peralatan georadar ditemukan bahwa di bawah permukaan tanah Gunung Padang terdapat batu-batu panjang dengan posisi horizontal atau rebah, sedangkan pemindaian geolistrik ada warna-warni di bawah permukaan tanah.
Dalam analisis geofisika, warna dan bentuk tertentu menunjukkan keberadaan rongga di bawah permukaan tanah.
Temuan ini membuat tim pada Februari 2012 melakukan pengeboran di bawah pimpinan Andang Bachtiar, geolog yang pernah menjadi Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dan juga pakar paleosedimentologi.
Saat kami ke Gunung Padang minggu ketiga September, pengeboran masih dilakukan. Kali ini di teras dua. Di lokasi yang berjarak satu meter dari tempat kami duduk di atas batu bersama Nanang pagi itu.
Mesin bor bekerja dari sekitar pukul 07.00 pagi hingga pukul 22.00. Kedalaman yag dicapai saat kami ke sana sudah mencapai hampir 22 meter.
Sementara itu, ekskavasi dilakukan di tiga titik. Satu di teras dua, tempat pengeboran dilakukan dan dua di teras lima. Sebelumnya, pada 2012, telah dilakukan pengeboran di teras 3 dan teras 5.
Situs yang menurut Danny Hilman merupakan peninggalan dua perabadan ini, terdiri atas lima teras, dengan susunan punden berundak. Luas situs ini diperkirakan 150 hektare, 10 kali luas Candi Borobudur di Jawa Tengah, dengan usia sekitar 13.000 tahun.
Analisis carbon dating (pengukuran umur lapisan berdasarkan kandungan unsur karbon di lapisan tersebut), menurut Dany, menunjukkan hal itu.
Kontan “temuan” ini memantik kontroversi. Ini artinya, Gunung Padang adalah situs peradaban tertua di dunia, melebihi Piramida Giza di Mesir, peradaban Mesopotamia, dan peradaban bangsa Arya, yang usianya antara 2.500-4.000 tahun Sebelum Masehi (SM).
“Itu kan sama saja mengatakan Gunung Padang sudah ada sebelum Ibrahim lahir,” ujar budayawan Radhar Panca Dahana. Ibrahim atau Abraham yang dikenal sebagai bapak bangsa Yahudi diperkirakan hidup sekitar 4.000 tahun SM.
Meski Radhar mempercayai temuan arkeologi bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sudah mencapai Tahiti di tahun 3.500-4.000 SM, ia menilai temuan Gunung Padang spekulatif.
Sama halnya dengan temuan ahli geologi dan fisikawan nuklir Arysio Santos serta ilmuwan Stephen Oppenheimer tentang Atlantis maupun Out of Sundaland.
“Daripada ngurusin Gunung Padang mending beradu klaim soal temuan Teuku Jacobs soal manusia hobbit. Klaim akademis harus diikuti klaim politis,” ucap Radhar.
Sebagian kalangan arkeolog juga dibikin gemas dengan temuan tim Gunung Padang. Mereka bahkan menuding aktivitas riset yang dilakukan tim Gunung Padang dilakukan secara serampangan dan tidak mengindahkan kaidah keilmuan arkeolog.
Namun alih-alih berhenti, temuan TTRM ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan membentuk Tim Nasional Pelestarian dan Pengelolaan Gunung Padang pada 17 Agustus 2014.
Tim ini merupakan gabugan dari para peneliti di TTRM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian ESDM, Gubernur Jawa Barat, Bupati Cianjur, dan TNI Angkatan Darat.
“Bergabung juga para arkeolog dan peneliti lainnya di luar TTRM. Total ada 47 peneliti,” ujar Sekretaris Timnas, Erick Ridzky.
Seorang lelaki berkalung sarung dengan senter di tangan yang mengucapkan kalimat tersebut. Ia juga yang mengetuk jendela.
Antara bertanya dan memberi perintah tipis bedanya. Tapi kami ingat, bahwa semalam memang kami yang memintanya untuk membawa kami ke puncak Gunung Padang.
Sekitar 700 tangga kami mesti naik. Oksigen yang tipis membuat napas kami tersengal. Beda saat kami naik sore sebelumnya.
Persis di teras kedua gunung padang, kami berhenti. Di sebelah dua pohon besar, di pinggir lokasi yang ditutup terpal biru, kami duduk di atas batu.
Menghirup udara pelan-pelan. Menghirupnya melalui hidung dan mengeluarkannya lewat mulut. Mata terpejam. Pagi begitu hening. Udara begitu segar.
Tiba-tiba angin berembus kencang, ranting-ranting pohon bergoyang, lolongan anjing dari kejauhan, dan cericit burung riuh dari rimbunan pokok bambu di pinggir sungai. Terpal di sebelah kami bergemirisik.
Kami menghitung menit. Sampai kemudian suara itu terdengar lagi.
“Sudah mbak. Cukup. Kita sudah menyerap energi baik dan membiarkan energi buruk kita pergi.”
Laki-laki itu Nanang namanya. Juru kunci Gunung Padang. Usianya 40 tahun. Islam agamanya, tapi ia mempercayai bahwa alam punya caranya sendiri mengatur keseimbangan.
Pagi itu, kami memang sengaja ingin menjajal “dongeng Gunung Padang”, tentang cerita para pencari spiritualitas yang ingin menemukan “dirinya” dalam keterkaitan dengan alam raya.
Nanang mempercayainya. Sementara kami adalah generasi yang selalu memandang segala hal dengan skeptisme tinggi.
Namun, Gunung Padang memang menyimpan pesona misteri. Bukan sekadar dalam cerita spiritual Nanang, melainkan juga pada keingintahuan para peneliti lintas disiplin.
Terletak di Dusun Gunung Padang RT 001/08, Desa Karyamurti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, keberadaan situs Gunung Padang sebenarnya sudah dilaporkan peneliti sejak 1914.
Tahun 1990-an, situs ini mulai dikunjungi sejumlah pelancong, meski tak banyak.
Dikelilingi perbukitan dan kebun teh, serta sejauh mata memandang bisa menatap puncak Gunung Gede-Pangrango, membuat para pengunjung betah berlama-lama di situs ini untuk menikmati keindahan alamnya. Kadang-kadang juga menikmati sensasi aura mistisnya, bukan riwayat situs itu sendiri.
Hingga kemudian pada 2011, situs Gunung Padang mendadak popular saat Tim Katastropik Purba, yang kemudian berlanjut dengan Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM), membeberkan temuannya ke publik.
Tim yang diinisiasi Andi Arief, staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana ini, meneliti lokasi-lokasi yang pernah terjadi bencana besar di masa lalu.
Situs Gunung Padang masuk dalam penelitian ini karena berada di sesar Cimandiri, daerah rawan bencana yang dapat menimbulkan gempa bumi.
Penelitian dipimpin Danny Hilman Natawidjaja, ahli geologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Lewat pemindaian yang dilakukan dengan peralatan georadar ditemukan bahwa di bawah permukaan tanah Gunung Padang terdapat batu-batu panjang dengan posisi horizontal atau rebah, sedangkan pemindaian geolistrik ada warna-warni di bawah permukaan tanah.
Dalam analisis geofisika, warna dan bentuk tertentu menunjukkan keberadaan rongga di bawah permukaan tanah.
Temuan ini membuat tim pada Februari 2012 melakukan pengeboran di bawah pimpinan Andang Bachtiar, geolog yang pernah menjadi Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dan juga pakar paleosedimentologi.
Saat kami ke Gunung Padang minggu ketiga September, pengeboran masih dilakukan. Kali ini di teras dua. Di lokasi yang berjarak satu meter dari tempat kami duduk di atas batu bersama Nanang pagi itu.
Mesin bor bekerja dari sekitar pukul 07.00 pagi hingga pukul 22.00. Kedalaman yag dicapai saat kami ke sana sudah mencapai hampir 22 meter.
Sementara itu, ekskavasi dilakukan di tiga titik. Satu di teras dua, tempat pengeboran dilakukan dan dua di teras lima. Sebelumnya, pada 2012, telah dilakukan pengeboran di teras 3 dan teras 5.
Situs yang menurut Danny Hilman merupakan peninggalan dua perabadan ini, terdiri atas lima teras, dengan susunan punden berundak. Luas situs ini diperkirakan 150 hektare, 10 kali luas Candi Borobudur di Jawa Tengah, dengan usia sekitar 13.000 tahun.
Analisis carbon dating (pengukuran umur lapisan berdasarkan kandungan unsur karbon di lapisan tersebut), menurut Dany, menunjukkan hal itu.
Kontan “temuan” ini memantik kontroversi. Ini artinya, Gunung Padang adalah situs peradaban tertua di dunia, melebihi Piramida Giza di Mesir, peradaban Mesopotamia, dan peradaban bangsa Arya, yang usianya antara 2.500-4.000 tahun Sebelum Masehi (SM).
“Itu kan sama saja mengatakan Gunung Padang sudah ada sebelum Ibrahim lahir,” ujar budayawan Radhar Panca Dahana. Ibrahim atau Abraham yang dikenal sebagai bapak bangsa Yahudi diperkirakan hidup sekitar 4.000 tahun SM.
Meski Radhar mempercayai temuan arkeologi bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sudah mencapai Tahiti di tahun 3.500-4.000 SM, ia menilai temuan Gunung Padang spekulatif.
Sama halnya dengan temuan ahli geologi dan fisikawan nuklir Arysio Santos serta ilmuwan Stephen Oppenheimer tentang Atlantis maupun Out of Sundaland.
“Daripada ngurusin Gunung Padang mending beradu klaim soal temuan Teuku Jacobs soal manusia hobbit. Klaim akademis harus diikuti klaim politis,” ucap Radhar.
Sebagian kalangan arkeolog juga dibikin gemas dengan temuan tim Gunung Padang. Mereka bahkan menuding aktivitas riset yang dilakukan tim Gunung Padang dilakukan secara serampangan dan tidak mengindahkan kaidah keilmuan arkeolog.
Namun alih-alih berhenti, temuan TTRM ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan membentuk Tim Nasional Pelestarian dan Pengelolaan Gunung Padang pada 17 Agustus 2014.
Tim ini merupakan gabugan dari para peneliti di TTRM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian ESDM, Gubernur Jawa Barat, Bupati Cianjur, dan TNI Angkatan Darat.
“Bergabung juga para arkeolog dan peneliti lainnya di luar TTRM. Total ada 47 peneliti,” ujar Sekretaris Timnas, Erick Ridzky.
Sumber : Sinar Harapan
No comments:
Post a Comment