Sunday, October 5, 2014

Naik Ke Teras Utama Gunung Padang, Pengunjung Diawasi

Naik Ke Teras Utama Gunung Padang, Pengunjung Diawasi Senin, 06 Oktober 2014 , 08:35:00 WIB

GUNUNG PADANG
  


RMOL. Situs megalitikum Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat, semakin menarik perhatian dunia arkeologi dan masyarakat umum. Sembilan orang yang bertugas menjaga peninggalan purba itu pun mesti kerja ekstrakeras.

Meski di kawasan pegunungan, situs cukup mudah dijangkau. Ja­lan 30 kilometer dari Kota Cian­jur menuju lokasi situs sudah mu­lus beraspal. Untuk mencapai pun­cak Gunung Padang, pe­ngun­jung bisa melewati dua jalur. Satu jalur memiliki kemiringan yang le­bih curam, namun jaraknya re­latif pendek. Sebaliknya, jalur lainnya lebih landai, tapi jaraknya lebih panjang karena jalan selebar 1 meter itu mengitari bukit.

Berada di ketinggian 855 meter di atas permukaan laut (dpl) Gu­nung Padang, udara sangat sejuk. Hamparan kebun teh yang me­ngelilingi situs megalitikum yang diperkirakan dibangun pada 5.000 tahun sebelum Masehi itu menambah nyaman tempat ter­se­but untuk melepas penat. Apalagi, untuk masuk area itu, pengunjung ditarik tiket sangat murah. Hanya Rp 2.000 bagi orang Indonesia dan Rp 5.000 bagi turis asing.

Begitu sampai di lokasi, pe­ngunjung akan disambut para juru pelihara yang bertugas men­jaga peninggalan sejarah yang ber­nilai tinggi itu dari berbagai aktivitas yang tidak bertanggung jawab. Para juru pelihara tersebut setiap hari, siang malam, harus be­rada di lokasi meninggalkan, kehidupan ramai di bawah (kota). Termasuk keluarga masing-ma­sing. Mereka para PNS (pegawai negeri sipil) terpilih dari Pemkab Cianjur, Pemprov Jawa Barat, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Menurut Koordinator Juru Pe­lihara Situs Gunung Padang Na­nang, dalam empat tahun terakhir kesibukan mereka semakin padat. Sebab, semakin banyak orang yang mengunjungi situs tersebut. "Kunjungan orang ke sini naik tajam,"kata Nanang seperti dilansir RMOL.CO.

Bahkan, yang mengejutkan, kata Nanang, pada 2012 rata-rata ada 10 ribu orang per bulan. "Bah­kan, pernah dalam sehari 6.000 pengunjung. Itu rekor terting­gi kunjungan ke situs ini,"tuturnya.

Pada hari libur nasional biasa­nya pengunjung melimpah. Ba­nyak warga dari kota yang me­manfaatkan tempat rekreasi baru tersebut untuk melepas lelah dan mencari udara segar. Nah, saat itu­lah Nanang dkk harus kerja ekstrakeras. Sebab, tidak sedikit pengunjung yang penasaran, lalu memegang, menduduki, bahkan mencoret-coreti.

Karena itu, Nanang bersama delapan petugas lain harus rajin mengelilingi situs seluas 3 hek­tare tersebut untuk memastikan para pengunjung tidak me­la­ku­kan hal-hal yang membuat wa­ri­san budaya itu rusak. Fokus me­reka adalah teras utama. Teras uta­ma terdiri dari lima tingkat de­ngan luas 900 meter persegi.

Area datar berada di teras per­tama. Ketika pengunjung sangat ramai, pengawasan difokuskan di area yang terdiri atas lima undak berjajar itu. “Sebisa mungkin se­tiap juru pelihara dapat me­nga­wasi gerak-gerik pengunjung satu per satu,” tegasnya.

Salah satu hal yang paling sulit dilakukan Nanang dkk adalah mencegah pengunjung naik ke batu-batu balok yang masih ber­diri. Batu berukuran jumbo itu me­mang benda favorit untuk pe­ngambilan foto.

Dulu, ketika pengunjung masih sepi, banyak batu yang masih ber­diri tegak. Batu-batu itu mem­ben­tuk sekat-sekat mirip kotak-kotak ruang. Namun, setelah ba­nyak pe­ngunjung yang sering me­n­du­duki atau menaiki, kini banyak batu tersebut yang roboh. Aki­bat­nya, bentuk sekat-sekat ruangnya ikut rusak. Itulah yang sangat di­sayangkan karena kecerobohan pe­ngunjung itu membuat kons­truk­si situs berubah.

Konon setiap undak di situs ter­sebut digunakan sebagai tempat pemujaan warga pada masa pra­sejarah, sekitar tahun 2000 se­be­lum Masehi. Semakin tinggi un­dak yang digunakan me­man­jat­kan doa, semakin tinggi derajat ke­agamaan masyarakat setempat.

"Sangat disayangkan kalau batu-batu yang masih berdiri itu akhirnya roboh. Memang, paling sulit adalah mencegah pengun­jung untuk tidak menaikinya,"papar Nanang.

Tidak hanya bisa merusak si­tus, aksi nakal para pengunjung bisa membahayakan mereka sendiri. Sebab, batu-batu itu ha­nya tertancap di tanah. Tidak ada fondasinya. Dengan demikian, bila tidak kuat menahan beban di atasnya, batu-batu tersebut bisa-bisa roboh dan menimpa pengun­jung.

"Ini yang kami khawatirkan selama ini,"ungkapnya.

Menjadi juru pelihara situs Gu­nung Padang sejak 1994, Nanang merasakan banyak suka dan du­kanya. Sebab, pekerjaan itu ter­masuk profesi yang tidak biasa bagi orang di sekitar Gunung Pa­dang. Orang-orang di sana umum­nya lebih tertarik menjadi pe­dagang atau petani. Banyak juga yang memilih merantau ke kota, termasuk Jakarta.

"Sejak muda saya diper­ke­nal­kan ke situs ini oleh orang tua. Itu­lah yang membuat saya terta­rik menjadi juru pelihara di sini,"kenangnya.

Awalnya Nanang bekerja se­cara swadaya alias pegawai ho­norer untuk menjaga situs itu. Me­reka mendapatkan gaji dari uang yang disisihkan dari pema­su­kan tiket masuk. Dia rata-rata men­dapat honor Rp 500 ribu per bulan.

Tetapi, setelah diangkat seba­gai PNS pada 1997, ke­se­jah­te­ra­an Nanang meningkat. Dia juga be­kerja seperti halnya PNS pada umumnya, mulai pukul 08.00 hingga 15.00. Tapi, dia kadang ha­rus melembur karena ada pe­ngun­jung yang datang malam untuk me­lakukan kegiatan ritual.

Gunung Padang Tempat Ritual Menghadap Gunung Gede-Pangrango

Situs Gunung Padang mulai ra­mai dikunjungi empat tahun terakhir. Itu terjadi setelah Andi Arief, Staf Khusus Presiden Bi­dang Bencana, menyebut di da­lam situs Gunung Padang ter­da­pat bangunan berbentuk pi­ra­mida. Sejak itu, berbagai pen­e­li­tian arkeologi kembali digiat­kan. Orang berduyun-duyun ingin menyaksikan dari dekat ba­ngunan piramida raksasa di gunung tersebut.

Asep, juru pelihara paling se­nior mengatakan, menjaga situs Gunung Padang merupakan suatu kehormatan. Sebab, tidak setiap warga setempat bisa men­jadi petugas situs purbakala itu. Hanya orang-orang terpilih yang boleh menjadi juru peli­ha­ra. “Sejak lahir saya sudah pu­nya ikatan dengan situs Gunung Padang ini,’’ tuturnya.

Sebab, Asep dilahirkan di se­buah lembah tidak jauh dari si­tus tersebut. Sayang, desa tem­pat Asep dilahirkan itu kini su­dah hilang karena disapu banjir bandang. Dia pun harus pindah ke desa lain.

Sebagai juru pelihara paling se­nior, Asep memang paling ma­hir menjelaskan situs Gu­nung Padang dengan lebih de­tail. Dia menyebutkan bahwa si­tus itu merupakan tempat pe­mu­jaan bagi nenek moyang. Sebab, lokasi situs menghadap Gunung Gede dan Gunung Parangro di se­berangnya. Menurut keper­ca­ya­an orang tempo dulu, dua gu­nung tersebut merupakan poros un­tuk memuja Sang Pencipta.

Gunung Padang juga berada di tengah beberapa gunung be­sar. Di sisi barat ada Gunung Ka­ruhun, sisi timur Gunung Pa­sir Malang, dan di selatan Gu­nung Malati, Gunung Pasir Em­pet, serta Gunung Batu.

Menurut Asep, meskipun di­percaya sebagai peninggalan 5.000 tahun SM, situs Gunung Pa­dang pernah digunakan ke­rajaan-kerajaan di Jawa Barat. Di antaranya, Kerajaan Paja­ja­ran dan Kerajaan Siliwangi. Itu dibuktikan dengan pene­muan koin-koin berlubang dari Tion­g­kok di kolam bagian de­pan area si­tus. Koin-koin ter­sebut se­­za­man dengan Ke­ra­jaan Si­liwangi.[RMOL/***]



Sumber:
http://www.rmoljabar.com/read/2014/10/06/1770/Naik-Ke-Teras-Utama-Gunung-Padang,-Pengunjung-Diawasi-

No comments:

Post a Comment